Let's Get Married

Lama bekerja sebagai animator dan desainer grafis, baru kali ini Amiko merasakan betapa bersemangat untuk menuangkan ide. Saking semangatnya, semalam ia hanya tidur dua jam demi merampungkan tiga gambar sketsa perempuan dengan tiga ekspresi yang berbeda pula.

Amiko meletakkan ransel pada sandaran kursi, membuka tablet usai menyesap secangkir espresso. Entah sudah berapa kali menguap karena kantuk. Minuman pahit dalam cangkir kertas ini bisa jadi melebarkan kembali mata yang sebentar-sebentar menyipit.

Lelaki yang mulai mencetak sketsa ke beberapa lembar kertas itu menilik jam digital di pergelangan tangan kiri. Pukul tujuh pagi, seharusnya Rose segera datang mengingat sudah ia hubungi sejak semalam ketika ide itu bermunculan.

Amiko segera menyahut, "Ya!" Begitu pintu ruangannya diketuk.

"Hai, pagi! Tumben minta aku berangkat sepagi ini. Untung anakku lagi enggak ngambek di rumah." Rose segera duduk di kursi kosong dan meletakkan handbag ke pangkuan.

"Sorry. Lihat ini!" Amiko menyodorkan beberapa gambarnya.

Kedua alis Rose terangkat begitu melihat gambar di kertas yang ia terima. "Eh, ini lucu!"

Gambar perempuan dengan rambut panjang dengan ujung bergelombang, berbibir mungil, dan terlihat manis dengan bandana merah muda. Gambar pertama perempuan itu berekspresi malu dengan pipi bersemu.

"Ah, ini ekspresi cewek kalau lagi malu-malu di depan cowok," ucap Rose sembari menatap penuh gemas pada sosok dalam gambar.

"Yap, betul!" Amiko membenarkan. Mendadak otaknya teringat ekspresi Mei ketika berdansa di malam Madam Rose Party.

"Eh, ini ekspresi sedang kesal?"

Lagi-lagi pria berkemeja lengan panjang yang tergulung sampai siku itu membenarkan diikuti anggukan. "Kita tambahkan balon obrolan juga bisa."

Amiko mengambil pensil di sudut meja, mengambil alih gambar kedua dan menggambar balon obrolan lalu menuliskan kalimat, "Jangan bicara lagi padaku!"

"Eh, cewek banget kalau lagi ngambek!" Rose tertawa lepas. Ia membenarkan posisi blazer lalu kembali mengamati dengan serius gambar berikutnya. "Ini ekspresi menyimpan kesedihan?"

"Iya," sahut Amiko. Ingatannya tertuju pada mata sendu Mei yang terdiam menatap kosong ke arah dance floor di mana mantan kekasihnya sedang berdansa dengan pacar barunya.

"Kayaknya ide kamu ini boleh juga. Avatar yang mewakili perasaan setiap pengguna akun. Bisa mengubah-ubah avatar sesuai suasana hati. Terus bisa kamu bikinin sekalian sama sticker buat di ruang chat-nya juga, kan?" Wanita berkepang memanjang hingga punggung itu menambahkan.

"Tentu! Nanti gambarnya bisa kita buat lebih bervariasi. Cewek rambut panjang, pendek, lurus, berponi, atau yang lain. Kita buat versi cowok juga nanti. Intinya, kita buat setiap pengguna bisa bebas berganti-ganti ekspresi avatar sesuai keinginan."

Rose mengangguk. "Oke, paham-paham ...." Ia kembali mengamati gambar-gambar itu. "Ini mirip ... Mei, bukan?"

Kali ini Amiko hanya tersenyum tanpa mengangguk atau membenarkan. Ia lalu mengedik dan bersandar ke kursi.

Wanita berusia 27 tahun itu mengerling. "Aah, so sweet! Dua karyawan baru Madam Rose ada yang sedang mabuk cinta!" Rose berkelakar. "Aku ke ruanganku dulu. Kalau bisa selesaikan semua desain ini segera. Aku percayakan padamu."

Amiko kembali mengangguk sembari menerima uluran tiga lembar kertas sketsanya. "Jangan bilang-bilang Mei soal ini!" Ia menunjuk gambar.

Rose tersenyum menunjukkan deretan gigi seputih mutiara di balik bibir dan mengangkat dua jempol lalu memperagakan gerakan mengunci mulut. "Trust me!" serunya dengan suara tertahan hampir berbisik.

***

Mei mengangkat cangkir cappucino latte di tangan kanan, menghirup aroma kopi sejenak sebelum menyesapnya sedikit. Meski kehadiran wanita berpakaian seksi yang menunjukkan belahan dadanya mengganggu suasana hati, ia berusaha bersikap tenang.

Brian belum datang. Namun, kekasih barunya rela datang lebih pagi dan menyambut Mei.

"Aku harap Kak Mei segera menyelesaikan semua urusan dengan Kak Brian. Aku tidak ingin terlalu lama pacaran dan ingin segera menikah," katanya acuh sambil mencondongkan tubuh ke depan dan melipat kedua tangan di atas meja.

Mei semakin meyakini keseksian perempuan di hadapannya dengan bentuk tubuh berisi dan dada membusung. Namun, mendengar caranya bicara tanpa menoreh sedikit saja perasaan membuat Mei kesal setengah mati. Genggaman tangan pada telinga cangkir yang ia pegang mengerat begitu mendengar ocehan gadis ini. Andai Mei menekan sedikit lebih keras, mungkin pegangan cangkir bergambar bunga mawar yang ia cekal bisa patah atau bahkan remuk.

"Lalu, kamu mau aku bagaimana supaya urusannya cepat selesai?"

"Yaah, Kak Mei bisa saja menjual apartemen itu padaku. Toh aku juga butuh hunian baru kalau udah nikah sama Kak Brian nanti." Kedua bahunya mengedik kali ini Lisa bersandar malas ke kursi, menyisir rambut ke belakang dengan jemari, dan menjilat bibir sekilas seraya menatap ke halaman kafe.

Kafe Madam Rose terletak di lantai satu bersebelahan dengan lobi. Rose sengaja memberikan fasilitas lengkap di perusahaannya agar mempermudah karyawan yang kelaparan untuk sekadar makan siang atau membeli camilan.

Mei membuang napas pelan. "Apartemen itu aku beli bersama Brian setahun lalu. Segala bentuk furniture di dalamnya kami berdua yang pilih. Memangnya kamu bisa hidup di apartemen dalam bayang-bayang mantan calon istri suamimu?"

"Don't worry, Kak! Aku paham siapa Kak Brian. Dia enggak pernah cinta kok sama Kak Mei." Lisa tertawa sumbang.

"Maksudmu?"

Lisa mengangkat kedua alisnya, membuat mata bermaskara super tebal itu seolah sedang membelalak, tapi bibirnya tersenyum mengejek. "Sebelum dia memutuskan nembak Kak Mei buat jadi pacarnya, Kak Brian baru saja menerima penolakan dariku sebab aku belum sepenuhnya sadar tentang perasaan kami yang sama. Jadi, sekarang Kak Mei sadar posisi, kan?"

Dada Mei seperti mau meledak. Rasanya ingin sekali merobek mulut wanita tak tahu sopan santun ini. Tak berperasaan. Tak pengertian seberapa terluka dirinya. Tenggorokan Mei serasa kering kerontang. Ingin melontarkan banyak kekesalan, tapi mulutnya serasa tersumbat. Jadi, selama ini Brian hanya menjadikanny pelarian karena lelaki itu terjebak friendzone bersama Lisa?

Lisa bersemangat bangkit seraya menatap ke pintu masuk kafe. Mei mengikuti arah pandang gadis di hadapannya. Embusan napas kasar ia keluarkan. Tidak. Wanita dengan setelan rok tutu itu tak mungkin tahan melihat keduanya. Lisa menggamit lengan kanan Brian, menuntun pria itu duduk di sebelahnya.

"Hai, Mei, apa kabar?"

Mei tersenyum samar. "Baik," sahutnya serak. Namun, ia segera berdeham memperbaiki intonasi suara. Tanpa butuh waktu berlama-lama, Mei menyerahkan berkas bermap merah dan mendorongnya ke hadapan Brian.

"Kamu urus saja penjualan apartemen ini. Aku cuma minta uang muka dan 8 kali cicilan dari 12 cicilan kembali padaku. Sisanya, kamu urus sendiri." Mei menang karena ia berhasil mempermalukan Brian.

Apartemen itu dibeli dengan jerih payah Mei di dalamnya. Uang muka dan sebagian besar cicilan adalah milik Mei. Sungguh ia merasa terlalu polos dan dungu telah sebegitu besar menaruh kepercayaan dan masa depannya pada Brian.

"Terima kasih sudah mau meluangkan waktu untuk menyelesaikan masalah ini." Mei menyandang tas di bahu kiri. Ia hampir berlalu, tapi masih merasa perlu untuk berkata, "Oh ya, semua minuman dan makanan di meja ini, sudah kubayar. Selamat menikmati."

Lisa membuka mulut tak percaya. Ada gurat kekesalan di raut wajah dengan make up super tebal. Namun, ekspresi itu cukup membuat Mei sedikit bangga dan tersenyum sinis. Ia sempat menatap tajam ke arah Brian yang pucat pasi karena malu. Menang. Mei cukup merasa menang dan melangkah cepat meninggalkan keduanya.

***

Amiko baru saja keluar dari lift lantai dua. Ia mengerjap begitu sosok wanita bergaun putih tulang di ujung lorong berlari tergesa sembari menghapus sudut mata dan tertunduk. Amiko berniat menyapa, tapi mungkin karena saking gugupnya sosok itu menubruk lengan kanannya, menatap sekilas, dan memilih segera masuk ke lift.

"Mei?" Sayangnya pintu lift tertutup dan membawa Mei ke lantai lima, lantai paling atas sebelum rooftop.

Curiga baru terjadi sesuatu, Amiko mengikutinya. Sedikit bersabar menunggu lift turun dan masuk untuk menyusul Mei. Tepat seperti dugaannya, Mei tampak duduk di bangku panjang area rooftop. Area atap ini tak begitu terawat. Beberapa cat pembatas atap tampak mengelupas, bahkan bangku yang sedang diduduki wanita yang tengah terisak-isak di sana warnanya mulai pudar.

Mei segera memalingkan wajah begitu Amiko duduk di sisinya dan mengulurkan sapu tangan. Ia menerima tanpa menatap pria di sampingnya lalu menghapus air mata yang tak mau berhenti meleleh. Cukup lama Amiko terdiam menemani Mei menumpahkan kesedihan. Lelaki itu lebih memilih diam sebab takut Mei malah terusik dan tersinggung dengan segenap rasa ingin tahunya.

Hingga tiba-tiba Mei menghadap padanya dan mengulurkan kedua telapak tangan demi mencengkeran kemeja Amiko. Kemudian ia berkata, "Let's get married!"

Tatapan keduanya berserobok, berusaha menimbang keputusan yang tepat atas apa yang baru saja diucapkan Mei.

"Kenapa diam? Kamu sudah punya pacar? Istri? Aku rasa belum." Mei kembali menatap tegas ke dalam manik hazel lelaki di depannya. "Kalau kamu beralasan karena enggak ada cinta di antara kita, berpura-puralah mencintaiku."

Amiko menghela napas panjang, meraih telapak tangan yang semula mencengkeram erat kemejanya. Ia mengusap lembut jemari dan cincin di jari manis tangan kiri Mei dan tersenyum simpul teringat kejadian aneh di Fisherman's Wharf kala itu.

"Bantu aku melupakannya ...." Mei kembali tertunduk dan terisak pelan.

Bukan kata ya yang Amiko ambil sebagai jawaban. Namun, ia lebih memilih mengusap rambut panjang Mei dan membawanya bersandar di bahunya. Seolah dari perilakunya itu sedang mengungkapkan kata, "Bersandarlah padaku sebentar. Kita putuskan nanti setelah kamu membaik."

***

(28-01-2021)

🍁🍁🍁

Up dua kali mumpung lagi semangat dan ide bermunculan. 🤭

Ih, aku kesel sama Lisa! 😑

Jangan lupa vote dan komen yang banyak, ya. 🤗🥰

Lanjut up kalau ada 100 vote dan 30-50 komentar. 😆

*) author ngelunjak minta digepak :v

🍁🍁🍁

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top