Forgive

Ini sungguh tidak baik. Amiko bisa gila kalau hanya berdiam diri tanpa melakukan sesuatu. Ia membanting tablet ke sofa, menyugar rambut ke belakang dengan jemari tangan kanan. Mei belum mau mengalah. Perempuan yang tak sadar dirindukan itu bahkan memilih beralasan sakit dan tidak masuk kantor.

Sementara itu, sejak kejadian ia memukul Brian sampai tersungkur, pria berengsek itu masih saja berkeras hati menghubungi Mei. Pagi ini hampir ada 10 kali panggilan menyambangi ponsel istrinya. Kelakuannya sungguh mengesalkan dan Amiko butuh Mei agar mau mempertegas perasaannya di depan mantan kekasihnya.

Lelaki yang kini merebah di sofa ruang kerja di kantor Madam Rose itu meraih kembali ponsel istrinya di meja kaca. Pesan dari Rin tampak bertengger di panel notifikasi sejak lima belas menit lalu. Amiko melewatkannya sebab ia terlalu dongkol dengan ponsel yang terus berdenting-denting menampilkan nama Brian lagi.

Lalu, usai membaca pesan singkat dari Rin, lelaki bermata hazel itu tersenyum. Ia bergegas mengemasi meja kerja dan menyusul Mei.

***

"Enggak! Kamu udah satu jam main tablet! Siniin, Al!"

Mei sudah bilang pada Rin, ia tak mungkin cocok menjaga bocah tengil ini. Aldi selalu susah dikendalikan saat diberi akses bermain tablet dan gadget. Selalu saja berujung keributan di dalam rumah seperti malam ini. Aldi berlarian merangkul tablet Mei yang baru saja diantar siang tadi.

Dewi dan Rin terlalu percaya Mei bisa menjaga Aldi. Mereka sedang pergi ke Bogor menghadiri acara tujuh bulanan saudara. Sebab anak berpiama dengan motif bintang itu harus sekolah besok pagi, Rin memilih menitipkannya pada Mei dan ....

"Hei! What's going on?" Pria dengan rambut setengah basah yang baru saja turun dari lantai atas itu menangkap Aldi.

Putra tunggal Rin dan Rasya itu merangkul tablet erat-erat sembari bersembunyi dalam pelukan Amiko yang kini memilih duduk di anak tangga.

"Tante Mei pelit. Pinjam tablet doang enggak boleh," adunya.

Mei berdecak seraya berkacak pinggang dan mengerling jengkel.

Perlahan Amiko meraih benda elektronik itu dari pelukan Aldi. "Kita pergi beli es krim, oke?"

What the .... Mei mendelik. Bagaimana mungkin Aldi baru melakukan kesalahan malah dibelikan es krim? Ia belum sempat berkomentar apa pun, Aldi sudah melompat turun dari anak tangga terakhir, berlarian menuju rak sandal di teras rumah.

"Kamu ini, dia entar jadi kebiasaan minta perlindungan kalau berbuat salah." Mei mendesis jengkel.

"Aku hanya sedang mengalihkan perhatiannya dari benda ini." Amiko meraih tangan kanan istrinya dan mengembalikan benda itu tanpa banyak bicara lagi.

Mereka memang belum membicarakan apa pun sejak Amiko datang ke rumah Dewi dan menemaninya menjaga Aldi. Mei masih terlalu gengsi mengawali pembicaraan.

"Mau ikut?" Ajakan Amiko dari pintu depan membuat Mei mengerjap lalu mengangguk cepat.

***

"Om tahu Tante Mei itu selain pelit juga galak?" cerocos Aldi sembari menghabiskan sisa es krim dan menjalankan permainan ular tangga di karpet depan TV.

"Oh, ya? Pantas wajahnya selalu murung." Amiko tertawa kecil. Ia mengocok dadu dalam gelas kecil dan melemparnya pelan.

Perempuan yang tengah mengecek kembali tulisannya dalam tablet berdecak dan melirik tak suka. Ia terpaksa menyumpal telinga dengan earphone. Namun, rasa penasaran dengan obrolan mereka membuat Mei urung menyalakan musik.

"Tante Mei juga suka berubah jadi manusia goa kalau lagi banyak pikiran. Kata Mama begitu."

"Bersembunyi dalam goa gitu?" Amiko menyerahkan dadu dan gelas ke tangan bocah belepot es krim di bibir.

"Di kamar, Om. Selimutan sampai siang, enggak mau keluar kamar. Sekalinya keluar Aldi diomelin mulu. Belum mandi diomelin, numpahin susu diomelin, enggak sengaja nginjek kakinya pas desakan di dapur rebutan roti buatan Nenek diomelin juga. Tadi pagi juga Al diomelin gara-gara tanya soal Om Amiko doang." Aldi masih meneruskan ocehannya. Ia bersorak saat kedua benda kubus yang dilempar menunjukkan titik berjumlah enam.

"Memangnya Om kenapa sampai bikin Tante Mei marah-marah ke kamu?" Kali ini Amiko bersandar pada sofa di mana Mei tengah berbaring berpura-pura tak peduli.

Perpaduan wangi kayu manis dan floral yang lembut menusuk cuping hidung perempuan itu ketika Amiko bergerak pelan menyandarkan kepala di sisi sofa. Mei merutuki dirinya yang mulai tergoda. Wangi menenangkan yang kerap menjadi candu saat memeluknya. Sial. Mei gagal menjaga image sebagai perempuan untuk tidak mengawalinya. Ia memejam sembari memiringkan tubuh diam-diam demi mendekatkan diri dan menghirup dalam-dalam aroma tubuh pria yang masih sibuk mengobrol dengan keponakannya.

"Enggak tahu." Aldi mengedik sambil mengangkat dua tangan. Bocah itu berdiri, membuang gelas es krim ke tempat sampah di dapur dan mencuci tangan.

"Are you sleepy? Kita lanjutkan ular tangganya besok kalau kamu udah ngantuk." Amiko menata kembali permainan yang berceceran di karpet.

Yes! Mei bersorak dalam hati seraya menggigit bibir menahan senyum. Ia menilik jam dinding di atas TV. Pukul sembilan malam, jam tidur Aldi tak pernah lewat sebab Rin selalu rutin mendisiplinkan anaknya.

Lelaki itu menyongsong Aldi ke kamar, menemaninya menggosok gigi, dan mengantarnya sampai tempat tidur. Rin benar, Amiko pandai mengurus anak-anak sementara Mei harus masih banyak belajar. Ia mendesah karena malu lalu memilih kembali menekuni layar tabletnya.

Sepuluh menit kemudian, Mei mendongak begitu uluran ponsel miliknya tampak ketika Amiko menghampiri sambil membawa segelas air putih dingin. Suaminya itu seperti menahan telepon genggam milik Mei dan memilih hanya memberikan dompet dan tablet saja seharian ini.

"Dua puluh kali memanggilmu seharian ini," katanya. Ia duduk di sisi Mei.

Mei menerima dengan gerakan ragu. Amiko pasti sudah tahu apa yang terjadi hari itu dan sepertinya ia tak perlu menjelaskan panjang lebar lagi.

"Aku ada di depan pintu apartemen waktu kamu masuk ke dalamnya bersama Brian."

Tubuh Mei terasa lemas tak berdaya sekarang. Ia seperti sedang ketahuan berbuat selingkuh. Perempuan yang  mengenakan camisole berwarna merah hati dan celana jins biru tua itu mendesah pasrah, meletakkan benda pipih di tangan kanan sedikit kasar ke meja kaca lalu mengusap wajah putus asa.

"Kenapa kamu tidak memanggilku?" Mei bertanya penuh penyesalan.

Amiko menjauhkan gelas dari bibir setelah meneguk seperempat isinya.  "Kalau kamu ada dalam posisiku saat itu, apa kamu berani mengetuk pintu? Mengajak istrimu pulang lalu terjadi pertengkaran di depan pintu dan banyak orang yang ingin tahu perkara apa yang sedang terjadi. Begitu?"

Mei bersandar lesu seraya menggigit bibir. Tak berani menilik iris mata cokelat Amiko yang menatap tegas. "Aku ...."

"Kamu sendiri melihat Emma begitu saja langsung kabur tanpa memberiku kesempatan menjelaskan apa pun," sindirnya.

Hening. Keduanya terdiam cukup lama. Hanya detik jarum jam dinding dan suara TV yang terdengar pelan. Mungkin mereka sedang saling merasa bersalah dan tak tahu harus memulai kata maaf dari mana.

"Kamu pikir aku gila berbuat mesum di depan mata suami Emma? Aku masih cukup waras untuk tidak membuat keributan di depan George. Itu hanya salam perpisahan dari Emma sebagai orang yang pernah tinggal bersama."

Mei mengembuskan napas pelan. Ia ragu melekatkan telapak tangan ke lengan suaminya. Namun, begitu ujung jemarinya baru menyentuh sedikit saja, Amiko sudah menoleh dan Mei segera menarik kembali uluran tangannya. "Aku berani bersumpah dia yang tiba-tiba ... aku tidak ...."

"Enggak usah dibahas lagilah. Aku ngerti itu semua cuma salah paham." Amiko sama bersandar malas di sofa. "So, kita mau ngapain sekarang?"

Mei tersenyum tipis kemudian terkikik geli begitu Amiko menarik ujung camisole perlahan agar ia mau mendekat. Lelaki berambut cokelat di sisi Mei juga menahan senyum. Keduanya berbaikan sebelum kata maaf terucap.

Mei merindukan dan menginginkannya. Tak peduli ponsel di meja kembali bergetar menampilkan nama mantan kekasihnya. Amiko hampir melekatkan bibir di atas bibir tipis Mei saat suara dari kamar yang bersebelahan dengan kamar Rin itu terdengar memanggilnya.

"Tante, temenin Aldi!" teriaknya.

Astaga, mereka hampir melupakan keberadaan anak kecil di rumah orang tuanya. Mei menyurukkan wajah yang bersemu merah ke dada lelaki di sisinya karena malu. Sementara Amiko terkekeh lalu mengecup lembut puncak kepala Mei sebelum beranjak menemani Aldi sampai terlelap.

***

(26-02-2021)

🍁🍁🍁

Yeay, baikan! 🤣🤣
Mereka sungguh pasangan yang bijak dan dewasa. Saling memaafkan sebelum kata maaf terucap. 🤭🤭

Hai, maaf baru up. Dua hari ini wifi fi rumah lagi gangguan. Enggak bisa buka Wattpad. Akhirnya beli kuota demi up  Amiko sebab aku rindu mereka manja-manjaan. Ciee, senyum-senyum gak jelas jadinya. 😂😂

Jangan lupa vote, komen banyak-banyak, dan bantu rekomen cerita ini ke teman. Oh ya, follow akun saya juga, ya. 🤭

Terima kasih banyak. 😘🤗🥰

🍁🍁🍁

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top