Amiko, Te Amo!
Mei mematikan lampu kamar, menggantinya dengan cahaya temaram dari lampu tidur di nakas dekat ranjang. Ia menarik selimut hingga menutupi setengah tubuh dan meletakkan ponsel di sisi kanan bantalnya. Satu embusan napas itu meluncur dari sela bibirnya. Hampir 24 jam Amiko tak bisa ia hubungi.
Lelaki itu bilang akan segera menjemputnya setelah bertemu klien. Namun, belum ada kepastian kapan akan kembali ke Jakarta. Malam itu, puas menangis melalui telepon, Amiko hanya tertawa kecil menyadari sesuatu. Mei tahu ia kalah. Tanpa bibirnya berucap cinta, lelaki blasteran itu pasti bisa membaca apa yang terjadi pada seorang Meisya. Mei mencintai dan merindukannya.
Lalu, kenapa tiba-tiba Amiko menghilang lagi? Apa susahnya berkirim pesan barang satu kalimat untuk berkabar? Mei mengusap wajah, menatap langit-langit kamar apartemen sambil melekatkan kedua telapak tangan di atas perut. Belum. Wanita yang mengenakan camisole berbahan satin itu sama sekali belum mengatakan kehidupan yang mulai bertumbuh dalam diri Mei. Ia pikir akan lebih menyenangkan mengatakannya langsung ketika Amiko datang.
Jam digital di meja kerja Amiko menunjukkan pukul 10 malam. Kedua kelopak mata Mei mulai berat. Seharian ini terlalu lelah berkunjung ke kantor penerbitan dan berdiskusi dengan Dania. Mei sudah memberitahukan niatannya pindah ke San Francisco pada Dewi dan Rin, termasuk Dania siang tadi. Dania bersedih sebab siang tadi adalah diskusi terakhir secara tatap mula dengan penulis kesayangannya. Mei berjanji akan membicarakan keberlanjutan naskah melalui surat elektronik.
Ya, perempuan yang samar-samar mendengar bunyi bip itu sudah mantap dengan keputusannya pindah. Tanpa banyak berpikir lagi, Mei terpejam, melupakan bunyi-bunyi samar yang ia dengar barusan. Ia terlelap karena kantuk luar biasa.
***
"Elo juga, sih, mau-maunya direkam buat dibikin status di WhatsApp Emma."
Cerita William kemarin membuat lelaki yang baru turun dari taksi pukul 10 malam itu mengambil keputusan sepihak. Ia harus menemui Mei dan mengakhiri masa break sialan yang membuatnya hampir gila. Apalagi mendengar perempuan itu tersedu-sedu.
Bukan sebuah kesengajaan status itu terunggah di akun WhatsApp Emma. Perempuan berambut pirang itu memang merekam untuk kenang-kenangan George. Bukan Emma yang mengunggah, apalagi Amiko. Mereka tahu bagaimana menghargai Jhonson dan Mei sejak kejadian istri Amiko salah paham tentang sikap ibu dari George itu. Namun, Emma tak bisa mencegah putranya yang bermain-main ponsel asal memencet apa pun tanpa tahu tujuannya. Sayangnya, kecerobohan William ikut menyamai ketidaksengajaan George untuk membuat Mei salah paham.
Amiko menghela napas seraya memasuki area lobi, mengangguk ramah pada satpam yang berjaga di depan pintu. Ia sedikit bersabar menekan angka dan menunggu lift turun. Tak banyak barang yang Amiko bawa. Hanya tas ransel berukuran sedang di bahu kiri. Lelaki berjaket hitam itu masuk ke dalam lift yang kosong, bersandar sejenak. Nyatanya, melakukan perjalanan udara selama hampir 23 jam itu cukup membuat tubuhnya letih dan ingin segera minum air dingin lalu merebah di ranjang sembari memeluk tubuh beraroma vanila yang selalu dirindukan.
Amiko kelur dari lift, berjalan melalui lorong yang setiap beberapa meter di sisi kanan dan kiri ada tanaman hijau yang tumbuh dalam pot berbahan keramik putih. Ia berhenti di depan pintu unit apartemen miliknya, menekan pasword hingga terdengar bunyi bip sekali sebelum kunci pintu terbuka.
Gelap. Sepertinya Mei sudah tertidur. Lampu ruang tamu, tengah, dan pantry sudah dimatikan. Amiko meletakkan ransel di sofa panjang ruang tengah, menuju pantry, dan meraih gelas kosong lalu mengisinya dengan air dingin dari kulkas. Pria berkemeja putih lengan panjang itu menjilat bibir basahnya sekali sebelum akhirnya memilih membawa gelas serta ke kamar.
Ia membuka pintu kamar perlahan. Dugaannya tepat. Perempuan di balik selimut itu sudah mulai terlelap. Amiko tersenyum sejenak, meletakkan gelas ke nakas di dekat kalender dengan deretan angka tercoret tinta merah. Lelaki itu sempat meraih benda itu dengan kening berkerut. Namun, ia kembali meletakkannya ke nakas dan memilih naik ke ranjang pelan-pelan.
Amiko yang tiba-tiba naik dan memeluk tubuh feminin menggoda itu membuat Mei berjengit terkejut dan hampir berteriak kalau saja lelaki di sisinya itu tak segera mengunci bibirnya dengan satu kecupan singkat.
"Ya Tuhan, kaget! Kamu kapan sampai?!" Mei mencubit berkali-kali perut lelaki di atasnya karena kesal.
Amiko mengaduh seraya mencekal pergelangan tangan Mei. "Baru aja sampai, Mei. Sakit ...," protesnya.
"Kamu membuatku jantungan. Aku pikir siapa malam-malam begini masuk kamar, ih!" Mei masih berusaha mencubit.
Namun, Amiko lebih gesit mencekal kembali tangannya. Keduanya terdiam cukup lama dan saling mengunci tatapan. Begitu cekalan di pergelangan tangan perempuan itu mengendur, Mei memukul-mukul bahunya tanpa ampun.
"Kenapa waktu baru sampai di San Francisco tak memberiku kabar, hah? Apa susahnya sekadar mengetik sederet kalimat? Kamu terlalu sibukkah dengan mantan kekasihmu itu?"
Amiko kembali mengaduh lalu menggenggam jemari Mei begitu ia berhenti memukul. Ia menatap lembut lalu berkata pelan hampir berbisik. "Aku tanya dulu, kamu minta apa waktu aku mau berangkat ke San Francisco?"
Mei tercenung. Agaknya perempuan di bawah kungkungan tubuh Amiko itu mulai menyadari sesuatu. "Break ...," sahutnya penuh penyesalan.
Amiko menggeser tubuh, meraih gelas air mineral dingin miliknya di nakas. Ia meneguk kembali sampai tandas.
"Alasan pertama, aku menghargai keputusanmu, Mei. Kita break, yang artinya beristirahat sejenak dari kebersamaan ini, menguji seberapa bisa kita bertahan tanpa kehadiran pasangan. Aku berusaha menahan diri tak menghubungimu sambil terus membujuk George agar mau kembali ke rumah ibunya. Nyatanya, dua jam setelah anak itu pergi, aku enggak bisa menahan diri untuk enggak menghubungimu, Mei. Meski aku tahu pukul 12 siang di San Francisco berarti pukul 3 dini hari di Jakarta yang mungkin berujung kecewa karena kamu masih tidur dan tidak akan mengangkat teleponku."
Mei terdiam, menatap lelaki yang menggebu menjelaskan segala alasan sambil berbaring tengkurap seraya menyangga tubuh dengan kedua siku. Amiko menghela napas, memberi jeda sebentar sebelum akhirnya ia memilih melanjutkan penjelasan.
"Alasan kedua, aku memang sengaja pergi sejenak dari hidupmu supaya kamu berhenti ragu akan perasaanmu sendiri dan berhenti memintaku untuk pura-pura lagi."
Mei berdeham sembari membenarkan posisi tubuh. "Aku ...."
"Semua yang aku lakukan untukmu, tidak pernah ada kata pura-pura, Mei. Malam pertama setelah kita sah menjadi suami-istri, ciuman di kantor, bulan madu di Bali, kemarahanku saat tahu kamu menemui Brian di belakangku, dan permintaanku untuk punya anak. Semua itu terlalu naif kalau kamu masih menyebutnya sebagai pura-pura."
Kali ini perempuan yang sedang memainkan kuku-kuku jarinya di atas perut itu menggigit bibir. Amiko bisa melihat raut penyesalan dari matanya yang mulai berkaca-kaca.
"Dan ketika aku mendengar kamu menangis, aku mulai paham. Bahwa tanpa kamu bilang menginginkanku, aku tahu kamu tetap menginginkanku, menyayangiku, dan bersedia menjadi istriku tanpa kata pura-pura lagi." Amiko menjeda kalimatnya dengan satu helaan napas. "Please, Mei, berhenti menganggap pernikahan kita hanya karena unsur permintaan pura-pura lagi. Itu membuatku ... tak nyaman dan takut kamu kembali pada masa lalumu."
Mei menghapus tetes bening di sudut mata, bergegas memeluk erat tubuh beraroma maskulin di sisinya. "Stop. Aku minta maaf ...."
Amiko tersenyum. Kelegaan itu membuncah memenuhi dada, membuatnya tak kuasa untuk hanya berdiam diri saja. Ia sama memeluk erat, menghirup ceruk leher sampai puas, dan menghujani perempuan yang mulai terkikik geli itu dengan kecupan-kecupan kecil. Dan ketika Amiko memutar posisi tubuh Mei ke atasnya, perempuan itu memberanikan diri melekatkan kening dan hidung mereka.
"Amiko, te amo ...," bisiknya di sela senyum sebelum akhirnya bibir itu saling bertaut mengulum kerinduan yang menggelekak. Menyampaikan getaran halus di dada dan membuat darah keduanya berdesir hingga napas tersengal.
Namun, begitu tangan kekar itu menarik tali gaun di bahunya, Mei membelalak dan segera memberi jarak. "No! Jangan sekarang!" sergahnya.
Kedua alis Amiko berkerut bingung. Kerutan itu perlahan menghilang begitu Mei meraih kalender di nakas.
Mei menggigit bibir lalu berkata, "I'm late."
Manik cokelat itu menelusur angka tercoret tinta merah. "Lebih dari sepuluh hari?"
Perempuan yang masih menggigit bibir itu mengangguk.
Tak ada pilihan kecuali menarik napas dalam dan menenggelamkan wajah di atas bantal. Namun, beberapa detik kemudian Amiko tersenyum lebar karena luapan gembira. "Oke," bisiknya mengerti. "Terima kasih." Ia mencium kening Mei lalu bangkit dari ranjang.
"Mau ke mana?"
Lelaki dengan kemeja berantakan itu memutar manik cokelatnya sembari menahan senyum. "Mandi. Mendinginkan diri yang telanjur panas. Jangan ikut, nanti demam," kelakarnya.
Mei melempar bantal ke arahnya dengan tawa kecil. "Go!"
Amiko berjalan ke arah kamar mandi, tapi terhenti di depan pintu. Ia berbalik dan menyandarkan lengan di sisi pintu. Kedua tangannya tersimpan di saku celana jeans hitam yang dikenakan.
"Apa?" Mei yang masih berbaring di tempat tidur menatap paham.
"Udah ke dokter? Kamu sehat, kan?"
Mei mengangguk. "Udah sama Mama kemarin." Ia menahan senyum seolah semakin paham ke mana arah penawaran ini akan berlabuh.
"Enggak mual?"
Perempuan itu menggeleng lagi.
"Enggak pusing? Enggak punya hipertensi? Enggak punya riwayat pendarahan karena aku yakin kamu belum pernah mengandung sebelumnya?"
"Enggak," geram Mei lalu tertawa begitu Amiko memutuskan kembali padanya, meraih sesuatu dari laci nakas, dan membuka bungkusnya dengan sekali gigit.
"Let's do it slowly, Beib," bisiknya.
***
(09-03-2021)
🍁🍁🍁
Ini endingnya lucu dan seksi, tapi aku ragu aman apa enggak tulisan part terakhir ini. Misal terlalu vulgar, bilang ya, Teman-teman. Nanti aku ganti. 😅
Meski emang cerita ini itu aku khususkan buat dewasa. 🤭
Next masih ada epilog. Thanks buat vote, saran, dan komentarnya. 🤗🥰
🍁🍁🍁
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top