34. Pijakan Jalan Kehidupan
Pernahkah kamu mendapati dinding tinggi yang tak pernah mampu ditembus partikel sekecil apa pun, lantas tiba-tiba saja hancur dan menyisakan puing debu bersama meluncurnya cairan bening dari pelupuk mata cokelat terang itu?
Iya. Itu bukanlah suatu hal yang bisa Alfis perkirakan sebelumnya, bahkan tidak dalam halusinasi di siang bolongnya sekalipun. Alfis tahu Asa kecewa. Alfis tahu Asa sedih, marah, lelah, dan tak terima. Akan tetapi, Alfis belum pernah menyaksikan Asa yang sehancur ini. Rambut panjang yang diikatnya tampak kusut, begitu pun seragam olahraganya. Manik cokelat terang Asa yang bicara segalanya.
Asa bukanlah perempuan yang terbiasa memperlihatkan kesedihannya di hadapan orang-orang. Asa hanya menampilkan tiga emosi di muka umum; marah, takut, dan gembira. Selebihnya, Asa selalu memilih diam. Fakta tersebutlah yang membuat Alfis kaget mendapati seorang Asa yang mengekspresikan kesedihannya di pinggir lapangan dekat panggung.
Anak Hexatas Voice yang tersisa di sekitar sana memandangi Alfis dengan raut kebingungan sekaligus tidak enak untuk mengintervensi. Menyadari maksud dari tatapan teman band-nya, Alfis pun mengangguk singkat, mengisyaratkan yang lain untuk pergi lebih dulu saja. Urusan Alfis belum selesai di sini.
Bahu Asa naik-turun dalam frekuensi yang tidak beraturan, kesulitan mengendalikan rasa sesak yang menyeruak. "Aku capek, Fis ... aku capek! Aku sendiri, aku rapuh ... aku enggak kayak kamu yang punya MaFiKiBi. Aku bintang yang kesepian. Aku ...." Asa tidak mampu meneruskan kalimatnya. Ia sibuk sekali menggunakan lengan atas untuk mengelap air mata yang tak terbendung menjejaki pipi, sekaligus berusaha menyembunyikan kepalanya.
Keheningan mengisi. Percakapan siswa—entah itu anak OSIS atau anak Hexatas Voice yang baru pulang—terdengar sayup-sayup di kejauhan, menjadi melodi sepi yang mengiringi isak tertahan Asa. Anak perempuan itu tak lagi peduli pada penilaian Alfis selaku rival sejatinya, maupun rasa gengsi dan harga diri yang Asa junjung selama ini. Asa hanya tak tahan lagi, dan tidak ada satu nama pun yang bisa Asa ajak untuk berbagi.
Tangan Alfis ragu-ragu mendarat di puncak kepala Asa yang setinggi pundaknya. Jemarinya mengusap rambut hitam itu dengan halus, berusaha membagikan kekuatan, atau sekadar memberitahu Asa bahwa dirinya tak sendiri, walau sentuhan Alfis nyaris tak terasa sama sekali. Alfis menghela napas panjang. "Nangis aja. Kita enggak pernah bikin kesepakatan buat saingan soal siapa yang lebih kuat, kok."
Asa mengucek-ngucek matanya yang terus meluncurkan tangis dengan deras. Asa sesenggukan. Sungguh. Asa hanya ingin meluapkan segalanya tanpa perlu mengingat berbagai sekat yang selama ini membatasi dunianya agar tetap di dalam jalur. "Alfis, aku capek ... aku ngerasa lari terus dari dulu, ngejar kesempurnaan, peringkat terbaik ... tapi akhirnya malah aku yang capek sendiri ...."
Mengejar jalan tanpa kesudahan, ya ... jelas saja tidak akan pernah sampai. Alfis mengamati sekawanan pasukan burung yang terbang seiringan di pelataran cakrawala jingga, lamat-lamat. Ia menunggu Asa meneruskan kalimatnya. Namun, karena yang tersisa hanyalah isak tangis, Alfis pun berusaha mengikis jarak di antara keduanya dengan mengarahkan kepala Asa perlahan-lahan ke arahnya.
"Aku mau berhenti, Alfis. Apalagi semua itu cuma bikin aku enggak disukai sana-sini. Kayaknya ... peringkat itu bukan segalanya, ya, Fis? Nilai, ranking, prestasi, olimpiade ... apa aku terlalu terobsesi?" Jarak Asa dengan bahu Alfis hanyalah tersisa beberapa senti. Meski begitu, Asa memilih untuk terus membenamkan kepala di tangannya sendiri. "Aku pengin berhenti, Fis! Tapi rasanya udah telanjur ...."
Alfis merengkuh bahu Asa erat-erat. Netra hitam legamnya menelisik angkasa dengan pasukan mega yang bersiap mengantar kepulangan sang mentari di ufuk barat. Alfis menipiskan bibir. "Obsesi itu emang kurang baik. Tapi bukan berarti kamu harus menghentikannya, Asa. Kamu cuma harus belajar mengendalikannya. Belajar mengukur langkah, menentukan kecepatan ... jangan sampai perjalanan ini malah bikin kamu tertekan. Hidup enggak selalu tentang kompetisi. Ada proses yang perlu kamu nikmati, juga hal krusial yang cuma bisa kamu dapatkan selagi melangkah perlahan-lahan."
Tak ada sahutan selain tangis yang mulai memelan. Napas Asa sedikit demi sedikit kembali ke dalam kendalinya. Sesak itu berangsur-angsur menemukan rumahnya untuk pulang. Menyadari bahwa Asa sedang berproses meregenerasi perasaan, Alfis pun kembali angkat suara.
"Nilai, peringkat, prestasi ... mungkin hal itu bisa bikin kamu hidup dengan kebanggaan. Tapi enggak menjamin kamu bahagia, Asa." Alfis mengambil jeda untuk sejenak. "Kamu butuh teman, genggaman, pijakan, dan arah perjalanan untuk mengarungi kisah kehidupan. Semua orang berhak memilikinya. Dan kamu, jangan semena-mena pada dirimu sendiri, dengan merenggutnya gitu aja."
Akhirnya, air mata Asa reda sepenuhnya. Yang tersisa hanyalah jejak tangis, hidung merah, juga kantung mata yang cukup bengkak. "Tapi enggak ada yang mau jadi teman aku, Alfis! Kayak kata Prima. Aku enggak pernah benar-benar punya teman ... enggak ada yang mau berteman sama anak egois."
"Belum," timpal Alfis. Anak laki-laki itu mengarahkan pundak ringkih Asa agar menghadapnya dengan benar. Asa pun mendongakkan kepala untuk menatap manik hitam legam Alfis yang tidak menyorotkan keraguan sedikit pun. "Belum aja. Coba kamu mulai membuka diri ke orang lain. Berhenti mikir kalau semua orang itu saingan kamu. Misalnya, daripada rebut jawaban teman yang belum paham sama materinya, mending kamu ajarin biar pahamnya bareng-bareng. Itu enggak akan mengurangi kualitas otak kamu, kok."
"Aku ... kelihatan pelit, ya, Fis ... selama ini? Egois?" Asa menekuk kedua sudut bibirnya ke bawah. Ada sesuatu yang masih sulit ia terima. "Tapi aku begini pun bukan tanpa alasan, kok!"
"Orang lain begitu pun punya alasannya sendiri. Kalau kamu mau dimengerti, ngertiin juga orang lain. Kita yang makhluk sosial ini saling ajalah, ya. Harus lebih peduli."
Lama, Asa tenggelam dalam lamunan. Apakah ini memang solusi yang tepat untuk mengatasi permasalahannya? Untuk lekas keluar dari zona melelahkan yang tidak berujung ini? Asa mengembuskan napas berat. "Tapi udah telanjur, Fis ... aku telanjur jadi antagonis semua orang. Harus gimana lagi?"
"Komunikasikan." Alfis menjawab dengan mantap. Kedua tangan itu kembali melesak ke dalam saku celananya, seperti biasa. "Buat memahami diri sendiri aja masih sulit, apalagi memahami orang lain. Teknologi tercanggih sekalipun enggak akan cukup buat menerjemahkan pikiran manusia dengan akurat. Sebagai makhluk yang diberi kemampuan untuk berkomunikasi, kita bisa menyuarakan segalanya. Tanpa berterus terang, orang-orang enggak akan pernah tahu sama kemauan kamu buat berubah, Asa."
Disuarakan, ya ... hm, Asa mau! Asa ingin memperbaiki segalanya. Akan tetapi, atas segala hal yang terjadi, apakah teman sekelasnya akan menerima Asa semudah itu?
Seakan dapat mendengar isi hati anak perempuan di hadapannya, Alfis mengangkat bahu. "Nanti aku atur. Besok, selesai Persatas Day hari terakhir, sebelum evaluasi OSIS. Mau?"
Asa menggigit bibir bawahnya dengan gugup. Secepat itu? Asa memejamkan matanya erat. Aaa, sesungguhnya ia belum siap! Ia takut menghadapi tanggapan yang mungkin akan didapatkannya dari Prima dan Kalea. Akan tetapi ... mau sampai kapan Asa menghindar? Asa tidak bisa terus-terusan begini! Asa harus menghadapi segala permasalahannya dengan baik. Tidak sembunyi, apalagi melarikan diri. Perlahan, Asa kembali membuka mata. Makin cepat dihadapi, makin cepat selesainya, 'kan?
"Oke, besok."
[ π β ¢ ]
Satu hari berlalu lagi tanpa terasa. Asa gugup maksimal! Bukan hanya karena kerja Asa sebagai seksi acara di hari terakhir Persatas Day ini yang menjadi alasannya, melainkan juga karena sesuatu yang ia rencanakan sehabis acara berakhir. Misinya untuk memperbaiki masalah dengan teman sekelas.
Sepanjang hari, Asa sibuk sekali memanggil perwakilan setiap kelas untuk jalannya pentas seni, sekaligus memastikan bahwa acara berlangsung sesuai dengan rundown yang telah ditentukan. Asa berseliweran ke sana kemari dengan gesit. Anak perempuan itu baru menghela napas lega di sela-sela masa luangnya selagi peserta nomor urut selanjutnya telah bersedia di belakang panggung seraya menunggu siswa yang sedang tampil.
Asa meregangkan badan yang terasa pegal. Dari pinggir panggung, Asa mendongakkan kepala untuk menyaksikan anak lelaki berkacamata tebal yang tengah mengatur kunci gitar di atas panggung. Alfis tampak serius sekali mengecek performa mikrofon di hadapannya. Iya! Alfis tampil lagi, sebagai perwakilan kelas XI MIPA-1 bersama Iris dan Kiano. Warga kelas mereka memang aktif sekali dengan berpartisipasi mengirimkan tiga penampilan sekaligus.
Asa menahan senyuman geli ketika hatinya menebak-nebak lagu apa yang akan dibawakan Alfis kali ini. Akan tetapi, semua ekspektasinya itu berakhir dengan kekecewaan dalam ketika mendapati bahwa lagu yang dibawakan Alfis sama saja dengan yang tahun lalu.
Kan kau t'lah kujanjikan ... kau tak akan sendirian.
Ku bersamamu seiringan, usahlah engkau bimbangkan.
Kita arungi bersama, dan aku takkan pergi.
Bersedia ... pergi mengembara.
Kini masanya ... bersedia!
Masih bersama Iris dengan lagu Tata Surya-nya, Kiano dengan Table Periodic Song-nya, juga Alfis dengan soundtrack dari Boboiboy. Penampilan mereka tidak pernah berubah dari tahun lalu. Untunglah penonton tidak bersorak kecewa.
Asa menahan geli. Woo! Sangat tidak kreatif, memang! Bisanya cuma lagu yang itu-itu saja.
[ π β ¢ ]
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top