Ameagari
》· · ──────·本·──────· ·《
.
.
.
.
.
Let the rain kiss you
Let the rain best upon on your head
With silver liquid drops
Let the rain sing you
A lullaby
-Lengston Hughes
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
Ameagari : (n) after the rain
.
.
.
.
.
.
.
Langit terlihat muram seolah kuas abu-abu kromatik dilukiskan di sana. Seperti seseorang ketika menahan tangis, lalu sedikit demi sedikit air matanya jatuh. Lalu gemericik air mencium permukaan tanah.
Segelintir orang bisa saja mencaci maki langit yang menangis. Apalagi masa peralihan dari musim semi ke musim panas, hujan turun hampir setiap hari. Hujan juga kadang dianggap pilu dan pembawa kesedihan. Mereka tak bersemangat kerja dan memilih meringkuk di rumah.
Bagi sebagian yang lain, hujan merupakan orkestra yang dimainkan oleh konduktor yaitu sang pencipta. Melodi rintik air yang bertemu permukaan seolah ditulis oleh musikus surga. Ritmenya menceritakan kebahagiaan dan kesedihan. Panggung yang indah dilengkapi dengan hanashobu bermekaran menyambut musim panas.
Itu yang dirasakan Ishimaru Hana siang ini. Hujan membangunkannya dari tidur singkat dalam kubik kecil bernama ruang kelas. Mengusir rasa kantuknya, memaksanya menonton panggung utama orkestra hujan dari bidang kaca ruang kelas.
Ah, seandainya ia bisa melompat keluar dan menari waltz di sana.
Hana mengalihkan pandangannya dari panggung hiburannya ke tempat lain, mendapati manik mata biru gelap, sewarna dengan dasar lautan, sedang memperhatikannya. Sedetik kemudian setelah mata mereka bertemu, terputuslah kontak mata itu.
Hana mengenalnya, dia itu Kageyama Tobio.
Meja Kageyama ada di sebrang meja Hana. Memang interaksi diantara mereka tidaklah tinggi mengingat cowok dari klub voli itu cukup pendiam dan kaku. Dan Hana yang tak memulai percakapan bila tak diperlukan.
Meski Hana mengakui, cukup sulit untuk menyembunyikan ronanya ketika ditatap seperti itu oleh seseorang yang kau sukai sejak pertama kali menginjakkan kaki di kelas ini. Seperti kau tidak bisa memaksa bunga sakura terus menguncup di musim semi bukan?
Ah, mungkin Kageyama bosan dengan pelajaran pikir Hana. Kelas hari ini memang terasa membosankan. Dan hujan datang menyelamatkan kebosanan itu.
Hana kembali menatap hujan yang tenang, dia sudah tak mempedulikan sensei yang sibuk mengajar. Sesekali ekor matanya melirik jejaka di sebelahnya. Jantungnya berdebar seiring dengan ritme rintik hujan.
Satu langkah, satu langkah saja.
Hana menarik selembar post it dari kotak pensilnya. Sejenak dia ragu, lalu mengenyahkan pikiran itu. Pena menari cepat di atas kertas, dan sesaat berikutnya kertas sudah berpindah tempat. Ke meja Kageyama.
‘Ada apa? Kau butuh bantuanku?’
Hujan kembali memburu seperti detak jantung Hana. Ia berharap rintik hujan menguburnya saat itu juga.
Lalu kertas yang sama juga mendarat di mejanya kembali. Kageyama membalasnya.
‘Kau terlihat senang.’
Ada rasa manis di ujung lidahnya, seperti menyesap permen. Hatinya meletup-letup layaknya festival kembang api. Bunga-bunga plum bermekaran. Hana meliriknya, berharap bisa membaca sesuatu lagi dari wajah kaku itu. Tapi tak apa, dia sudah cukup bahagia melihatnya.
Ya, karena hujan dan kamu.
Sebuah opera terbentuk di sudut ruang kelas itu, diantara gema hujan yang makin melambat dan melambat, hingga awan kelabu pergi.
*
Siang itu terasa lembap. Seperti cucian yang tidak terlalu kering.
Hana menemukan Kageyama di mejanya begitu kelabu. Dahi menunduk menyentuh pergelangan, menyembunyikan wajahnya yang Hana duga sangat kusut. Sejak pagi, dia terlihat seperti itu. Bahkan sekotak susu favoritnya di atas mejanya tak mampu mengembalikan binar pada lelaki itu.
Hana sedikit meragu, sebelum akhirnya mengisi kursi di depan meja Kageyama, karena pemiliknya sekaligus seisi kelas sedang menikmati waktu istirahat di kantin.
“Kau baik-baik saja?” tanya Hana pelan. Sejak dia berani menyurati Kageyama, rasanya lebih sedikit mudah untuk bicara pada lelaki kaku itu.
“Tak pernah setakut ini.” suara Kageyama terdengar lirih, seperti angin yang berbisik di sela daun momiji. “Aku akan menghadapinya besok.”
Sedikit banyak, Kageyama menceritakan tentang kegiatan volinya. Sosok yang kerap menghantui Kageyama, Oikawa Tooru, selalu memberi rasa yang berbeda ketika mereka bertemu di pertandingan. Pernah kalah saat penyisihan Inter High, luka yang sangat membekas buat setter Karasuno tersebut.
“Kau tidur cukup?”
Tak ada balasan dari Kageyama. Kantung matanya sepanjang kelas membuktikan bahwa dia tidak bisa terlelap nyaman semalaman.
Hana kembali meragu saat menatap kepala Kageyama yang tertunduk. Entah ekspresi apa yang dipasang jejaka itu di baliknya. Hana tau Kageyama di lapangan tak pernah ragu, selalu percaya diri dan maju meski disaat-saat kritis. Dan kini sisi rapuhnya…
Tangan Hana menjulur ke atas kepala Kageyama. Perlahan dan ragu, mengusap surai hitam lelaki itu. Dapat dirasakannya Kageyama kaget, tetapi dia tak berkata apapun. Hana mengusapnya makin lembut, selembut angin musim semi menyapu rumput ilalang.
“Tidurlah. Lupakan sejenak.” katanya tenang dan berbisik, seolah merapal mantra penghilang ketakutan. Dapat di dengarnya nafas Kageyama berangsur teratur sambil berbisik,
“Terima kasih.”
Rintik hujan mulai berjatuhan di luar kelas, untuk kesekian kalinya sepanjang tahun ini. Dengan deru nafas lelaki yang tertidur tenang, melupakan masalahnya.
*
Bel pulang sekolah menggema diantara hujan yang turun di akhir musim gugur. Angin dingin bertiup, menggetarkan kulit-kulit hingga menusuk tulang.
Mereka bilang, ini akan menjadi hujan terakhir sebelum masuk musim dingin.
Hana tak beranjak dari mejanya. Tak peduli koridor yang ramai oleh siswa pulang sekolah, semakin mengosongkan isi kelas-kelas. Ramai berbincang dinginnya suhu, membuka payung, pergi ke ruang klub yang hangat. Pemandangan payung terbuka yang memenuhi jalan terlihat, melindungi pemiliknya.
Tapi Hana tetap diam di mejanya, dengan mata tak lepas dari rintik hujan yang menyentuh celah dahan dari pohon yang telah meranggas, berjatuhan di antara payung warna warni, atau hinggap di jendela.
Rasanya tenang. Begitu tenang.
“Kau tidak pulang?” suara yang begitu disukainya selain gemericik air langit, suara Kageyama menyapanya.
‘Tidak.”
“Menunggu hujan berhenti?”
“Ya. Selalu.”
Karena Hana tak pernah membawa payung. Dia lebih rela berteduh dan menikmati hujan dalam sunyi selama berjam-jam. Menikmati panggung opera yang mewah.
Di sisi lain, Kageyama menggenggam erat payung lipatnya. Setelah menatap punggung gadis yang menghadap jendela itu, diputuskan untuk menyimpan kembali payungnya ke dalam tas. Lalu beranjak menuju bangku di depan meja Hana dan duduk di sana.
Hana tidak tahu mengapa Kageyama menyembunyikan payungnya.
“Aku juga tidak membawa payung.”
Lagi dan lagi, Hana mati-matian menyembunyikan rona merahnya yang sewarna bunga sakura. Menikmati hujan hanya berdua dengan Kageyama, dia berharap pada dewi mimpi untuk tidak membangunkannya sekarang.
Hanya ada hening diantara mereka selain ritme hujan yang berwarna. Angin dingin mencoba memeluk mereka, tapi tak sanggup. Terhalau oleh pagar bunga yang bermekaran di musim semi. Membiarkan dua merpati di sana menikmati panggung mereka.
Kageyama menyandarkan kepalanya di meja Hana. Dengan wajah menghadap ke jendela. “Usapkan… kepalaku.”
“H-huh?”
“Tanganmu lembut. Aku ingin tidur.”
Sejenak kemudian mata Kageyama terlelap bersamaan dengan tangan lembut Hana membelai surainya. Hujan adalah lagu pengantar tidurnya. Deru nafasnya hangat dan teratur.
Semakin lembut, semakin lembut Hana membelai rambut hitam Kageyama. “Kamu sudah tidur?” Kageyama tidak menjawab, membuat Hana mengulas senyum kecil. “Seperti kucing saja.”
Twinkle twinkle little star
How I wonder what you are
Up above the world so high
Like a diamond in the sky
Twinkle twinkle little star
How i wonder what you are
Hana bersenandung, menyanyikan lagu anak-anak itu dengan tenang. Kepalanya ikut menempel pada meja. Wajahnya menghadap kepala belakang Kageyama. Menatap surai hitamnya yang lembut dan beraroma segar. Seperti aroma apel dan kayu manis.
Hana menghirup dalam-dalam aroma surai Kageyama yang khas, dia begitu tenang. “Kamu benar-benar sudah tidur ya. Aku ingin bertanya…”
Rinai hujan menunggu pertanyaannya, “Kageyama, apa kamu sedang menyukai seseorang?”
Kageyama tidak menjawab, tentu saja.
“Mungkin Kiyoko-san atau Yachi-san." Hana menyebut nama dua orang manajer klub voli putra. “Kiyoko-san sangat cantik. Yachi-san juga imut sekali, kalian dekat kan?”
Hujan tak mampu menyembunyikan suara lirihnya. “Aku ingin dekat denganmu juga, Kageyama.”
“Aku ingin tahu kamu suka apalagi, selain voli dan susu.”
“Aku ingin tahu semua tentangmu.”
“Aku ingin menemanimu berlatih voli.”
“Ingin berlari pagi bersamamu.”
“Kamu terlihat sangat keren di lapangan. Benar-benar keren.”
“Kau tahu tidak, saat kamu berdiri di sana, seolah lampu hanya menyorotmu. Kamu tersenyum, rasanya semua letihku pergi.”
Seperti langit menumpahkan hujan, Hana sedikit demi sedikit meneteskan air mata. “Aku menyukaimu. Sangat menyukaimu.”
Suara Hana begitu pelan dan lirih. Tangannya yang berada di antara helaian rambut Kageyama ikut bergetar. Jantungnya berdebar cepat meski di sisi lain, dia menyadari kalau Kageyama tidak akan mendengarnya.
Iya, dia tidak mungkin mendengarnya.
“Semangat ya, Kageyama. Aku selalu mendukungmu.”
Hana ingin hujan turun lebih lama lagi. Lebih lama agar bisa berdekatan dengan Kageyama. “Kejuaraan nasional menunggumu. Dan aku akan ada di sini, menunggumu kembali.”
Ruang kelas yang sunyi dan hujan yang bernyanyi adalah saksinya. Saat Hana memejamkan mata dan berdoa untuk Kageyama. Tulus tanpa syarat.
Hujan makin melambat, sepertinya akan berakhir. Baru saja Hana hendak mengangkat kepalanya, dia dikejutkan oleh Kageyama yang tiba-tiba beralih padanya. Menatapnya dalam diantara sunyi tanpa kata. Bola mata yang sedalam lautan berhasil membawa Hana tenggelam di dalamnya. Jarak mereka yang tipis hingga dapat merasakan nafas hangat masing-masing.
“Ah, kamu sudah bangun? A-ayo, kita pulang. Hujan… sudah berhenti.”
Hana memutus kontak mata dan bergegas bangun, tetapi Kageyama menahan lengannya. Memaksa Hana membeku dan kembali tenggelam dalam tatapannya yang dalam dan memabukkan. Hangat menjalar di kulitnya, karena Kageyama begitu hangat.
“Dengar,” suara sang adam begitu dalam.
Hujan terakhir di musim gugur sudah berhenti.
“Aku juga menyukaimu.”
.
.
.
.
.
I wanna kiss you like raindrops kiss the earth
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
》· · ──────·本·──────· ·《
End
Aaaaaa oneshot Bang Kageyama lagiii /tebar bunga
Monmaap tapi aku lagi kangen banget sama kageyama, setter kesayanganku, husbu pertamaku, pokoknya kangeennnn banget
So, jikalau ada yg baca ini, boleh lah ya kritiknya soalnya aku ini ketik langsung publish hehehe
Sekiaann, terima cinta dan kasih sayang dari kageyama
8 Agustus 2020
Tobyosan a.ka Hana
🌸
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top