Annoyer 2

"Kirain mau dihabisin tujuh hari." Rose meledek. Perempuan yang tengah menyuguhkan sekaleng minuman soda dingin itu terkekeh.

Amiko hanya berdecak pelan seraya meraih uluran kaleng soda, membukanya, dan meneguk dua kali sebelum kembali fokus merevisi permintaan Rose. Proyek pembuatan avatar sebentar lagi rampung. Sticker untuk ruang chat Madam Rose juga hanya ada revisi sedikit. Rose meminta sticker didominasi warna merah muda sesuai karakter Madam Rose.

"Mei minta pulang," celetuk Amiko akhirnya. Sengaja membuka pembicaran demi mengorek informasi mengenai masa lalu istrinya.

Kening Rose berkerut. Alis berpulas warna cokelat itu ikut bertaut. "Pulang? Kenapa?"

"Menurutmu, apa enaknya bulan madu malah ketemu sama mantan?" Amiko bergumam sedikit kesal.

"Hah? Brian nyusul ke Bali?" Rose mencondongkan tubuh ke depan, meminta penjelasan lebih detail dengan menyelipkan rambut ke balik telinga. Siapa tahu ia salah dengar.

"Aku jadi penasaran seberapa jauh hubungan mereka sampai Brian enggak mau lepas Mei." Amiko kembali hanya bergumam dan enggan menjawab pertanyaan Rose.

"Haih, jangan tanya! Itu cewek kelewat kalem. Tapi aku salut sama prinsipnya."

Kalau itu Amiko jelas sudah paham. Tergambar jelas sejak malam pertama resmi menjadi istrinya. Lelaki berkemeja merah bata itu tersenyum simpul. Baru beberapa jam tak melihat wajahnya, Amiko sudah berharap Mei segera menyelesaikan pekerjaannya di kantor lalu pulang bersama. Perasaan aneh apakah? Apa bisa perasaan ini disebut pura-pura merindukannya? Ah, konyol!

"Eh, malah senyum-senyum sendiri." Rose berkata geram. Ia meraih jaket hitam Amiko di lengan sofa, melempar ke arah sang pemilik.

Amiko hampir memprotes saat ponsel di meja kerja Rose bergetar minta perhatian. Rose terpaksa bangkit menuju mejanya, meninggalkan Amiko di ruang santai yang hanya di batasi rak buku yang tingginya dua meter.

"Eh, Mei telepon, nih," ungkapnya sembari menoleh ke arah rak buku.

Amiko yang tak begitu terlihat keberadaannya hanya mengedikkan bahu dan kembali berkonsentrasi dengan pekerjaan.

"Ya, Mei?" Rose tersenyum jail begitu mendengar wanita di seberang telepon berkabar akan ke ruangannya.

***

Mei berdecak menerima setumpuk amplop berisi foto-foto pasangan pengguna akun Madam Rose. Ini zaman modern dan Rose membuat syarat peserta kontes foto berpasangan mengirimkan dalam bentuk lembaran foto begini.

"Nyampah banget kamu, Rose. Sayang juga ini yang enggak kepilih bakal dibuang, kan?" Alih-alih kembali ke ruangannya, Mei memilih menyempatkan diri duduk di ruang kerja sahabatnya.

"Enak aja! Enggak dibuang, Mei. Aku udah nyiapi space khusus di dinding lobi. Semua foto ini mau aku pajang di situ. Biar kantor Madam Rose makin terlihat romantis dengan foto-foto pasangan kekasih." Rose berpendapat. Matanya menerawang memandang langit-langit ruangan dengan tangan terlipat di dada. Bibir berlipstik merah itu merekahkan senyum.

"Terus kalau mereka putus atau bercerai, foto itu bakal jadi kenangan pahit, tahu!" sangkal Mei.

Mei sendiri anti mencetak foto bersama pasangan. Beruntung ia dan Brian tak pernah mencetak foto berdua. Begitu putus tinggal hapus. Mei pun bukan tipe wanita yang suka pamer kemesraan. Dengan suami saja jarang, apalagi cuma pacar.

Wanita penggila keromantisan itu hanya terkikik mendengar sangakalan Mei. "Ngomong-ngomong, gimana liburan kemarin? Pasti banyak kupu-kupu beterbangan, kan?"

Kali ini perempuan bermata lebar itu membuang napas kasar. Ia menyandar malas pada kursi yang diduduki. "Enggak butuh kupu-kupu kalau dia aja bisa kasih kebun binatang seisinya."

"Oh, my ... enggak nyangka sekarang Mei bucin akut!" Rose terbahak. Ia melirik sekilas ke arah ruang santai di sebelah.

"Terus aja ketawa." Mei mendengkus kesal. Sahabatnya ini memang terlalu lebay saat meledek wanita polos macam Mei.

"Terus ada cerita apa aja pas bulan madu kemarin?"

"No! Cerita sama kamu sama aja bunuh diri!" Mei memekik garang.

Wanita berambut merah itu kembali terbahak. "Yang jelas, aku udah bisa baca ada cinta di antara kalian berdua," lanjut Rose setelah tawanya mereda. "Cewek kaku kayak kamu lebih cocok sama cowok humble kayak Amiko."

"Apaan, sih, Rose ... jangan bahas dia mulu, ih!" Mei menggeram. Ia bangkit dan berjalan ke arah ruang santai demi menggeledah isi kulkas. Ia membungkuk, menelisik jajaran minuman ringan dingin pelepas dahaga.

"Kenapa? Kangen kalau bahas dia terus?" Rose sedikit meninggikan suara.

Mei berdecak sembari meraih jus jeruk dalam botol. "Iyalah! Enggak boleh istri ngangenin suami?" Ia berbalik, hampir membuka minuman.

Namun, pergerakannya terhenti. Tubuhnya kaku begitu iris matanya menemukan sosok berkemeja merah bata yang masih sibuk menulis beberapa catatan di atas ipad. Amiko masih menahan senyum sampai ia menyelesaikan catatan. Ia lalu meletakkan stylus pen di meja, menatap Mei sejenak, tersenyum, dan menggodanya dengan mengedipkan sebelah mata.

"Ciee ... enggak ketemu setengah hari udah kangen!" Rose memekik. Perempuan itu sudah berlari ke pintu keluar.

"Rose! Ih, enggak bisa jaga rahasia banget sih kamu!" Mei menggeretak, meraih bantal sofa dan melemparnya bertepatan dengan pintu yang berdebum keras. Perempuan berambut merah itu kabur.

***

"Awas aja kalau cerita macam-macam ke Rose." Mei mengancam seraya merangsekkan sekotak kopi instan ke dalam troli.

Pria yang sedang mendorong troli di belakang istrinya itu hanya tersenyum kecil. Ia meraih sekotak bubuk cokelat. "Enggaklah, masa iya aku mau cerita-cerita soal kecerobohan kita sering jatuhin tablet."

Mei mengangkat sebungkus sugar block seolah sedang membuat gerakan melempar ke arah suaminya. Namun, Amiko hanya terkekeh dan meraih benda dari tangan Mei.

Keduanya kembali berjalan menyusuri rak susu UHT. Langkah pelan Amiko di belakang Mei melambat. Ponsel di saku jaketnya bergetar dan membuatnya tercenung sejenak.

"Aku angkat telepon dari William dulu, Mei. Entar aku balik lagi ke sini." Ia menyerahkan troli belanjaan sebelum akhirnya menghilang melalui jajaran rak di supermarket.

Mei mengedik sembari kembali fokus memilih belanjaan. Lagu dari pengeras suara supermarket memang sedikit mengganggu kalau harus menerima telepon di sini. Tangan kanan Mei hampir meraih susu rendah lemak. Namun, tertahan ketika tangan seseorang dengan cat kuku merah mendahuluinya. Kening Mei berkerut. Ia menoleh ke sisi kanan.

Gadis ini lagi. Perempuan dengan mini dress tanpa lengan berangkap bolero kuning. "Hai, Kak!" sapanya dengan senyum yang menurut Mei punya sejuta arti.

Mei menghela napas pelan. "Hai, Lisa. Sudah pulang liburan?"

Lisa tertawa hambar. Ia mengambil dua dus susu dan melempar sedikit kasar ke troli belanjaannya. "Kak Mei enggak lagi berusaha meraih perhatian Kak Brian lagi, kan?"

Perhatian Mei pada informasi nilai gizi di belakang kardus susu terhenti. Sederet pertanyaan yang menurutnya tak masuk akal dan ... aneh. Hal itu mengundang tawa hambarnya.

"Buat apa aku mencari perhatian dari kekasihmu itu?"

Lisa memutar bola matanya. "Caramu mengumbar kebersamaan bersama suami di story jelas bikin dia gamang."

Mengumbar? Yang mana? Bukankah foto-fotonya bersama Amiko masih tampak sopan? Mereka tidak melakukan perbuatan asusila layaknya Lisa dan Brian di Kuta, Bali.

Mei tersenyum sumir. "Aku rasa foto-foto kami masih cukup sopan. Toh halal. Amiko itu suami sahku. Aku pikir kalian terlalu berlebihan." Ia hendak mendorong troli menjauhi perempuan yang dadanya mulai kembang kempis menahan amarah. "Oh, satu lagi. Tolong jaga kekasihmu itu supaya enggak mengganggu rumah tangga orang."

Mei melenggang pergi, meninggalkan Lisa yang tanpa sadar meremas pegangan troli hingga buku-buku jarinya memutih. Sekali lagi, Mei menang!

***

"Emma dan suaminya mau datang ke Jakarta. Mereka ingin mengantar George menemuimu. Elo enggak kangen sama bocah itu. Dia nanyain terus. Pernikahan ibunya jelas butuh waktu buat mengalihkan perhatiannya dari elo."

William terus menyerocos. Setelah tiga hari memaksa Amiko untuk menemuinya, baru malam ini ia memunculkan batang hidung di apartemen William. Jelas hal itu membuat cowok berambut lurus tersisir rapi di hadapan Amiko geram setengah mati.

"Elo yang punya masalah kenapa harus gue yang dikejar-kejar Emma begini sih?" William berceletuk sembari mengangkat sekaleng bir di meja.

Sementara lelaki itu memuntahkan kekesalan, Amiko hanya terdiam menatap kosong pada minumannya.

"Gue tahu elo masih sakit hati. Tiga tahun hidup bersama berakhir sia-sia, tapi lo juga harus ingat, semua itu terjadi karena kecelakaan. Emma enggak ada rasa buat lo. Elo aja yang baperan," tandas William kejam.

Perkataan pedas William sontak membuat kepala Amiko berdenyut pusing. Bukan itu. Sungguh bukan itu yang menjadi prioritas pertimbangannya setelah Mei hadir mengisi relung hati yang lama kosong. "Kamu pikir gampang menemui mereka saat udah ada Mei dalam hidupku?"

William batal meneguk minuman beralkoholnya. "Risiko. Lo kan tahu ini risiko kalau dari awal enggak jujur."

"Bukannya kasih solusi malah bikin tambah pusing," rutuk Amiko.

"Ck, solusinya itu cuma satu. Jujur dari sekarang sebelum lo telanjur jatuh cinta beneran sama Mei. Kalaupun nanti Mei pilih ninggalin lo, jadi enggak sakit-sakit amat. Toh Mei kan cuma minta pura-pura cinta."

Amiko melempar bantal sofa ke kepala William.

Cowok berdasi longgar itu menangkis lemparan sahabatnya. "Oh, jangan-jangan lo udah cinta duluan sama istri lo? Ngaku deh, lo. Pasti kesengsem kan lo sejak malam pertama. Maklumlah gue. Udah pasti berkesan tuh dapat hadiah berupa cewek perawan yang makin langka di muka bumi ini."

Willim terbahak-bahak. Amiko sendiri mulai tak nyaman dengan serentetan tudingannya. Jelas bukan perkara mudah ditampik. Mei memang bukan wanita biasa. Wanita itu luar biasa dalam menjaga prinsip. Amiko terkejut menerima malam pertama itu. Seperti menemukan berlian kecil di atas tumbukan jerami.

"Malah bengong. Gimana ini? Lo mau ketemu mereka enggak? Kalau iya, entar gue kasih kabar ke Emma." William memecah lamunan.

Amiko mendesah pasrah. Ia bangkit meraih jaket dan kunci mobil. "Iya, entar aku pikirin lagi gimana caranya ngomong ke Mei. Aku pulang. Terima kasih jamuannya." Ia mengangkat kaleng bir dan membawanya pergi.

William menggeleng. "Gue bilang juga apa, pusing sendiri kan, lo?" gumamnya yang hanya dibalas kedikan bahu Amiko.

***

(14-02-2021)

🍁🍁🍁

Jangan tanya George anak Amiko apa bukan. Yang tahu pasti jelas si Emma. Tunggu dia muncul. 🤣🤣

Hai, apa kabar? Terima kasih masih mau menunggu. Jangan lupa vote, komen, dan bagikan.

Terima kasih. 🤗🥰

🍁🍁🍁

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top