36. Transfigurasi Eksistensi
Pernahkah kamu merasa malam berjalan dengan lambat, hingga rasanya matamu seakan ikut tersumbat dan menolak untuk terlelap? Itu yang dirasakan Asa semalaman ini. Malam Senin. Bukan karena malam itu mengawali pekan yang sibuk dengan upacara dan kegiatan belajar mengajar yang menguras otak, melainkan karena inilah hari pelaksanaan olimpiade sains nasional tingkat kota.
Sejak dulu, olimpiade tidak pernah membiarkan antusias Asa terjeda walau sesaat. Padahal Asa sudah berniat tidur cepat, mengingat usahanya sudah cukup mati-matian sebelumnya. Akan tetapi, semangat dan rasa tak sabar itu malah menyalakan matahari tak kasat mata di malam yang terasa panjang ini. Asa tak bisa tidur! Di saat Asa memutuskan untuk tidak tidur sama sekali, matanya malah terpejam di pagi buta. Itulah yang membuat dirinya bersungut-sungut pukul setengah enam pagi ini. Pusing!
Meski begitu, Asa tak tergoda untuk tidur lagi. Pelaksanaan olimpiade hanya tinggal menunggu satuan jam, lho! Asa mengepalkan tangannya kuat-kuat. Inilah saatnya berjuang hingga titik penghabisan! Mari kita lihat bagaimana keadaannya ketika berhadapan dengan soal astronomi, nanti. Akankah ada perkembangan dari tahun sebelumnya? Kalau tidak ada, rasanya setahun ini bergelut dengan materi kompleks astronomi tak lebih dari omong kosong saja.
Pukul enam pagi, Asa sudah bersiap dengan seragam melekat juga nasi goreng yang Ibu masakkan spesial untuk hari ini. Oh, jangan lupa bahwa Ibu juga meliburkan tugas Asa untuk mampir ke warung-warung dan mendistribusikan jualan Ibu seperti biasanya, kali ini. Biar fokus sama olimpiade aja, begitulah katanya.
Baru saja Asa menelan suapan terakhir nasi goreng di atas permukaan piring yang kini bersih tak bersisa, terdengar suara deru sepeda motor yang berhenti di halaman rumah, lantas Ibu meneriakinya untuk lebih bergegas. Asa meneguk air putih di gelasnya, lantas menggendong ransel di pundaknya.
Begitu keluar rumah, sudut mata Asa langsung menangkap eksistensi seorang lelaki berkacamata tebal yang baru turun dari sepeda motornya. Asa hendak menyapa, tetapi atensi Alfis sudah lebih dulu terdistraksi oleh notifikasi yang bergetar panjang dari sakunya. Alfis menyalakan layar ponsel, lantas menggeser tombol hijau ketika mendapati siapa yang menelepon.
KiAlien is calling ....
"Oi, Fis! Di mana kamu? Berangkat belum?"
Sejenak, Alfis menjauhkan ponsel dari telinganya, demi keselamatan indra pendengarannya yang diserang suara cempreng Kiano berkekuatan tinggi. Heran, deh. Padahal Alfis tidak menyalakan mode loudspeaker-nya, tetapi suara anak itu masih saja kencang. "Baru mau. Kenapa?"
Sebelum menjawab, terdengar kekehan dari seberang sana. "Mau konvoi sama anak MaFiKiBi, enggak?"
"Kok enggak diagendakan dari sebelumnya? Kalian udah kumpul, tapi?"
"Belum, sih. Bintang susah dibangunin! Padahal udah aku sebut husbu-nya beberapa kali." Kiano berdecak singkat. "Eh, posisi kamu di mana, Fis?"
"Rumah Asa."
Sejenak, terdengar seruan heboh yang membuat Alfis kembali menjauhkan ponsel dari indra pendengaran. Kali ini, Alfis sampai mengusap telinganya sendiri yang terasa berdenging sakit. Tanpa merasa berdosa karena menyakiti telinga orang di pagi hari, Kiano kembali menyambar, "Ingat, lho! Pasal 07, Pedoman KERAMAS, Kehidupan dan Tata Negara MaFiKiBi Society, nomor 2, ayat 3(A)! Perlu aku bacakan?"
Alfis mendengkus singkat. Siapa yang tidak tahu pasal legendaris di sistem kehidupan agen MaFiKiBi Society, yang latar belakangnya disebabkan oleh Kiano sendiri, tahun lalu? Anak itu yang mencari perkara lebih dulu! Oh, meski begitu, hubungan Kiano dan Kalea sudah kembali membaik, tetap menjadi teman, dan mereka sepakat untuk tidak mengungkit permasalahan di tahun lalu itu. Benak Alfis langsung menggaungkan pasal yang dimaksud Kiano tanpa diminta.
Pasal 07, Pedoman KERAMAS Nomor 2 tentang Ekuilibrium Rakyat MaFiKiBi Society. Ayat 3(A): Segala bentuk tindakan romantisme semacam berhubungan spesial dengan manusia selain sahabat dan keluarga, yang malah mengacaukan skala prioritas hingga melupakan azas-azas kesepakatan MaFiKiBi, adalah mutlak pelanggaran. Setiap rakyat yang dengan tanpa ketidaktahuan melakukan pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam pasal 7 ayat (3) huruf a, untuk tindakan secara sadar atas dasar kesengajaan akan dilaksanakan persidangan dengan melibatkan SPBU (Surat Peringatan Berskala Uji coba), dan atau denda traktiran bahan pangan seluruh rakyat lainnya selama dua tahun, juga berkemungkinan tercatat dalam daftar hitam Republik MaFiKiBi Society.
Ya ampun! Hafal sekali Alfis dengan pasalnya. Anak laki-laki itu melirik Asa yang menungguinya dengan sabar di bingkai pintu. "Ini bukan romansa-romansa, tahu! Kita mau review singkat."
"Hilih ... awas aja, ya! Kalau diam-diam kamu sama Asa ternyata men ...."
Berisik. Tanpa basa-basi, Alfis memutuskan sambungan telepon, membuat kalimat Kiano tidak tersampaikan dengan tuntas. Sudahlah. Siapa peduli? Alfis menghampiri Asa. "Review materinya di sini aja? Di sekolah enggak akan fokus."
Anggukan Asa mengawali sesi review keduanya di pagi hari yang masih diselimuti embun ini. Asyik sekali. Asa dan Alfis bergantian menanyakan rumus untuk materi hitung-hitungan, lantas saling melengkapi dengan terus menimpali ketika membahas materi yang bersifat teori di astronomi. Setengah jam berlalu. Mereka masih punya setengah jam lagi sebelum pukul tujuh pagi, mengingat Miss Syarah sudah memperingatkan para delegasi untuk tiba di sekolah sebelum pukul tujuh lebih seperempat.
Materi yang mereka pelajari sudah habis dikupas tuntas. Ketika Alfis masih memelototi spektrum gelombang elektromagnetik beserta digit panjang gelombang dan frekuensinya, Asa malah memulai topik yang lain. "Aku ... kontrak yang aku bilang kemarin itu ... apa aku udah melakukan sesuatu yang benar, ya? Aku takut. Takut kalau teman-teman enggak akan nerima aku gitu aja."
Senyap sesaat. Yang terdengar hanyalah kesibukan pedesaan yang mulai menggeliat, anak kecil yang berlari-lari karena malas disuruh mandi oleh orang tuanya, juga langkah kaki para petani yang berangkat begitu pagi untuk memeriksa kondisi sawahnya. Alfis mengangguk satu kali. "Enggak apa-apa. Sebenarnya, semua ini bukan tentang sebesar apa masalah yang orang-orang hadapi, Asa."
"Eh? Masalah?"
"Iya. Besar-tidaknya masalah bukanlah variabel yang sangat berpengaruh dalam kehidupan kita." Alfis memperbaiki posisi duduk silanya, lantas menatap Asa lekat-lekat. "Kenapa temperatur efektif di planet Venus lebih tinggi dibandingkan Merkurius yang jaraknya lebih dekat dengan matahari?"
Diberikan kuis dadakan begitu membuat Asa gelagapan. Otaknya berpikir cepat, mencari jawaban di antara ceruk-ceruk memori. "Karena ... ada albedo, 'kan? Mekanisme penerimaan energi ...."
"Terus? Bedanya?" kejar Alfis, membuat kerutan di dahi Asa bertambah dalam.
"Karena mereka semacam punya filtrasi masing-masing. Enggak semua energi diabsorpsi mentah-mentah. Ada yang direfleksikan juga. Terus di Venus tuh lebih panas karena ada efek rumah kaca ...."
"Mekanisme ketahanan tubuh kita juga gitu, Asa. Temperatur di tata surya bukan soal sedekat apa jaraknya dengan matahari. Kita juga gitu. Bukan soal seberat apa masalahnya, tapi tentang sekuat apa atmosfer kita, untuk tidak menyerap energi negatif mentah-mentah. Iya, 'kan? Kendalinya tetap ada di kita." Alfis mengakhiri analoginya dengan puas. "Jadi kenapa kamu masih menakutkan sesuatu yang sebenarnya ... boleh jadi tidak seburuk bayanganmu?"
Tak kunjung mendapat sahutan, Alfis pun kembali fokus pada buku catatannya. Di sampingnya, kedua sudut bibir Asa merekah sempurna. Iya juga, ya. Ada benarnya yang Alfis bilang itu. Asa melirik waktu di layar ponselnya, lalu mengajak Alfis untuk berangkat sekarang saja.
Di saat Asa berpamitan pada Ibu, muncullah Saka dengan keresek kosong di salah satu setang sepedanya, baru pulang dari warung-warung tempat biasa mendistribusikan jualan Ibu. "Wah, ada Kakak temannya Kak Asa!"
"Kak Badak Galak," koreksi Asa.
Alfis menanggapinya dengan mata mendelik, berusaha menahan emosi agar mood dan materi astronominya tidak menguap dengan cepat dari ingatan. Tak perlu waktu lama, lelaki itu sudah menyalakan sepeda motor, menunggu Asa naik di belakang, lantas membelah jalanan yang masih cukup sepi, walau perlahan tambah padat seiring mendekatnya mereka ke daerah pusat kota.
Sesampainya di sekolah, Asa dan Alfis langsung menyimpan tas di kelas, kemudian berkumpul di laboratorium komputer bersama delegasi lainnya, bersiap log in di perangkat komputer untuk mengerjakan soal olimpiade. Asa mengembuskan napas kuat-kuat. Perjuangan mereka selama ini akan dibayarkan dalam satu jam pengerjaan OSN Astronomi.
Meski beberapa soal cukup membuat Asa mengernyit dalam, tetapi olimpiade itu berjalan dengan lancar. Keadaan Asa tak lagi seburuk tahun lalu ketika menghadapi soal-soal yang berefek samping menimbulkan sakit perut itu. Setelah men-submit jawaban, Asa pun mengepalkan tangan seraya memejam, lega luar-dalam. Ia berhasil melalui semua ini!
Salah satu hal yang Asa suka setelah mengikuti olimpiade adalah diberikannya sekotak snack dari pihak sekolah. Asyik! Asa jadi kenyang tanpa perlu mengeluarkan uang! Dengan semangat, Asa mendekap bagiannya, lantas bergabung dengan delegasi lain yang tengah mengistirahatkan otak di ruang perpustakaan. Miss Syarah memang memberi mereka waktu sebelum kembali ke kelas pada pukul setengah sepuluh.
Asa berseru senang mendapati makanan di hadapannya. Puding, roti, bolu kukus, risol, dan lemper. Nyaris makanan berat semua! Tanpa basa-basi, Asa langsung menandaskan snack-nya. Perut Asa memang sudah riuh berbunyi karena terkuras habis selama mengerjakan soal astronomi!
Asa bersendawa puas sembari membereskan sampah bekasnya untuk dibuang. Sudah pukul setengah sepuluh. Saatnya kembali ke kelas dan mengikuti kegiatan belajar mengajar sebagaimana biasanya. Kalau tidak salah, ini memasuki jam pelajaran matematika peminatan. Tahun ini, OSN tingkat kota memang tidak berbarengan dengan pelaksanaan ujian akhir semester dua, tidak seperti tahun lalu.
Mat, Alfis, Bintang, Iris, dan Kiano, yang mengikuti olimpiade dari kelas XI MIPA-1 sudah memasuki ruang kelas dengan riang, lantas menyapa teman-teman lainnya yang baru menghabiskan jajanan. Mereka bersorak sebal karena mengira yang membuka pintu adalah Pak Prana.
Di balik keriuhan itu, di bingkai pintu kelas, Asa termenung dalam diam. Tangannya terkepal kuat. Kini, ia memandangi ruang kelas ini dengan berbeda. Ia harus memperbaiki segalanya.
Kaki itu melangkah masuk, berharap dapat menjadi Asa yang baru ketika menjejakkan kaki ke dalam sana.
Asa yang tak lagi egois dan seenaknya.
Semoga saja.
[ π β ¢ ]
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top