Confused

Taksi berwarna biru muda itu berhenti tepat di depan rumah berpagar hijau tua. Perempuan yang baru saja menghela napas panjang itu turun dan membuka pagar yang belum terkunci. Dewi dan Rin masih duduk-duduk santai di teras sembari menghabiskan dua cangkir teh hijau ditemani berapa potong kue di meja.

Rin mengerjap melihat adiknya pulang dengan tangan kosong dan wajah berantakan. "Mei?"

"Mbak, bayarin taksi. Aku enggak bawa duit." Tanpa banyak bicara lagi putri kedua Dewi itu masuk ke rumah.

Dewi meletakkan cangkir kembali ke meja bundar di sampingnya. Ia sama terheran menatap punggung putrinya yang berlalu.

Rin mengerutkan alis di depan mamanya. Dewi pun sama berkerut bingung lalu menggeleng.

"Udah ambil duit di dompet Mama sana. Keburu ditungguin sopir taksi itu," pinta Dewi memupus keterheranan sejenak.

Rin mengangguk dan berlari kecil ke arah dapur, meraih dompet bermotif batik di atas kulkas. Ia bergegas keluar kembali dan membayar ongkos taksi.

"Mama bikinin minum dulu buat Mei, kamu ...."

Perkataan Dewi terpotong oleh nada ponsel yang terdengar dari saku celana kulot Rin. Dua orang ibu-ibu itu saling menduga-duga. Agaknya aroma pertengkaran mulai tercium indra keduanya. Dewi mengembuskan napas dan menggeleng.

"Udah diangkat aja dulu. Suaminya juga perlu tahu Mei ada di sini." Dewi meninggalkan Rin yang terbengong menatap benda pipih di tangan kanan yang terus berkedip-kedip menampilkan kontak bernama Adik Ipar di layar.

Ia mengedikkan bahu lalu memilih mengikuti saran mamanya. Sayangnya Amiko hanya menanyakan keberadaan Mei setelah itu mengakhiri telepon usai menitipkan Mei padanya sampai membaik. Ibu dari Aldi itu mengerucutkan bibir, menggerakkannya ke kiri dan ke kanan. Ia gagal mengorek perkara apa yang sedang dihadapi adiknya.

***

Amiko masih duduk di kursi pantry seraya menelusur isi pesan di ponsel istrinya. Ia gagal mengejar Mei sebab perempuan itu keluar bertepatan dengan taksi yang lewat di depan area lobi usai menurunkan penumpang.

Emma serbasalah. Ia bersedia minta maaf dan memaksa akan menjelaskan semua di depan Mei. Namun, Amiko lebih memilih menyelesaikan masalah ini sendiri meski ibu George-lah yang mengawali perkara salah paham yang berujung kerumitan.

Begitu ponsel Mei menyala, belum sampai baterai penuh, pesan dari seseorang menyambangi secara beruntun.

Brian: "Mei, aku minta maaf."
Brian: "Aku tidak ada maksud berbuat macam-macam. Aku terlalu terbawa suasana sampai tak sadar melakukannya."

Kedua alis pria bermata hazel itu berkerut. Ia membuka pesan berikutnya.

Brian: "Aku masih menyayangimu, Mei."

Amiko meletakkan ponsel Mei ke meja bar, mengusap wajah sedikit kasar sembari menghela napas panjang. Mereka membicarakan apa, sih? Melakukan apa?

Pusing harus bagaimana, ia menuang Wine pada gelas yang kosong. Amiko memejam sejenak, tak lantas menelan minuman berwarna merah itu ke kerongkongan. Rasanya asam dan sedikit pahit saat tertelan. Hingga layar bergambar foto pernikahan mereka kembali menyala menampilkan nama penelepon yang cukup membuat Amiko semakin sebal.

Dengan gerakan cepat ia menggulir ikon hijau tanpa menyapa, membiarkan si penelepon mengoceh sendiri.

"Mei? Kamu masih marah?"

Amiko hanya mengembuskan napas pelan, memberikan kesempatan lelaki di seberang sana bersuara kembali.

"Please, Mei ... aku yakin kamu ngerti. Aku menciummu bukan karena ingin mempermainkanmu. Itu karena ... karena ...."

"Karena kamu berengsek. Temui aku sekarang." Amiko segera memutus panggilan secara sepihak lalu mengetikkan tempat di mana mereka akan bertemu malam ini.

Lelaki berambut cokelat itu mengantungi ponsel istrinya ke saku kemeja, bergegas mengambil kunci mobil di nakas ruang tengah lalu pergi. Sekarang, malam ini juga harus selesai.

***

Lelaki yang baru masuk ke dalam sebuah bar itu menelisik seisi kelab. Ia sudah bersiap kalau-kalau nanti akan mendapat tinju di tulang pipinya atau apa pun itu sebagai risiko atas perbuatannya. Namun, Brian sudah berjanji akan berusaha merebut hati Mei kembali. Tak peduli perempuan itu sudah memiliki kehidupan baru. Yang jelas ia hanya mau Mei yang dulu kembali padanya. Ia yakin seratus persen bahwa mantan kekasihnya itu menikah karena mencari pelarian saja.

Tepat di depan meja bar, ia menemukan pria berjaket hitam yang tengah menunggu sembari memainkan ponsel. Brian menarik kursi di sebelahnya.

"Mana Mei?"

Pria berdarah Spanyol itu menoleh dan tersenyum mengejek seraya memasukkan ponsel Mei ke sakunya. "Oh, tentu saja di rumah dan sedang tertidur nyenyak di kamar kami. Dan aku tak perlu banyak basa-basi denganmu."

Amiko meneguk sisa minumannya yang tinggal sedikit. "Aku rasa kamu cukup tahu diri untuk tidak merusak rumah tangga orang." Ia menepuk bahu Brian cukup keras dan berlalu.

Hanya begitu saja? Brian tertawa hambar.

Namun, tawanya terhenti begitu pria itu berbalik. "Ada yang tertinggal," katanya pelan dengan santai, kemudian satu pukulan itu mendarat tepat di tulang pipi sebelah kiri Brian.

Brian tersungkur ke lantai bersamaan dengan pekikan terkejut pengunjung kelab malam. Sementara Amiko mengedikkan bahu, memasukkan dua tangan ke saku jaket, dan berlalu usai melempar senyum sinis.

Sial! Brian mengumpat dalam hati.

***

Perempuan yang tengah merebah dengan kompres di kedua mata itu terpaksa menoleh. Ia membuka kompres mata dan berdecak ketika menyadari Rin menyembulkan kepala di celah pintu yang tak tertutup rapat.

Manusia di balik pintu itu meringis, menunjukkan deretan gigi seputih mutiara. "Mbak masuk boleh?"

"Hmm ...." Mei kembali memasang kompres dingin di kedua mata.

Ranjang melesak lebih dalam begitu perempuan berpipi tembam itu duduk seraya memeluk bantal berbentuk hati di ujung tempat tidur. "Kenapa sih, Mei? Berantem?"

Ah, percuma saja bungkam. Toh Rin dan Mama pasti akan banyak tanya dan Mei paling risi dibom pertanyaan terus menerus. Mei melepas kompres dan melemparnya sedikit kasar ke dalam mangkuk berisi es batu.

"Aku harusnya mikirin apa kata Mama sebelum menikah, Mbak. Seharusnya aku mengenal lebih jauh seperti apa calon suamiku dan ...."

"Memang kenapa dengan Amiko? Dia ternyata buaya darat? Oh, atau jangan-jangan mafia seperti dalam novel-novel yang pernah kamu rekomendasiin ke Mbak buat baca?!" Wajah Rin panik. Kedua tangannya meremas lengan adiknya lebih erat.

"Astaga ... bukan, ih! Dia udah punya anak dan mantan kekasihnya datang lagi menemuinya!"

Rin mengerjap. Ia berusaha mencerna setiap penuturan wanita berkaus tanpa lengan dan celana pendek di sisinya. "Maksudnya dia ... duda?"

"Ck, lebih parah dari itu! Dia tinggal bersama dengan perempuan dan ... punya anak ...." Wajah Mei berubah lesu. Ada setitik kekecewaan tergambar di raut adik Rin.

"Maksudmu ... punya anak di luar nikah gitu?" Rin bertanya hati-hati. Agaknya ia takut adiknya semakin patah hati.

Mei mengangguk. Ia menyisir rambut panjangnya ke belakang dengan jemari tangan kanan.

Rin menatap prihatin. "Terus, ibu dari anak itu minta pertanggungjawaban?"

"Enggak, sih, dia udah berumah tangga sendiri. Dan George, anak Emma dan Amiko, juga bisa menerima kehadiran ayah barunya." Kali ini Mei bersandar pasrah ke kepala ranjang. Ia menatap jam dinding di atas jendela kamar. Pukul sebelas malam entahlah Amiko sudah makan malam atau belum. Eh, kenapa harus serepot ini memikirkannya? Mei menggeleng, merutuki diri.

"Nah, udah jadi masa lalu berarti, kan? Selama ini Amiko baik-baik aja, kan? Dia enggak ada nyakitin kamu, kan?" Rin kembali meyakinkan.

Mei menekuk lutut, menyembunyikan wajah di sana seraya merenung sejenak. "Dia baik, Mbak. Perhatian dan enggak banyak tuntutan meski tahu aku masih suka galau perihal Brian yang memamerkan kemesraannya bareng Lisa."

"Terus?"

Kali ini Mei mengerang frustrasi. "Masalahnya aku tadi ... tadi aku sama Brian ... aku ...." Mei tak sanggup melanjutkan. Sudah pasti Rin akan memelotot dan menabok kasar lengannya kalau tahu kejadian di luar dugaan itu.

"Kamu sama Brian kenapa?" Rin mendesak, menatap seraya menelengkan kepala.

Mei masih bungkam. Kali ini ia menatap penuh permohonan agar saudara perempuannya itu tak banyak tanya. Rin mendesah pasrah seraya mengusap bahu adiknya.

"Oke. Mbak tahu kamu dan Amiko udah dewasa. Apa pun masalahnya itu, Mbak harap bukan jalan perpisahan yang kamu ambil. Siapa tahu itu cuma salah paham. Kamu itu bukan sedang menikah dengan orang serumpun, Mei. Perbedaan budaya kadang bikin orang salah paham juga. Dan seharusnya kamu paham ini sejak memutuskan menikah dengan Amiko." Rin menggenggam telapak tangan adiknya.

"Tahu, Mbak. Aku tahu ... tapi enggak seharusnya Emma melakukan itu. Mbak Rin bayangin deh, pulang kerja liat ada wanita yang peluk sama cium Mas Rasya. Apa bisa langsung terima?"

Rin terdiam. Jelas saja Mei bisa melihat kakaknya itu dilema. Mana ada perempuan yang bisa menerima semua itu secara mendadak.

"Nah, Mbak sendiri enggak bisa jawab. Harusnya Emma dong yang tahu diri dia lagi di mana. Ini Indonesia, bukan  Amerika yang seenak jidat peluk-peluk laki orang."

Lagi. Rin bergeming tapi kali ini berlanjut dengan satu helaan napas. Namun, ia akhirnya kembali bertanya, "Terus soal kamu sama Brian tadi kenapa?"

Mei mati kutu. Masalahnya ia juga baru saja sama melakukan kesalahan fatal. Itu sebab yang membuat Mei makin kesal. Perempuan itu ingin marah, tapi tertahan sebab dirinya juga tanpa sengaja sudah berbuat salah. Salah besar! Kejadian itu tak mungkin terjadi kalau Mei sendiri tak segampang itu menerima ajakan Brian masuk apartemen berdua saja. Ia bingung mau bagaimana.

Demi menghindari tetek bengek lain yang membuat dirinya makin bingung, Mei memilih merebah, bersembunyi dalam selimut tebalnya.

"Tahulah, Mbak. Aku ngantuk, capek juga. Mau tidur dulu," pungkasnya.

Rin berdecak. Namun, ia memilih keluar dan mungkin akan mencoba mengorek informasi lagi besok. Untuk itu, Mei besok lebih memilih mengurung diri di kamar saja.

***

(24-02-2021)

🍁🍁🍁

Aku kok kangen adegan mesra Amiko sama Mei, ya? Padahal baru 3 part lho hubungan mereka mendingin. 🤣🤣
Kangen cara Amiko memanjakan Mei, ehh. 🤣🤣

Hai, apa kabar? Maaf baru up. Kemarin tiba-tiba mood berantakan. Tapi sekarang udah enggak. 🤭

Jangan lupa vote dan komen banyak-banyak. Tingkyu buat 5k vote-nya. 🤗🥰

🍁🍁🍁

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top