A Sweet Honeymoon
Mei sama sekali tak ada pikiran bahwa liburan yang diajukan suaminya bukanlah liburan biasa. Sebelum menikah, Amiko sama sekali tak membahas rencana apa pun kecuali fokus pada acara pernikahan. Untuk itu, wajar bila wanita itu ternganga begitu sampai di Bali.
"Waw ...." Mei bergumam saat memasuki private villa yang akan mereka tinggali selama beberapa hari.
Matanya berbinar menatap infinity pool yang menghadap ke hamparan laut. Kolam renang pribadi yang romantis. Jaquzzi yang tak kalah menawan bertabur kelopak bunga mawar. Lilin yang menyala redup dan sepaket dinner romantis.
Ini sih bukan liburan biasa, tapi bulan madu romantis!
"Do you like it?" Lelaki berkaus putih rangkap kemeja kotak-kotak merah duduk di kursi panjang dekat kolam bersuara pelan.
Mei yang sedang menatap cerminan dirinya di air kolam sambil bersimpuh menoleh. "Otakmu liar!" candanya diiringi tawa tertahan.
Amiko terkekeh seraya merebahkan diri di kursi santai panjang yang ia duduki.
"Oh, tapi aku jadi punya ide menarik. Dania pasti setuju," gumam Mei. Perempuan yang mengenakan blouse sabrina yang memperlihatkan bahu itu segera ikut duduk di kursi. Ia mengeluarkan kertas sketsa yang sudah terlipat menjadi beberapa bagian. "Buatkan aku seperti ini lagi, gambarnya cowok-cewek sedang menikmati senja di infinity pool."
Kedua alis tebal Amiko terangkat lalu ia menerima uluran kertas sketsa yang dulu diminta Mei. Ia tersenyum memperlihatkan deretan gigi putih di balik bibir. Seperti sedang membahas perkara rumit, pria berhidung mancung itu sedikit bangkit dengan menyangga tubuh dengan siku kanan.
"Kamu harus bayar. Aku ini desainer profesional. Rose saja berani bayar mahal. Kamu mau menggunakan jasaku? Enggak gratis, Mei!"
Bibir berpulas lipstik merah muda itu mengerucut. "Aku sedang jatuh miskin gara-gara liburan ke San Francisco. Mana ada uang," ucapnya jujur seraya mengangkat tangan dan mengedikkan bahu bersamaan.
"Wow, liburan yang menguras habis tabunganmu itu bermanfaat juga."
Mei merebah sembari menggeram sebal. "Manfaat bagaimana maksudnya?"
Lelaki bermata cokelat yang masih merebah dengan posisi miring itu menunjuk wajahnya sendiri. "Karena liburan penuh putus asa itu kamu jadi melamarku. Bermanfaat, kan?"
Bola mata Mei berputar jengah. Namun, ia tak mungkin menyerah meminta Amiko menjadi ilustrator buku barunya nanti. Mei merapatkan diri, melekatkan telapak tangan kanan di dada Amiko, dan perlahan telunjuknya bergerak pelan seolah sedang menggambar lingkaran.
"Ayolah, aku sudah telanjur mengajukan premis naskah ke Dania. Novelku pasti akan manis kalau ada gambar ilustrasi sebagus itu," rayunya.
Amiko tertawa kecil, mengusap rambut hitam legam wanita yang kini memeluknya dengan manja. "Oke!"
Mei spontan mendongak dan bersorak pelan, "Thanks."
Mei tahu ada yang mulai ganjil dengan dirinya. Entah kenapa ia mulai merasa tak lagi canggung merajuk dan bermanja ria pada lelaki ini. Terkadang Mei bahkan lupa kalau mereka sedang pura-pura.
***
Netra bermanik sehitam jelaga itu menatap layar ponsel di tangan kanan. Dadanya kembali bergemuruh. Rentetan foto dalam status WhatsApp wanita dari masa lalunya mendadak menjadi teramat mengesalkan untuk dilihat.
Perempuan yang mengenakan blouse putih dalam gambar itu tampak tersenyum dengan wajah berseri. Rasa panas seperti menjalar sampai ubun-ubun saat melihat pria bermata cokelat menyebalkan itu terlihat memeluknya dari belakang dengan hidung melekat di bahu seolah sedang menghidu tubuh femenin beraroma vanila yang dipeluk.
Foto-foto lain juga tak kalah mengesalkannya. Setelah siang tadi mendapat paket berisi cincin kawin dan gaun pernikahan, sekarang ia harus menelan pil pahit berupa kabar Mei sedang berbulan madu dengan suaminya. Setidaknya itu yang ia dengar dari keterangan rekan admin Mei di Madam Rose.
Tidak! Ini bukan Mei yang ia kenal. Mei tak semudah itu mengumbar kemesraan. Pikiran gila mulai tercetus. Brian yakin Mei hanya sedang mengujinya. Namun, sisi kewarasan mengatakan, mereka berhak. Mereka pasangan yang sah. Dirinya yang terlalu gegabah dan tolol melepas perempuan sebaik Mei.
Kemudian pria yang sedang memutar gelas berisi red wine itu mulai berpikir keras di mana letak kekurangan Mei. Nyatanya, wanita berambut hitam bermata jernih itu teramat sempurna. Sifatnya yang mandiri, telaten melakukan pekerjaan rumah di sela kesibukannya sebagai wanita karier, sayang keluarga, dan tak mau disentuh sebelum ada ikatan pernikahan.
Mungkin Mei bisa dibilang wanita kuno yang kolot dengan banyak aturan dalam berkencan. Namun, Brian mengakui satu hal. Ia teramat cemburu karena bukan dirinya yang mendapatkan kesempurnaan Mei, tapi si lelaki sok ramah dengan senyum menyebalkan.
Tarikan paksa pada ponsel di tangan sontak membuat lamunan Brian menguap. Sosok wanita dengan mini dress merah tanpa lengan itu mengambil alih benda persegi itu usai berdansa dengan teman-teman di kelab malam milik sang papa. Bibir berlipstik merahnya menunjukkan senyum sinis.
"Cemburu?"
Brian berdecak pelan kemudian meneguk minumannya dengan sekali tegukan. "Enggak. Masa lalu yang udah lewat. Mau pulang? Ini udah jam 1 pagi."
Kekasih Lisa yang hampir setengah mabuk bangkit dari kursi. Ia hampir berjalan menggandeng perempuan yang mulai kesal dengan perubahan sikapnya.
"Kamu berubah, Bri!" Sapaan Kak menguar entah ke mana. Wanita bertubuh molek itu agaknya mulai tak tahan.
Brian melepas gandengan, kembali duduk, dan mengusap wajah lelahnya. "Please, kepalaku terlalu pusing untuk diajak berdebat. Aku enggak berubah. Apanya yang berubah? Aku cuma enggak suka kamu pulang terlalu larut begini. Kamu yang semestinya berubah, Lis."
"Pulang aja sendiri!" Lisa beranjak meninggalkan Brian. Ia kembali ke dalam kerumunan orang-orang yang masih mengentak-entakkan tubuh di dance floor.
Astaga, ia lupa! Lisa bukan Mei yang gampang diberi arahan dan penurut mengikuti hal-hal yang sekiranya baik.
***
"Siapa teman yang minta dijemput tadi pagi?" Mei bertanya setengah terpejam. Ia mulai mengantuk di balik selimut.
Amiko yang sama hampir terpejam kembali membuka mata. "William. Dia ada acara di Jakarta."
"Mm ...."
Senyum Amiko tertahan. "Tidurlah, kamu lucu kalau ngantuk ngajak ngobrol," bisiknya sembari menaikkan selimut.
Mei bergumam tak jelas. Namun, tak lama kemudian ia benar-benar terlelap. Dengkuran halus menarik perhatian Amiko untuk menyibak anak rambut yang menutupi pipinya. Mengamati wajah polosnya dalam diam. William benar. Wanita yang dinikahinya bukan tipe wanita pada umumnya yang ia temui di San Francisco. Bertahun-tahun hidup di Amerika agaknya membuat Amiko lupa akan perbedaan pola pikir.
"Enggak adil buat dia kalau lo nyembunyiin masa lalu tentang Emma, Bro. Seharusnya terbuka, biarin dia tahu masa lalu lo dari mulut lo sendiri. Entar kalau kejadian dia tahu dari orang lain baru deh nyesel. Ingat, apa yang elo anggap biasa di San Francisco belum tentu lumrah di sini. Tahu, kan, maksud gue? Elo sama Mei itu beda."
Amiko membuang napas kasar. Perkataan William patut dipertimbangkan. Pertemuan bersama sahabat lamanya itu diisi dengan banyak cerita. Meski Amiko tak akan mungkin bercerita dahulu bila Will tak memulai duluan untuk membuka cerita.
Yang menjadi ganjalan Amiko sekarang, apa Mei mau menerima masa lalunya? Benarkah bila ia ceritakan sekarang, wanita dalam dekapannya ini tak akan marah dan tak akan menjaga jarak darinya?
Pada kenyataannya, Mei terlalu baik memilih laki-laki seberengsek dirinya meski katanya ini hanya pura-pura.
Amiko menghela napas panjang. Ia melekatkan kening di kening Mei, berusaha menyerah pada rasa kantuk yang menyergap dengan sama memejam.
***
(09-02-2021)
🍁🍁🍁
Halo, selamat menjelang tengah malam. 😁
Terima kasih untuk yang masih mau menunggu Amiko dan Mei update. 🤗🥰
Selamat berkenalan dengan sisi lain Amiko. 🤭
Jangan mengagungkan ke-sweet-an Amiko. Kemanisannya bisa jadi boomerang buat dirinya sendiri. Kita belum tahu masa lalu Amiko lho, ya. 🤣
Awas, lho, entar nyesek kayak pas tahu Sam ternyata duda tapi ganteng. 🤣
Oke, jangan lupa bantu vote, komen, dan share ke teman untuk ikutan baca, ya. Terima kasih. 🤗🥰
🍁🍁🍁
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top