37. Juang Tak Lagi Lengang
Tidak akan ada masalah, yang penting Asa harus mulai memikirkan sudut pandang orang lain, menghargai sesama, dan mengendalikan ambisinya agar tidak menjadi pusat orientasi di hidupnya. Asa menghela napas panjang. Jadilah Asa yang biasa, dengan versi lebih peduli pada teman sekelasnya yang lain. Asa mengedarkan pandangan ke sekeliling, lantas dunianya jadi terasa jauh lebih berbeda.
Indra pendengaran Asa mulai menangkap derap langkah kaki orang lain, tidak hanya fokus pada jalannya seorang diri. Asa kini merasakan bahwa kehidupannya jadi ramai, berdampingan dengan banyak persimpangan, orang-orang berseliweran, juga rambu-rambu lalu lintas agar langkahnya tak menabrak pengguna jalan lainnya. Ini semua hal baru bagi Asa, tetapi juga membuat perjalanannya jadi tambah mendebarkan.
"H-halo! Selamat pagi." Tak seperti suara menggelegarnya ketika menjawab pertanyaan guru, Asa bermaksud menyapa teman sekelasnya. Akan tetapi, suara tercekatnya sendiri membuat Asa ragu ada yang mendengar sapaannya di tengah keramaian kelas. Ya sudahlah. Mari pura-pura tak tahu saja.
Namun, sahutan Bintang yang memang duduk persis di hadapan posisi Asa saat ini membuat anak perempuan itu sedikit tersentak kaget. "Hai, Asa!"
Asa melebarkan senyuman setulus mungkin. Ya ampun, Asa ... bertingkahlah sebagaimana biasa! Tak lama setelah Asa mendaratkan badan di atas kursinya, suara ketukan sepatu konstan mengiringi langkah Pak Prana yang memasuki ruang kelas XI MIPA-1. "Wah ... yang OSN sudah ke kelas lagi, ya? Gimana, nih? Gampang?"
Lekas saja Bintang menimpali, "Mantaplah, Pak! Apalagi ada snack-nya. Dari tahun lalu, enggak pernah enggak enak."
Demi mendapati kenyataan bahwa Bintang hanya memikirkan amunisi perutnya sendiri, Pak Prana terkekeh geli, tak aneh lagi. "Baik. Mengingat ujian akhir semester dua tinggal seminggu lagi, Bapak akan mengisi pembelajaran matematika peminatan ini dengan mengulas kembali materi polinomial. Untuk kisi-kisinya, Bapak tugaskan uji kompetensi empat dan lima saja, ya. Soalnya tidak akan jauh dari sana, kok."
Keluhan protes mengudara di sana-sini. Yah ... menjelang kenaikan kelas memang pestanya tugas-tugas! Baru dua jam pelajaran lalu, Fisika juga menugaskan mereka latihan soal. Oh, jangan lupakan tugas ulasan Bahasa Indonesia, juga LKPD Biologi dari materi sistem koordinasi sampai sistem reproduksi manusia yang tidak cukup menghabiskan tujuh halaman buku catatan. Sudahlah. Definisi kehancuran bagi rakyat yang senang menunda-nunda.
"Bapak tanya, deh, ya ... uhm ... Prima!"
Ditunjuk tanpa aba-aba oleh Pak Prana yang bahkan belum sampai tiga menit sejak menginjakkan kaki di kelas ini, Prima pun gelagapan mengakhiri kegiatan scrolling Instagram-nya, lantas memandangi Pak Prana dengan perhatian penuh. "Iya, Pak?"
"Prima, coba jawab pertanyaan Bapak ...." Sesaat, Prana terdiam untuk berpikir seraya mengetuk-ngetukkan spidol ke punggung tangannya sendiri. "Kalau ada polinomial f(x) yang derajatnya 3, terus dikali dengan g(x) yang derajatnya 5, maka derajat dari hasil operasi perkalian itu berapa?"
Di bangkunya sendiri, Prima sudah sibuk membolak-balik halaman buku paket, berharap ada petunjuk tak terduga yang bisa menyelamatkannya dari situasi ini. Di tengah kepanikannya sendiri yang tak kunjung menemukan jawaban, sudut mata Prima menangkap notifikasi baru yang menghiasi layar ponsel. Tanpa perlu membuka chat room, Prima sempat membaca pesan WhatsApp yang dikirimkan seseorang.
Asa
3 + 5 = ?
Prima mengerjap cepat-cepat. Lho ... itu jawabannyakah? Merasa terdesak dan tidak punya pilihan lain, Prima pun menjawab ragu-ragu, "Tiga tambah lima ... delapan?"
"Benar sekali! Untuk mengetahui derajat hasilnya, tinggal menjumlahkan derajat dari kedua polinomial yang dikalikan. Bagus, Prima. Tingkatkan lagi, ya."
Sejenak, Prima bergeming di posisinya, mendadak tak tahu cara untuk bergerak. Anak perempuan itu menelan ludah dengan susah payah. Barusan itu ... barusan itu Pak Prana memuji jawabannya? Prima memejamkan mata erat-erat, menahan rasa senang. Ini pertama kali dalam sejarah hidupnya! Iya. Sebagai anak yang nilai matematika-nya memang tergolong di bawah rata-rata, Prima jadi sering ditunjuk Pak Prana agar bisa terpantau perkembangannya.
Dipuji Pak Prana karena berhasil menjawab dengan tepat? Prima menjerit kesenangan dalam hati, meskipun jawaban itu memang tidak murni dari otaknya. Oh, iya. Diam-diam, Prima melirik Asa di sebelah kanannya yang hanya terpisahkan oleh bangku Iris. Tak sengaja, manik cokelat terang Asa malah menabrak tatapan Prima. Di saat Prima hendak memalingkan muka, Asa lebih dulu merekahkan senyuman manis, lantas mengacungkan ibu jari ke arah Prima.
Ya ampun ... sepertinya Asa benar-benar mau berubah. Mendapati Asa yang tenang ketika guru mengajukan pertanyaan, juga tindakannya yang membantu kawan begini ... rasanya seperti mendapati ulangan Prima yang dibubuhkan nilai sempurna tanpa menyontek. Langka nan ajaib!
Prima belum mengerti sepenuhnya materi yang dibawakan Pak Prana. Akan tetapi, mood-nya bertambah baik dengan cepat. Kehangatan menjalari setiap penjuru hati Prima. Hei, sensasi macam apa ini? Nyaman sekali.
Kala itu, Prima tak menyadari bahwa yang baru saja dirasakannya adalah sebuah penerimaan. Suatu obat penyembuh ampuh yang tak pernah terdaftar di apotik.
"Selanjutnya ... Viola!" Pak Prana beralih ke barisan sebelah kanan. "Kalau kedua polinomial itu dibagi bukan dikali, berapa derajat hasil pembagiannya?"
Ola mempekerjakan otaknya dengan keras. Ini materi paling awal di bab polinomial, tetapi memori Ola seolah menampiknya sejak dulu. Tidak ada kepingan yang mampu ia ingat. Meski begitu, Ola tak menyerah. Kalau operasi perkalian bikin derajatnya dijumlahkan, berarti operasi pembagian ....
Di bangku sebelah kirinya, Asa mengernyitkan kening, panik karena ponsel Ola tidak dinyalakan. WhatsApp anak perempuan itu ceklis satu terus sedari tadi. Tak ada pilihan lain, Asa pun berusaha memberitahu Ola secara sembunyi-sembunyi, dengan tangan kiri yang berlagak menopang dagu, padahal hanya untuk menutupi gerakan bibirnya dari jarak pandangan Pak Prana. Asa berbisik pelan, "Lima kurangi tiga."
"D-dua."
"Betul!"
Jam pelajaran matematika peminatan berlalu dengan pengecekan anak kelas XI MIPA-1 mengenai pemahaman materi. Asa tidak kelihatan mengalahkan ambisinya, tetapi yang pasti, Asa tak lagi egois dengan materi polinomial yang ia kuasai seorang diri. Asa tak pernah memutuskan untuk berhenti melangkah maju, tetapi kini, ia lebih menghargai dan mau mendukung temannya untuk terus membuat pergerakan.
Setelah jam pelajaran Pak Prana habis dan pria menjelang usia kepala empat itu keluar kelas, Asa langsung mengajari Prima dan Ola mengenai asal-muasal angka yang mereka jawab, tadi. Sabar, perlahan, dan tanpa penghakiman. Asa berusaha mengajari teman sekelasnya tanpa terburu-buru meski batinnya sudah gemas setengah mati karena mereka taku kunjung memahami.
"Nanti malam kita belajar bareng buat menuntaskan uji kompetensi empat sama lima, deh. Mau, enggak?"
Tawaran Asa di tengah kelas yang senyap itu membuat anak lain saling berpandangan, bertukar pikiran dalam keheningan. Akan tetapi, Prima angkat suara lebih dulu. "Aku enggak bisa ke mana-mana, habis pulang sekolah. Lewat Zoom aja, gimana?"
Asa sampai lupa caranya menarik napas untuk sejenak. Zoom, ya? Bolehkah Asa menyimpulkan tanggapan Prima sebagai suatu simbol bahwa temannya memang sudah menerima Asa seutuhnya?
Asa menarik kedua sudut bibirnya ke atas, lebar-lebar. "Oke!"
[ π β ¢ ]
"Pembagian menggunakan Skema Horner ini hanya disarankan untuk pembagi yang mudah difaktorkan. Buat melatih kemampuan kita dalam menentukan akar-akar penyelesaian, aku tanya, deh. Faktor 2x - 1 itu akarnya berapa?"
"Ah, aku, aku!" Dengan semangat menggebu dan kernyitan kening yang begitu dalam, Prima berusaha menjawab sebisanya. "Akarnya ... ½!"
Dengan ponsel yang tersambung kuat pada Wi-Fi Pak Haji Amir, tetangga Asa yang memiliki pohon rambutan dan pohon jambu besar di kampung, Asa meneruskan pembelajaran mereka via Zoom. Nyaris semua anak kelas XI MIPA-1 bergabung dalam pertemuan virtual itu.
Lebih dari satu setengah jam dilalui dengan mengerjakan tugas matematika peminatan dari Pak Prana, bersama-sama. Selain Asa yang menjelaskan metode untuk memecahkan setiap soalnya, Asa juga membiarkan kawan lainnya mencoba mengerjakan terlebih dahulu, memberitahu letak kesalahannya, lantas memberi mereka motivasi untuk terus berkembang dan memperbaiki cara pengerjaan soal polinomial.
Semuanya berlangsung dengan asyik sekali, walau sejujurnya, waktu yang digunakan memang jauh kurang efektif dari kegiatan belajar mandiri Asa selama ini. Mulai kebosanan karena porsi belajar teman sekelas Asa yang tidak pernah sebesar ini, mereka pun angkat suara untuk meminta istirahat walau sesaat. Asa hanya mengangguk memakluminya.
Di saat Asa mengerjakan latihan soal sendirian untuk memanfaatkan waktu istirahat, suara Prima yang mengudara sukses membuat Asa membeku di tempat. "Makasih banyak buat semua ini, Asa!"
Asa mengerjap. Detik berikutnya, ungkapan terima kasih itu susul-menyusul terdengar ricuh dari satu orang ke orang lainnya, persis seperti kartu domino yang baru dirubuhkan hingga menjatuhkan kartu lainnya. Ya ampun. Asa baru mencoba berbaik hati seharian ini saja sudah mendapat bombardir ungkapan terima kasih dari teman sekelasnya. Asa menggigit bibir, berusaha menahan haru atas suatu hal yang tak pernah terjadi dalam hidupnya. "Sampai jumpa di garis finis nanti, ya ...."
"Oi, perjalanan, kan, masih panjang!" Suara Kiano membuat peserta Zoom malam itu benar-benar ricuh membuka mikrofon untuk mengiakan dengan semangat.
Ketika kehebohan massa mulai mereda, giliran Kalea yang angkat suara. "Selamat buat Asa, Alfis, Iris, Mat, Bintang, sama Kiano, yang udah melewati olimpiade! Terlepas dari lolos enggaknya, kalian keren banget!"
Lagi, anak kelas XI MIPA-1 yang tergabung di Zoom itu menyalakan mikrofon dengan serentak. Kata-kata 'selamat' berhamburan di kehidupan Asa. Sayangnya, Asa tidak sanggup untuk sekadar menanggapi. Asa tak bisa menahan haru. Manik cokelat terangnya sudah diliputi cairan bening yang siap tumpah ketika Asa berkedip.
Selama bertahun-tahun berjuang, sepertinya baru kali ini perjuangan Asa terasa manis.
[ π β ¢ ]
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top