2.
Ameera memandang bosan ke luar jendela kamarnya, hidupnya yang datar tak memiliki warna, dia juga ingin seperti dua gadis pelayan yang tertawa lepas sambil berbisik membicarakan hal yang menarik, atau seperti gadis desa yang pernah dilihatnya tempo hari. Mereka menanam bunga, berkebun dan bisa pergi ke pasar untuk memilih pernak- pernik atau membeli abaya model terbaru tahun ini.
Ameera, dia menganggap kecantikannya adalah kutukan, dia bahkan diperlakukan seperti barang antik yang tak boleh dilihat sembarang orang. Jika dia keluar istana karena terdesak, maka seluruh tubuh akan ditutup rapat serta cadar yang hanya menyisakan matanya.
Ameera melirik sekeliling kamarnya, sepertinya Jamilah sedang memiliki keperluan pagi ini. Kalau tidak, wanita itu pasti sudah berada dalam kamarnya sambil mengoceh yang tak perlu.
Ameera melirik lagi suasana di luar, jendela kamar bagian belakang memang langsung berhadapan dengan kebun bunga milik almarhumah ibunya, di sana hanya ada dua gadis muda yang asik berbicara tapi entah apa, sambil mencabut rumput yang mulai tumbuh di sekeliling rumpun bunga.
Ameera menyingsingkan abaya miliknya, mengangkat sedikit tubuhnya dengan menumpukan dua tangan. Berhasil, dia berhasil memanjat jendela yang tingginya sama dengan bahunya.
Ameera memandang ke bawah dengan perhitungan, istana ini memang dirancang luar biasa, setelah berhasil memanjat, lalu bagaimana dia harus meloncat ke bawah, bahkan ini lebih dari tiga meter. Belum sempat Ameera berfikir, teguran keras mengagetkannya.
"Astagfirullah, Putri. Apa yang Anda lakukan?" Jamila tiba-tiba muncul dengan membawa pakaian ganti di tangannya.
Ameera hanya bisa pasrah dan meloncat turun kembali.
"Putri, jika Ayah Anda tahu, beliau akan memarahi saya."
"Jangan berlebihan, Jamilah. Aku hanya ingin keluar istana. Sebentar lagi aku akan berubah gila jika terkurung lebih lama."
"Putri, saya mengerti, tapi ayah Anda memerintahkan seperti itu."
"Ayah terlalu berlebihan, aku takkan kabur dari istana ini, aku hanya ingin keluar, aku mohon! Setidaknya izinkan aku memetik bunga kesayangan ibuku." Ameera memelas.
Jamilah tampak menimbang. Dia juga kasihan pada gadis itu, gadis yang sudah seperti anaknya sendiri.
"Baiklah! Tapi Anda harus mandi terlebih dahulu dan menutup wajah Anda dengan cadar."
"Baik, terimakasih, Jamilah." Ameera memeluk Jamilah membuat pelayannya itu tersenyum bahagia.
*****
Ameera memang tak melanggar kesepakatan, dengan abaya hitam serta cadar yang menutup wajahnya, dia berjalan mengelilingi taman bunga, tapi tetap dalam pengawasan Jamilah. Dia seperti anak-anak yang diberikan mainan. Senyum bahagia yang tersembunyi di balik cadar hitam miliknya.
Cukup lama, Ameera sudah mengumpulkan beberapa tangkai bunga di keranjang yang dibawanya. Dia benar-benar puas hari ini, dengan langkah semangat Ameera berjalan menuju Jamilah yang berada tak jauh darinya.
Ameera menghentikan langkahnya, saat segerombolan prajurit yang baru sampai setelah berperang terlihat di melintas tak jauh darinya. Wajah wajah lelah tapi puas, serta penampilan lusuh yang dipenuhi noda darah yang mengering.
Memang, saat ini kerajaan sedang memerangi pemberontak, beberapa wilayah ingin melepaskan diri dan mendirikan kerajaan sendiri. Belum lagi ikut campurnya kerajaan Romawi ingin merebut daerah yang kaya itu.
Tiba-tiba mata Ameera menangkap laki-laki yang paling mencolok di antara ratusan yang melintas. Dia lebih tinggi, lebih kuat dan terlihat berpengaruh, sehingga semua yang ada di situ terlihat sungkan dan mengangguk patuh setiap laki-laki itu berbicara.
Ameera mengendap mendekat, menjulurkan kepalanya di balik rumpun bunga, mengamati wajah laki-laki itu lebih jelas.
Baru dia ingat, laki-laki itu adalah Jendral kesayangan ayahnya. Berwajah dingin dan tak pernah tersenyum, umurnya cukup tua, mungkin tiga puluh tiga tahun dan belum juga menikah.
Ameera sering mendengarkan ayahnya memuji Jendral kesayangannya jika mereka berbicara tentang perperangan. Kata ayahnya, Ahmed bagaikan perpaduan kekuatan lima ratus tentara terlatih yang sangat kuat di Medan perang. Dia selalu membawa kemenangan, penakluk Medan tempur yang namanya bahkan ditakuti kerajaan Romawi.
Setelah rombongan itu berlalu, Ameera berjalan cepat mendekati Jamilah. Jamilah membantu Ameera membawa keranjang bunga yang sudah penuh terisi itu.
"Sepertinya kali ini kita mendapat kemenangan lagi, Putri. Melihat betapa cerahnya wajah wajah tentara ayah anda."
"Hanya satu orang yang terlihat biasa. Dia panglima kesayangan ayahku." Ameera menjawab malas.
Jamilah tersenyum.
"Bukankah dia laki-laki yang tampan, Putri. Walaupun tak pernah tersenyum." Jamilah menggoda nona nya yang masih lugu itu. Dia mendengar sendiri dari raja Sulaiman, Ahmed akan dinikahkan dengan Ameera. Tapi baik Ahmed atau Ameera belum mengetahui hal ini.
"Aku melihatnya biasa saja, orang seperti itu pasti sangat membosankan."
Jamilah hanya tersenyum, lalu membuka pintu kamar milik Ameera. Apa reaksi gadis itu nanti, jika dia tau akan dinikahkan dengan Ahmed demi keselamatannya.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top