40. Ambis yang Pantang Habis?
Pernahkah kamu meniti arah juga langkah, tetapi tak lagi mengkhawatirkan pasal jarak maupun rentang jalan yang masih jauh dari jangkauan? Kamu tahu adanya satuan jarak yang membentang dari tujuan, kamu juga tahu bahwa langkah kakimu cukup lelah dan tak kunjung menemukan peristirahatan, tetapi kamu tak pernah berpikir untuk berhenti berjalan?
Itulah hal yang sedang Asa rasakan saat ini. Setiap penjuru hatinya tak dapat menampik kenyataan bahwa dirinya mengharapkan sebuah checkpoint untuk menandai langkah sekaligus mempersiapkan bekal untuk perjalanan selanjutnya menuju puncak. Dan checkpoint itu adalah lolosnya Asa ke OSN Astronomi tingkat provinsi.
Akan tetapi, perjalanan angan selama beberapa satuan waktu ini sukses mengubah pemikirannya. Tujuan itu masih terpancang di depan sana. Hanya saja, Asa tak lagi mengkhawatirkan jarak juga kecepatan langkahnya. Asa tak lagi memusingkan kompetisi untuk sampai lebih dulu ke puncak sana. Kini, Asa tahu ada yang jauh lebih krusial dari semua itu; pijakan kokoh dan langkah yang tak goyah untuk menelusuri kisah-kisah kehidupan tanpa kesudahan.
Besok pengumuman yang lolos ke tingkat provinsi, ya .....
Di atas kasur lantainya, Asa berbaring sembari lekat mengamati langit-langit kamarnya yang kusam. Lampu kuning yang tergantung menyoroti sekitar dengan redup. Dan lagi, Asa malah tenggelam dalam pendarnya.
Hari telah memejam, menyajikan malam-malam panjang, mengistirahatkan anak-anak manusia yang teramat letih mengguratkan kisah. Kanvas gelap semesta sudah menelan bumi bulat-bulat. Kerlip itu hanya bersumber dari deret gemintang yang mengintip dari celah-celah awan kelam. Kehidupan seolah dilahap senyap. Akan tetapi, nyala jiwa itu masih begitu membara, mengguratkan aksara di antara lengang bumantara.
Asa tahu, perjalanan ini tak hanya untuk hasil olimpiade semata. Dunia Asa tak lagi sama. Jalur kehidupannya kini tak hanya bermuara sebagai kemenangan atau kekalahan, melainkan menyediakan berjuta warna lainnya. Iya. Terlepas dari lolos tidaknya ia ke provinsi, setidaknya Asa belajar beberapa hal dari OSN ini. Asa tahu ada proses dan pengalaman yang tak singkat, hal krusial yang membedakan Asa sekarang dengan Asa tahun lalu.
Hei, bukankah perbedaan itulah yang mengukur sejauh apa kita berkembang? Untuk memastikan ... sudahkah kita beranjak dari titik-titik lampau, mencoba hal baru, mengalahkan ketakutan dahulu, atau malah diam di tempat saja sedari dulu?
Asa membalikkan badannya untuk menghadap ke samping kiri, tempat begitu banyak tumpukan buku yang ia pelajari selama ini. Setahun yang lalu, Asa menunggu pengumuman OSN dengan gelisah. Resah. Bagai nakhoda kehilangan arah. Begitu tahu hasilnya, Asa menolak pasrah, seolah kekalahan tidak ada dalam kamus kehidupannya. Dan Asa berniat membalas dendam itu di tahun ini. Akan tetapi, selama proses perjalanan yang tak singkat ini ... rasanya Asa menemukan hal yang jauh lebih penting dibandingkan hasil dan pembalasan dendam.
Langkah yang mengiringi perjalanan ... Asa meraih boneka bebek dengan baju pink yang dibubuhi goresan spidol hitam bertuliskan BEBEK JELEK!, lantas merengkuhnya dalam dekapan. Menyebalkan dan tidak berperasaan, tetapi siapa sangka anak laki-laki itu cukup punya hati untuk menghadiahkan boneka pada kakak perempuannya? Bahkan memberikan bonusnya pada Asa secara percuma!
Kedua manik cokelat terang itu memejam erat. Yah ... apa boleh buat? Setiap orang yang berjasa harus kita apresiasi, bukan? Ya sudah. Dengan kedua sudut bibir terkembang, Asa membahasakan senyap untuk disampaikan lewat bisikan angin malam. Terima kasih, Badak Galak.
[ π β ¢ ]
Hari Senin telah tiba! Inilah pekan terakhir anak-anak Persatas sebelum menyapa liburan tahun ajaran baru. Kegiatan belajar mengajar jelas saja tidak efektif. Meski begitu, apel pagi tetap dilaksanakan. Pasalnya, Senin ini akan ada pengumuman delegasi Persatas yang lolos OSN, juga pengumuman peraih peringkat tiga besar paralel di semester dua ini.
Siswa sudah berbaris rapi sesuai dengan kelas masing-masing. Akan tetapi, pasukan belum disiapkan. Sebagian besar anak masih asyik berbincang ria, mendiskusikan tempat apa saja yang hendak mereka kunjungi di liburan kali ini. Satu-dua malah merencanakan camping dan bersenang-senang dengan sahabat baiknya.
Di belakang Asa, Prima mengajaknya bicara. "Liburan ini mau ngapain aja, Sa? Liburan ke mana?"
Asa mengangkat bahu tanpa merasa perlu untuk menghadap lawan bicaranya sama sekali. "Ke perpustakaan kota, numpang Wi-Fi Pak Haji Amir buat searching pembahasan latihan soal astronomi ... oh, aku belakangan tertarik ke biologi, sih. Banting setir. Nyari yang baru."
"Si paling ambis emang, ya. Oh!" Prima mengangkat jari telunjuknya, baru teringat sesuatu. "Kalau dulu, pas aku suka gibahin kamu bareng anak lain, kita manggil kamu anak yang terdiagnosis ambis kronis. Bagus, enggak?"
Gelak Asa meledak. Julukan macam apa itu? Ambis kronis? "Manis kronis kali, ah."
"Idih, narsis kronis!"
Percakapan keduanya terpaksa berhenti ketika Pak Deni mulai mengamankan barisan. Upacara akan segera dimulai.
Setelah melalui serangkaian protokol upacara, anak-anak mulai kehilangan pancang di kakinya. Sebagian besar mulai oleng, tengok sana-sini, berusaha mengusir pegal karena berdiri terlalu lama. Setelah upacara berakhir, Miss Syarah langsung mengambil alih mikrofon selaku Koordinator Bina Prestasi, termasuk olimpiade sains nasional di Persatas tahun ini.
Siswa diperbolehkan duduk karena akan ada pengumuman. Keluhan terdengar di sana-sini, mengingat bola gas mentari mulai meninggi di ufuk timur, memanggang mereka tanpa belas kasihan.
"Berikut adalah nama teman-teman kita yang membawa nama sekolah untuk menorehkan prestasi dalam kejuaraan olahraga dan Kompetisi Sains Nasional tingkat kota." Miss Syarah menjeda kalimatnya. "Selamat kepada Alfa XI MIPA-4 dan kawan-kawan dari tim futsal Persatas, yang telah melaju sampai ke babak final."
Suara tepukan tangan membahana, memenuhi setiap penjuru Persatas. Anak futsal pun berbondong-bondong maju ke depan, termasuk Alfa, kawan baik Juno.
"Untuk KSN, selamat pada Kiano Aldebaran XI MIPA-1 dan Juno Kenandra XI MIPA-4 sebagai delegasi sekolah di bidang kimia, Dematra Maherendra XI MIPA-1 di bidang matematika, Bintang Rasi XI MIPA-1 bidang biologi, Alfis Gamyaga XI MIPA-1, Iris Larasati XI MIPA-1, juga Asa Nabastala dari XI MIPA-1, sebagai perwakilan di bidang astronomi, yang melaju sampai ke tingkat provinsi!"
Ah ... barusan itu nama Asa benar-benar disebutkan Miss Syarah? Bukan Asa yang salah dengar?
"Ya ampun, Asa! Gila! Woo!" Sorakan demi sorakan terdengar memenuhi barisan kelas Asa. Sementara sebagian anak kelas lain sibuk memperbincangkan anak olimpiade yang dikuasai sepenuhnya oleh anak XI MIPA-1. Oh, terkecuali Juno, sih.
Sesi dokumentasi berlangsung cepat. Bu Luthfia berkali-kali memeluk Asa dan Iris, tak henti mengucapkan betapa bangganya beliau mendapati tiga dari lima delegasi Persatas di bidang astronomi bisa lolos sampai provinsi. Setelah Asa dan delegasi lainnya kembali ke barisan, kini diumumkan peraihan tiga besar paralel dari tingkat kelas sepuluh dan sebelas. Di kelas sebelas, juaranya masih saja Mat-Alfis-Bintang-Kiano, hanya urutannya yang sering kali berotasi di setiap semester.
Ternyata benar saja yang dikatakan Pak Prana. Kelas XI MIPA-1 mendominasi sepuluh besar paralel. Asa juga mendapati dirinya menempati ranking enam, sehabis Iris. Asa mengangkat bahu. Ia tak lagi mempersoalkan mengenai itu. Bisa tembus lima besar adalah keajaiban. Dan keajaiban terbesar di hidup Asa sudah telanjur terpakai untuk tiket lolos olimpiade ke provinsi, 'kan? Mau bagaimana lagi? Itu sudah sangat luar biasa baginya.
Waktu berlalu tanpa bisa disuruh menunggu. Tahun ajaran baru sudah tiba. Kini, setiap siswa kelas XI MIPA-1 menginjakkan kakinya di Persatas dengan semangat baru. Tujuan di hadapan mereka terpampang lebih jelas kali ini. Tak ada lagi waktu untuk bersantai.
"Selamat pagi, anak-anak semua. Bagaimana kabarnya setelah liburan panjang ini? Mantap, dong, ya?" Di depan kelas, Bu Yanti mengawali pembelajaran. "Berhubung ini hari pertama kalian sebagai anak kelas dua belas, kita review materi di semester sebelumnya, oke?"
Oh, ini prolog yang sudah sangat familiar di telinga anak Persatas. Ritual PELAKOR, Pecahkan Latihan Soal dan Raih Skor, metode kebanggaan Bu Yanti yang begitu legendaris. Wanita di penghujung usia tiga puluh tahunnya itu mengetuk-ngetukkn spidol ke papan tulis. "Materi alat optik, deh ... sebuah objek diletakkan 0,6 cm dari lensa objektif sebuah mikroskop. Jika jarak titik fokus lensa objektif 0,4 cm, jarak titik fokus lensa okuler 2 cm, dan pengamatan dilakukan oleh siswa dengan titik dekat mata 20 cm tanpa berakomodasi, berapa perbesaran total bayangan?"
Bu Yanti seketika berdecak kagum. Bukan, bukan karena Asa dan anak MaFiKiBi lainnya berebutan menjawab seperti biasa, melainkan karena seluruh siswa di kelas XI MIPA-1 mengacungkan tangannya tinggi-tinggi.
"Wow ... rekor baru!" Bu Yanti mengangguk-angguk dengan riang.
Ya. Tangan-tangan teracung, siap untuk melangit dan menjemput mimpi-mimpi yang tergantung. Asa memandangi teman sekelasnya dengan perasaan bangga. Dirinya yang dulu mungkin akan menganggap semua ini sebagai ancaman terhadap statusnya sebagai anak yang terdiagnosis ambis kronis.
Namun, kini, Asa menyadari dengan pasti. Dunia ini bukan ajang mengalahkan orang lain untuk jadi yang terbaik, melainkan tentang berkompetisi dengan diri sendiri, untuk jadi versi terbaik dari kita. Karena pada hakikatnya, musuh terbesar umat manusia adalah dirinya sendiri, bukan?
Jadi, setelah segala yang terjadi, apa yang kamu pikirkan tentang ambis kronis? Apakah status itu masih terdengar keren abis?
Beri tahu Asa jawabannya! Akan tetapi, seperti apa pun jawabanmu, Asa tidak akan pernah mengubah jalan hidupnya, karena Asa ketahui dengan pasti, kendali itu memang ada dalam genggamannya sendiri.
[ π β ¢ ]
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top