5.

Ameera memucat saat ucapan salam terdengar pelan dari luar pintu kamar. Gadis yang sudah didandani sedemikian rupa untuk menyambut malam pertama seperti yang dikatakan Jamilah itu menjadi panik. Yang benar saja, dia bukanlah wanita pemberani seperti kelihatannya, dia tak lebih dari gadis polos yang hanya bergaul dengan Jamilah.

Belum sempat Ameera berfikir, Ahmed sudah masuk ke dalam kamar, lengkap dengan pakaian pengantinnya. Turban megah yang dihiasi benang emas bewarna hijaunya serta jubah yang berkilau kerena ditaburi mutiara serta ukiran benang emas yang tersebar di bagian lengan dan dadanya.

Ameera menaikkan dagunya, mata sembab itu dipaksakan membelalakkan mengintimidasi. Tapi Ahmed Tidak begitu berpengaruh pada wajah itu. Dia tetap tak peduli dan terkesan lelah.

"Kenapa anda belum tidur, Putri?' suara besarnya menggema di penjuru kamar yang sudah disulap menjadi kamar pengantin.

"Bagaimana aku bisa tidur, kau bisa mengancam keselamatanku sewaktu- waktu." Ameera menjawab ketus.

Ahmed tak langsung menjawab, laki- laki tinggi dan kekar itu membuka jubah luarnya seiring dengan Ameera yang berseru kaget.

"Kau ... Kau, Apa yang kau lakukan?"

Ahmed mengernyitkan kening, jubah penganten yang merepotkan itu sudah berhasil digantung di tiang khusus. Ameera bernafas lega, ternyata pria itu memiliki jubah dalam yang bewarna biru gelap.

"Syukurlah!"

"Apa yang sedang anda pikirkan, putri?" Ahmed tak sengaja tersenyum geli, gadis kecil itu terlalu mudah untuk dibaca.

Ameera semakin menaikkan dagunya. Dia menyembunyikan rasa malu karena laki-laki itu menebak isi kepalanya.

"Aku harus berhati-hati padamu."

"Oh! Bukankan kita sudah sepakat, Putri? Bahwa pernikahan ini takkan mengubah status sosial kita."

"Syukurlah! Kau masih mengingatnya." Ameera menghempaskan nafas lega. Hatinya sedikit tenang. Hal yang perlu disyukurinya adalah Ahmed menampakkan rasa tidak tertarik sama sakali, bahkan setelah cadarnya dibuka dan rambutnya diurai.

Ahmed sekarang sedang mengamati pedang yang berada di tangannya. Begitu aneh laki-laki itu, di malam pertama mereka, dia malah mengagumi pedang miliknya sendiri, hal itu membuat Ameera semakin bernafas lega.

"Besok, sebelum subuh, saya diperintahkan oleh yang mulia untuk membawamu ke suatu tempat." Ahmed berbicara tanpa melihat Ameera. Pedang tajam itu berkilau ditempa sinar penerang kamar.

"Apa maksudmu? Aku tak mengerti."

Mata Ahmed menerawang. Nada bicaranya semakin serius.

"Keadaan istana mulai tak aman, Putri. Pemberontak sudah sampai di perbatasan, raja dan permaisuri akan diungsikan ke daerah selatan. Dan anda," Ahmed memberi jeda, "akan di bawa ke bagian Utara."

Ameera terkesiap, bagian Utara? Dia tau betul di sana adalah lembah Padang pasir yang bersuhu sangat dingin.

"Siapa yang memerintahkannya?" Suara Ameera tercekat, matanya mulai berkaca-kaca.

"Saya bertindak sesuai perintah yang mulia raja."

"Apa ayah ingin membunuhku? Mengungsikan aku ke bagian Utara sama saja ingin membunuhku." Ameera semakin tak bisa mengendalikan nada bicaranya.

"Tuan putri, saya rasa yang mulia punya alasan untuk itu."

"Aku akan menemui ayahku."

Ameera berjalan tergesa-gesa meninggalkan Ahmed yang tak mampu mencegahnya.

*****
"Apa maksud semua ini, Ayah?"

Raja Sulaiman kaget dan tak menyangka putrinya menerobos masuk ke dalam perpustakaannya. Dia memang tak bisa tidur dan butuh waktu untuk menyendiri.

"Duduklah! Seorang putri sudah dibekali dengan pelajaran etika dan kesopanan."

Ameera tak mengindahkan ucapan sang Ayah. Dia tetap berdiri bahkan sambil melihat tangannya di dada.

"Ayah ingin membunuhku? Mengungsikan diriku ke bagian Utara sama saja ingin membunuhku, Ayah. Ayah tau pasti udara di sana sangat dingin, padang pasir tanpa pemukiman penduduk, kenapa ayah melakukannya? Apa sebegitu tidak sukanya ibu tiriku padaku sehingga berniat menyingkirkanku." Ameera menangis. Dia mengakui, hubungannya dengan permaisuri tak pernah berjalan baik semenjak kematian ibunya dua puluh tahun yang lalu.

"Anakku! Tenanglah! Kau hanya perlu mendengarkan alasan ayah. Semua demi keselamatanmu, kerajaan kita sedang terdesak, kemenangan tempo hari ternyata membuat musuh semakin menyatukan kekuatan untuk menyerah istana kita. Bagian Utara adalah tempat yang paling aman, tidak pernah dikunjungi siapapun. Musuh takkan pernah menemukanmu di sana."

Ameera terdiam, sambil mengusap air matanya.

"Bagaimana dengan ayah? Apakah bagian selatan aman?"

Raja Sulaiman menghela nafas.
"Setidaknya di sana lebih aman dari pada di sini."

"Lalu, siapa yang akan mendampingiku di sana?"

"Jamilah akan mendampingimu, dan Ahmed akan menjagamu dengan nyawanya, itulah alasan kenapa aku menikahkan kalian."

Ameera meremas jemarinya dan tak sanggup lagi berkata-kata.

"Kalian akan berangkat pagi-pagi sekali dan dibantu beberapa pengawal terpilih. Ayah harap, kau bisa menerima kenyataan ini demi keselamatanmu."

*****
Ameera terpekur di atas ranjang penganten miliknya. Sedangkan Ahmed sudah terlelap sambil duduk dan memangku tangannya. Dia terlihat cukup lelah, buktinya dia tidak terusik dengan kedatangan Ameera.

Ameera melirik Ahmed, laki-laki berambut hitam legam itu merupakan panglima kebanggaan ayahnya. Pemuda yatim piatu yang diselamatkan oleh raja Sulaiman saat berperang dengan tentara Romawi dua puluh tahun yang lalu. Dia mendengar sendiri cerita itu dari sang ayah. Keluarga Ahmed, orang tuanya dan tiga kakak perempuannya mati dibantai oleh tentara Romawi. Mungkin itu pula yang membuat Ahmed begitu setia pada raja Sulaiman dan tak pernah berfikir untuk menikah di umur setua ini.

Ameera menjadi tak habis pikir, kenapa dia harus menikah dengan pria yang bahkan memiliki jarak umur yang begitu jauh darinya.

Ameera buru-buru mengalihkan pandangan saat mata tegas yang tertutup itu terbuka perlahan.

"Maaf, Putri. Saya ketiduran."

"Bagaimana kau bisa menjagaku, sedangkan kau adalah laki-laki tukang tidur."

Ahmed tak menghiraukan ocehan Ameera. Dia bangkit dan mengintip sedikit keluar jendela dengan menyingkap tirai tebal itu.

"Sebentar lagi subuh. Saya harus bersiap-siap. Kemasi apa yang perlu anda bawa, Putri. Tapi jangan terlalu banyak."

"Hei? Kau memerintahku? Aku tak pernah melayani diriku sendiri, aku punya pelayan."

"Mulai sekarang anda harus terbiasa melakukan banyak hal sendiri, Putri. Kerena sebentar lagi kita tidak tinggal di istana. Tugas saya hanya melindungi nyawa anda, bukan melayani anda." Ucapan Ahmed tegas.

"Kau?" Ameera hanya menggeram tertahan.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top