A Good Daddy and Husband

Ruang tengah masih berantakan. Keduanya masih enggan beranjak meski meja kaca di depan sofa juga sama kacaunya. Laptop yang masih menyala, beberapa lembar kertas terserak, dua ponsel yang entah sejak kapan terjatuh di atas karpet. Amplop berisi foto-foto kontes Madam Rose juga masih masih enggan Mei tumpuk kembali. Keduanya masih nyaman berlama-lama merebah di sofa panjang bernuansa abu-abu.

Amiko baru saja pulang tiga puluh menit yang lalu. Waktu yang cukup membuat konsentrasi Mei bubar dalam melembur pekerjaannya menentukan pilihan pada setumpuk foto di ruang tengah. Bagaimana bisa berkonsentrasi bila begitu Amiko sampai, lelaki itu merapatkan diri padanya, bersandar sembari memeluk erat. Alasan belum mandi atau apa pun itu tak cukup kuat dibanding godaan semesta macam itu.

"Satu pertanyaan lagi. Kenapa orang Barat itu mau tinggal bersama padahal belum menikah? Padahal ... itu kan ... tidak lazim." Mei membuat gerakan tanda kutip dengan jari telunjuk dan jari tengah di udara.

Meninggalkan tugas dari Madam Rose, Mei memilih mengerjakan riset untuk naskahnya. Ia merekam wawancara di ponsel yang tergeletak di karpet. Susah payah perempuan itu mengulurkan tangan tanpa mau meninggalkan sofa demi meraih gadget yang tergeletak tepat di bawah sofa.

Amiko tampak menimbang jawaban. "Karena menurut orang-orang Barat itu menikah cuma satu kali. Perlu pemikiran matang untuk menjalani sebuah rumah tangga. Tinggal bersama merupakan sarana perkenalan sebelum masuk ke jenjang pernikahan."

Kening Mei berkerut. Agaknya ia sedikit tak sependapat dengan hal itu. "Perkenalan? Termasuk urusan ranjang juga perkenalan?"

"Beda, Mei. Cinta itu enggak ada hubungannya sama seks. Mereka itu menganggap hubungan seks suatu kebutuhan dan lumrah dilakukan tanpa harus menikah dulu. Menikah itu perkara pembuktian cinta."

Kerutan di kening istrinya bertambah banyak. "Terus apa istimewanya pernikahan itu? Bukankah menikah itu suatu hal yang sakral? Sesuatu yang akan melegalkan sebuah hubungan? Iya, kan?"

"That's the point, Mei! Itu sebab di negara Barat makin jarang orang yang mau menikah. Ngapain menikah kalau cuma buat melegalkan hubungan seks? Toh mereka udah biasa melakukannya tanpa harus menikah dulu."

Mei terdiam sejenak. Namun, tetap saja wajahnya menampakkan ketidakcocokan dan akan selalu ada bantahan demi bantahan yang akan muncul dari sikap kritisnya. "Aku masih belum mengerti. Tetap saja perempuan ada dalam posisi yang dirugikan kalau begitu."

Amiko berdeham sekali. Ia melepas pelukan lalu duduk seraya melepas jam tangan digital di tangan kiri. "Memangnya kenapa tanya-tanya begitu? Apa hubungannya dengan naskah yang akan kamu tulis?"

"Aku sedang menentukan ending cerita saja. Menurutmu, apa harus si  cewek mau menerima masa lalu si cowok kalau ternyata cara pandang mereka beda akan hal cinta?"

"Kalau saling cinta kenapa harus pisah? Masa lalu akan tetap jadi masa lalu.
Selama keduanya mau menjaga komitmen kenapa tidak?"

Bibir tipis tanpa pulasan lipstik itu tersenyum. Ia bangkit dan memilih duduk bersila. Amiko hampir meneguk air putih di meja saat wanita berkemeja kebesaran dengan sebagaian kancing terbuka itu meletakkan tangan kanan di bahu kiri suaminya. Mei melekatkan dagu di atas telapak tangan itu dengan manja dan penuh arti.

"Ada yang bilang, laki-laki itu dilihat dari masa depannya, sementara perempuan dilihat karena masa lalunya. Masa laluku baik-baik saja. Aku jamin kamu akan segera jatuh cinta padaku, selalu memikirkanku, dan merindukanku setiap saat hanya karena semalam meski kita enggak pernah tinggal bersama sebelumnya." Mei melebarkan senyum, memperlihatkan deretan gigi putihnya.

Amiko menoleh. Cara Mei mendekat cukup menggoda minatnya untuk balas menggoda. "Tenang saja. Aku ini pekerja keras, Beib. Masa depanmu terjamin bersamaku. Mau kebun binatang seisinya?" bisiknya.

Mei terkekeh. "Enggak mau. Aku mau dompetmu saja."

Amiko terkikik seraya merogoh saku belakang celana jins hitamnya, mengambil dompet kulit berwarna hitam. Lalu ia berikan ke tangan Mei. "Untukmu apa yang tidak, Sayang."

Tawa keduanya meledak. Bukan pembahasan yang serius. Mereka memang murni sedang bercanda. Namun, diam-diam Amiko membenarkan. Ya, ia menggilai wanita yang kini sedang tertawa lepas di dadanya. Sikapnya yang manis dan tak banyak tuntutan. Cara memercayakan dirinya pada suami, jelas membuat Amiko merasa bisa diandalkan dan bertanggung jawab sebagaimana mestinya laki-laki.

Hanya dalam satu malam setelah hubungan mereka sah, Amiko hampir tak punya alasan untuk menolak jatuh cinta. Tak butuh perkenalan yang berlarut-larut, ia seperti sudah mengenal dekat istrinya karena pernikahan ini. Apa Mei juga begitu?

Ponsel yang berdengung membuat keduanya menghentikan tawa. Nama Rin tertera di layar, membuat mereka berpandangan sejenak. Pukul delapan malam, tumben ia telepon.

"Iya, Mbak?" Mei menyambut panggilan.

"Aku udah di lobi sama Aldi nih, Mei. Mau antar barang sekalian ini bocah ribut mulu mau ketemu kamu sama Amiko." Suara Rin dari pengeras suara ponsel cukup membuat wanita di sisi Amiko itu kelimpungan.

Ia mematikan ponsel begitu berucap kata ya. "Buruan sana mandi. Aku beresin ini dulu," titahnya sembari meraih jaket di sandaran sofa, blazer kuning kunyit di karpet, dan menumpuk amplop yang terserak di meja.

"Sana kamu mandi duluan. Biar gantian aku yang beresin." Amiko mengambil alih jaket dan blazer, membawanya ke laundry room dekat dapur.

"Terima kasih," gumam Mei. Ia berlari kecil ke kamar setelah mengembalikan gelas ke cucian piring.

Amiko tersenyum menatap punggung Mei yang berlalu. "Kamu juga. Aku jamin tidak ada lagi kata pura-pura. Aku pastikan kamu juga jatuh cinta padaku," gumamnya lirih lalu menggeleng tak habis pikir masih dengan senyum yang sama.

***

Mei menatap sebal pada kotak gaun dan cincin berpermata berlian di meja ruang santai. Dua benda yang Rin kembalikan pada mantan calon suami adiknya lewat ekspedisi pengiriman barang berakhir dikembalikan. Mei tak sampai hati membuang benda bernilai jutaan rupiah itu karena bukan ia yang beli, tapi orang tua Brian.

"Ya udahlah, Mei, jual aja cincinnya terus ...."

"Uangnya aku pakai gitu? Enggak! Harga dirilah, Mbak." Perempuan berpiama motif bunga mawar itu bersandar lelah di sofa. Ia mengusap wajah sedikit kasar di sela helaan napasnya.

"Mei, tanda-tanda itu, Mei," celetuk Rin tiba-tiba. Dagunya menatap ke arah kamar tamu yang pintunya terbuka.

Spontan adik Rin itu mengalihkan atensi pada lelaki yang sedang tengkurap di lantai menemani Aldi. Keduanya asyik dengan dunianya. Sepanjang perjalanan hidup bersama Aldi, Mei paham bocah itu susah bergaul dengan siapa pun. Bahkan anak berkaus merah itu menutup diri dari Brian.

"Tanda apaan?" Mei bertanya. Ia mengangkat kedua kaki lalu duduk bersila.

Rin berdecak memahami kinerja otak adiknya yang terkadang terlalu lamban. "Ya, tanda, Mei!" Rin menggumam dengan suara pelan. "Suamimu itu luwes banget sama anak kecil. Dia enggak canggung bercanda sama Aldi. Pintar mengambil hati anak-anak. Kalian kan juga udah mapan. Amiko suami yang baik. Kerjaan kalian juga udah mapan."

"Terus tanda buat apa itu maksudnya?" Mei sedikit sebal dengan cara Rin yang tak to the point, membuatnya tak sabaran mengerti maksud pembicaraan mereka.

"Ampun, ini anak. Sekolah tinggi tetep aja kepekaannya di bawah standar," cibir perempuan yang lebih tua 5 tahun dari Mei. "Anak, Mei! Memangnya kalian menikah enggak mau punya anak gitu?" Rin menjelaskan dengan suara tertahan.

Mei memutar bola matanya. "Emang segampang itu? Mau punya anak kan butuh proses, butuh usaha. Dikasih cepat ya syukur, enggak, aku bisa apa?"

Rin menipiskan bibir. Namun, pembahasan yang berkesempatan mengundang debat kusir itu ia hentikan. Mei memilih menutup pembicaraan dengan meraih ponsel di meja. Rin sendiri asyik melihat kesibukan Aldi yang sedang mencoret-coret di buku gambar.

Kehebohan bocah berambut cepak itu sontak membuat Mei juga tertarik memperhatikan. Aldi kegirangan meraih pensil warna dan mewarnai segala rupa gambar binatang yang Amiko buat. Mei akui, cara suaminya menyentuh puncak kepala Aldi, gaya bicara yang bersahabat, dan sesekali menebar tawa, membuatnya membenarkan perkataan Rin. Amiko begitu luwes menghadapi anak kecil. Tak seperti Mei yang lebih sering menahan emosi dan berujung percekcokan dengan Aldi. Mei kadang tak sabaran mengatasi keusilan keponakannya.

Apa saran Rin perlu dipertimbangkan? Mei tersenyum tipis.

***

(16-02-2020)

🍁🍁🍁

Memang, Amiko itu gambaran sempurna sosok suami yang enggak pelit dan enggak anti-anak kecil. Like a good daddy and husband. 😆
Hayo, siapa yang enggak pingin punya suami yang ramahnya kelewatan dan penyayang? 😌

Hai, apa kabar? Terima kasih masih bertahan di cerita ini. 🤗🥰

Ngomong-ngomong, cerita ini beda sama Miko Mei (Long Distance), ya.
Memang tokohnya banyak yang sama, tapi ceritanya aku rombak total.
Amiko, Te Amo! jelas lebih tertata dan karakternya kuat.
Kalau di Miko Mei, tokoh Miko-nya sosok cowok kalem. Sementara Amiko di sini lebih percaya diri dan pandai membuai perempuan. Dia enggak segan merayu istrinya sendiri.
Mei juga di sini tokohnya lebih kuat dan gambaran perempuan tangguh yang enggak suka ditindas.
Jadi, kalau baca dua naskah itu jelas beda jauh. 🤭
Tapi terima kasih sudah mau kepoin Miko Mei.

Untuk saat ini naskah andalan yang udah ending ada Lentera dan Lalita's Diary. Dua naskah itu udah end, silakan mampir untuk yang belum baca.

Mohon tidak menangis untuk baca Lalita's Diary, tapi bahagia di akhir cerita. Yasa dan Lita butuh teman berbagi. Mereka berdua teramat manis, tapi tragedi yang menimpa cukup memilukan.

Jangan geregetan juga baca Lentera. Rasanya pingin nimpuk laki-laki lempeng  di naskah ini. 😂

Oke, terima kasih. Semoga betah ikutin ceritaku terus. Jangan lupa vote dan komen banyak-banyak. 🤗🥰

🍁🍁🍁

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top