AMBIVERT ONE

Karalius Theo Youngstown, saat aku mendengar namanya langsung memekik kecil, "Buset, ini nama orang apa prasasti kuno!"

Panjang? Check.

Susah? Check.

Aneh? Check.

Ya-tidak ada bedanya dengan nama-nama benda kuno peninggalan penjajahan Belanda, susah hingga membuat lidah semua orang menderita. Diberkati-lah guru yang selalu mengabsen namanya.

Nara yang berada di sampingku reflek menyikut hingga tubuhku sedikit terhuyung, "Jangan keras-keras, mungkin saja orangnya ada di sekitar sini!" Bisiknya tajam.

Aku mengangkat bahu tidak peduli, Kara selalu mengganggu kesenangan hidupku, ia selalu mengatakan, "Jangan berbicara keras-keras.", "Jangan lakukan hal ceroboh!" dan banyak jangan-jangan yang lainnya hingga aku berfikir, jangan-jangan ia kesurupan!

Mana ada orang normal yang hobinya menasehati orang lain, bahkan saat orang yang dinasehatinya tidak peduli. Huh! Untung dia satu-satunya temanku.

Dan tidak jauh dari tempat kami berdiri, dia sedang memperhatikan dengan raut datar dan tangan yang selalu masuk ke dalam saku celana.

Aku tertawa hambar, potongan memori saat kami pertama kali bertemu kembali berkelebat di dalam pikiranku.

Lelaki jangkung dan kurus, meskipun begitu ia terlihat keren di mata semua orang. Orang-orang selalu menatapnya dengan, decak penuh kagum.

Theo.

Apa harus aku mengatakan-nya? Kalau kami adalah sepasang kekasih. Meskipun hanya aku yang mencintainya.

"Ibu kenal dengan seseorang yang baik, dan Ibu yakin dia akan menjagamu seperti menjaga keluarganya sendiri."

Ibu mengatakan itu dengan wajah berbinar, aku paham maksudnya-ia memintaku untuk bertunangan dengan seseorang yang ia maksud sebelum penyakit yang Ibu derita merenggut penuh kesadaran-nya.

Aku percaya, pilihan seorang Ibu adalah pilihan yang terbaik.

"Lisa? Kau mau-kan? Tolong lakukan untuk Ibu."

Itu adalah permintaan terakhir ibu sebelum ia benar-benar pergi, dan aku mengiyakannya sebelum terlambat. Sekali lagi, setelah sekian tahun, Ibu tersenyum.

Meskipun aku tahu, orang yang Ibu maksud-tidak pernah menganggapku ada di sekitarnya.

Dia membunuhku, dan hal itu jauh dari doa yang selalu ibu panjatkan saat jarum infus tidak dapat dilepaskan.

Aku tetap tersenyum, untuk Ibu. Apa salahnya? Kata orang cinta akan tumbuh seiring berjalan-nya waktu, bukan?

Tapi, semua itu palsu.

Cinta tidak kunjung datang, hanya rasa sakit yang terus menghujam.

Aku ingin menyerah.

Lelah untuk terus berjuang, aku ingin merasakan bagaimana rasanya diperjuangkan, menanti hasil yang bisa ku tentukan.

Karalius Theo.

Sesuai dengan arti namanya, ia adalah seorang Raja. Penguasa dan penakluk.

Ia menaklukan wanita dengan wajah tampan-nya, wajah yang jarang memperlihatkan senyum. Tapi ia selalu tersenyum kala candra menyinari malam.

Berbicara dengan bintang, seolah mereka benar-benar mendengarkan. Dia selalu berdiam sendirian, meski aku tahu ia tak pernah benar-benar sendiri. Aku di sampingnya, tapi ia tak pernah menganggap ada.

Aku hanya bisa melihatnya dari jauh, menjadi seseorang yang menganggumi dalam diam. Sebenarnya, aku bisa meminta waktunya untuk memperhatikanku tapi-itu akan sia-sia. Ia pasti akan menolaknya.

Ibu memanggilnya Kalius, semua anggota keluarga juga melakukan hal yang sama. Dengan satu alasan sederhana, dulu ia tidak bisa menyebutkan huruf R.

"Theo?"

Aku buru-buru menutup buku tulisku, tersenyum pada Nara yang kini memandangku sendu. Ia telah mengetahui kepingan rahasiaku.

Ambivert
Maret, 9 2019
17:41

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top