38. Kata Semesta Kita
Benar saja apa yang dikatakan Alfis. Untuk memperbaiki hubungan, Asa tidak boleh menunda-nunda dan membiarkan masalahnya jadi bertambah besar lebih dulu. Kalau memang ingin memperbaiki segalanya, maka mulai dari saat itu juga. Cukup berat bagi seorang Asa yang memiliki gengsi dan harga diri tinggi untuk mengakui kesalahannya. Akan tetapi, Asa menyadari bahwa ia tak ingin guratan kisah hidupnya malah berlanggaran dengan garis edar kehidupan orang lain.
Asa berhasil mengalahkan egonya untuk meminta maaf terlebih dahulu pada teman sekelasnya, di hari terakhir Persatas Day. Kala itu, Asa belum bisa tenang. Resah-resahnya masih asyik berkuasa. Akankah jalan yang ia ambil ini bisa menjanjinkan kehidupan yang lebih baik lagi? Iya. Asa sering kali termenung di persimpangan, memikirkan akan seperti apa jadinya jika ia mengambil jalan yang satunya.
Meski begitu, Asa tak pernah menyesal telah memilih untuk mengalahkan gengsi dan memutuskan untuk meminta maaf. Semalam, ketika Asa memimpin jalannya belajar bersama via Zoom, Asa dapat melihat dunia teman sekelasnya yang kini terbuka lebar bagi Asa. Asa tak lagi berperan sebagai patogen asing yang eksistensinya tidak diinginkan kehidupan. Kini, Asa bisa menembus membran semesta teman lainnya.
Dua hari berlalu lagi dengan Asa yang tambah dekat dengan teman sekelasnya. Setiap kali ada jam kosong ataupun istirahat, Asa bersama Iris dan anak MaFiKiBi bergantian memimpin proses belajar bersama di dalam kelas. Mereka sepakat untuk membekal nasi dari rumah agar tidak perlu jajan ke Kantin Mang Dod atau Bi Ita di waktu istirahat. Dengan begitu, mereka bisa menikmati makan siang sembari memperdalam materi bersama-sama.
Selepas permohonan maaf Asa, kelas XI MIPA-1 berkembang jadi lebih aktif dari sebelumnya. Efek ini sangat terasa setelah diberlakukannya kontrak yang Asa rencanakan sejak berakhirnya Persatas Day. Tak heran, tenaga pendidik yang hendak mengajar di kelas pun jadi semangat karena kesenjangan antara golongan yang aktif dan tidak aktif itu tiba-tiba saja menjadi baur, tak lagi ada sekat antara si ambis dan si santai. Semuanya serempak mengikuti pembelajaran dengan aktif, walau satu-dua masih ngang-ngong-ngang-ngong ketika ditunjuk.
Sejak hubungan Asa dengan teman sekelasnya yang membaik pada hari Senin, waktu jadi berlalu lebih cepat lagi bagi Asa. Setiap kali selesai membahas suatu materi di Zoom meeting, tiba-tiba saja Asa merasa tak sabar untuk lekas-lekas dijemput pagi dan bisa bertemu lagi dengan kawan-kawan di ruang kelas.
Hari Kamis, Asa berangkat pagi-pagi sekali. Keadaan jalanan masih cukup sepi, dan angkotnya pun tidak mengetem terlalu lama. Asa tiba di sekolah sebelum pukul tujuh kurang seperempat. Hari ini memang jadwalnya untuk piket jaga gerbang. "Pagi. Pagi. Pagi ...." Asa terus menyapa setiap siswa yang memasuki gerbang dengan senyuman terkembang. Ini memang sudah menjadi standard operating procedure yang berlaku di kalangan anak OSIS.
Akan tetapi, kali ini, Asa lebih senang melakukannya karena setiap kali teman sekelas Asa lewat, mereka akan melambaikan tangan dengan heboh dari kejauhan. "Pagi, Asa!" Begitulah sapaan balik temannya yang tampak sangat hangat dan semangat. Demi mendengarnya, mood asa jadi tambah membaik saja.
Waktu telah menunjukkan pukul setengah delapan. Gerbang pun ditutup. Anak OSIS yang berjaga di dekat pos langsung kembali ke kelasnya masing-masing, karena saat ini sudah memasuki jam kegiatan belajar mengajar, dan tugas pemantauan anak yang terlambat diserahkan sepenuhnya pada Pak Satpam beserta guru piket.
Asa menggendong ranselnya di pundak. Ketika hendak menaiki anak tangga menuju lantai dua, atensi Asa sepenuhnya teralihkan oleh sosok berbadan tinggi yang tampak berniat ke kelas setelah membeli kebab mini di Kantin Bi Ita. Seketika, Asa terdistraksi. Ada satu hal lagi yang belum juga ia selesaikan hingga detik ini. Dan Asa berniat mengakhirinya sekarang juga.
"Nabil!"
Anak laki-laki itu menoleh, lantas berbalik badan begitu mendapati Asa yang memanggilnya. Nabil menjilat bibir bawahnya, tampak tak kalah gugup seperti Asa. Rasa bersalah itu menggantung bagai kabut di matanya. "Uhm ... hai, Sa."
"Anu, aku ...." Asa berdeham singkat. Aduh! Kenapa ia tambah grogi begini? Asa menggeleng kuat. Bersikaplah seperti biasa! Jangan terlalu dipikirkan soal penolakannya, juga aksi Nabil yang melemparkan bola basket ke arahnya, pekan lalu. Asa menghela napas panjang, lantas menatap Nabil tanpa keraguan. "Maaf buat segalanya, ya. Aku yang menolak kamu, menyia-nyiakan kamu, tidak menghargai kamu, mempermalukan kamu, dan tes dadakan waktu kamu nembak itu ... sebenarnya itu cuma caraku biar cowok-cowok langsung mundur. Tapi kamu keras kepala banget, ya ...."
Ah ... kisah dari masa lampau itu. Nabil menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Kepalanya menunduk makin dalam karena tak mau beradu tatap dengan Asa yang memang pendek sekali dibandingkan dengan tubuhnya. "Hm, iya. Aku terlalu berambisi dapatin kamu, sebelumnya. Sekarang pun aku belum bisa memastikan kondisi rasa-rasa itu ... tapi siapa peduli? Maaf juga buat bola basket itu, ya. Aku ... menyesal. Aku merasa kayak anak kecil yang enggak bisa menyelesaikan masalah dengan baik."
Kedua sudut bibir Asa terkembang lebar, dan kurva itu pulalah yang membuat Nabil akhirnya berani memandangi Asa lekat-lekat. Asa menggeleng pelan. "Enggak apa-apa. Kita sama-sama punya salah, kok. Dan ... bukannya emang gitu, ya, siklus kehidupan manusia? Berbuat salah, sadar, lalu menyesal. Itu bukan suatu hal yang memalukan, kok. Yang penting jangan mengulangi kesalahan yang sama." Asa mengangkat alis. "Oh, ya. Soal rasa ... aku enggak tahu gimana pandangan kamu ke aku yang sekarang. Tapi aku harap, kita bisa terus berteman, ya. Berproses bareng-bareng."
Nabil balas tersenyum. Tak ada kesedihan yang tersisa karena hubungannya dengan Asa tak lebih dari sebatas teman. Lagi pula, Nabil mulai menyadari beberapa hal. Tentang semesta yang tak selalu bercerita tentang pacar, juga kenyataan bahwa rasa suka itu tak selamanya berakhir memiliki. Nabil mengangguk mantap. Status teman itu memanglah pilihan terbaik. "Iya. Jadi kita ... mulai dari awal aja, ya?"
Asa nyengir lebar hingga deretan gigi rapinya terpampang jelas. "Ayo!" Beriringan, kedua anak manusia itu menaiki anak tangga dengan semangat. Demi menyongsong masa depan yang tak akan mengalah pada kehidupan.
Sesampainya di kelas, seluruh warga XI MIPA-1 sedang asyik mengerjakan latihan soal fisika walau bukan sekarang jadwal pelajarannya. Katanya, Pak Nizar tidak bisa masuk di jam Bahasa Indonesia kali ini. Makanya mereka berinisiatif mengisi jam kosong dengan mempelajari hal baru dan mendalami materi yang telah dipelajari.
Setelah menyelesaikan tugas fisika sebagai kisi-kisi untuk ujian nanti, mereka merumuskan misi UAS juga tujuan bersama untuk masuk ke PTN yang diinginkan pada kelas dua belas nanti. Mereka memutuskan untuk menyiapkan segalanya dari sekarang.
"Buat rangkuman biologi ada di aku, aman!" Bintang mengangkat buku catatannya yang berisi materi biologi sejak semester satu. Oh, koleksi biologi Bintang lengkap, kok. Jangan lupakan puluhan buku catatannya yang merupakan hasil Bintang selama merangkum materi di buku paket biologi dari SD sampai SMA. "Siapa aja yang mau? Tinggal fotokopi aja, nih!"
Asa turut menimpali, "Aku ada rangkuman fisika! Barangkali ada yang mau juga."
Golongan ambis di kelas itu menyumbangkan buku rangkuman mereka untuk difotokopi, dipelajari, dan saling melengkapi catatan. Dengan begini, mereka harap tidak akan ada anak yang merasa tertinggal jauh. Ya ampun ... kelas yang ambis? Ini hal menyenangkan yang tak pernah Asa bayangkan, sebelumnya!
Bintang dan Prima tiba-tiba datang memeluk Asa dengan erat. "Asyik! Kalau begini terus, kita punya kesempatan buat saling bergenggaman tangan di perjalanan ini!" Bintang menepuk pundak Prima. "Dengan kegiatan belajar yang asyik ini ... kita enggak akan nyontek lagi, ya, kan, Prim?"
Disindir halus begitu membuat Prima mengangguk dengan ringisan yang merasa bersalah. "Ah, iya ... yang waktu itu, maaf, ya, Sa. Aku ngerasa tertekan sama tuntutan papaku buat dapat nilai sempurna, akhirnya menghalalkan berbagai cara. Ternyata, Papa lebih marah lagi pas tahu aku nyontek. Jadi habis ini, aku enggak akan mengulanginya. Lagian, kita udah berproses bareng-bareng, kan ... pasti ada perkembangan, dong, masa masih nyontek?"
Kedua sudut bibir Asa tak mampu menahan diri untuk terkembang lebar. Segala kejadian yang beruntun sejak permohonan maafnya itu terasa menyenangkan sekali. Kalau tahu akan berakhir damai begini, seharusnya Asa meminta maaf lebih awal saja, ya?
"Guys! UAS tinggal tiga hari lagi, ya. Besok hari terakhir kita belajar bareng. Sabtu-Minggu itu kita liburkan diri dari berbagai kegiatan Zoom bareng kelas, oke? Kita kompak serius."
Asa mengangguk mantap. Iya. Masih ada tahapan yang harus Asa selesaikan di depan sana; ujian akhir semester dua.
[ π β ¢ ]
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top