33. Kalah Tak Lagi Berkilah
Papan skor yang dipegang salah satu anggota sekbid tujuh OSIS jelas sekali memperlihatkan bahwa tim Kiano telah kalah. Tidak ada yang digenggamnya selain kekalahan. Akan tetapi, kenapa senyuman itu masih terkembang begitu lebar? Bahkan Bintang, teman sekelasnya, kenapa santai sekali menertawakan Kiano walau timnya tak sampai ke semifinal sekalipun?
Kenapa? Kenapa? Kenapa? Tidakkah mereka memikirkan pertandingan ini sebagai salah satu pertarungan untuk mempertaruhkan gengsi dan kehormatan kelas? Bahkan teman sekelasnya yang lain ... mereka kembali asyik berbincang seru setelah Asa meninggalkan stan. Eh? Tidak ada satu pun yang memperhatikan skor akhir tim kelas?
Bukan berarti Asa berharap mereka semua tampak kecewa dan menyalahkan Nabil, Kiano, juga anak lain yang mewakili XI MIPA-1 di pertandingan basket, sih. Hanya saja ... Asa jadi iri! Kata Ayah-Ibu, selama Asa menguasai suatu hal, tidak akan pernah ada yang berani meremehkannya. Karena itulah Asa mati-matian hidup ambis, 'kan? Kini, dirinya tidak merasa diremehkan, tetapi kenapa rasanya masih saja begitu sepi?
Dan lagi ... Kiano senang berolahraga, mengingat aktivitas fisik sudah menjadi salah satu bagian dari bentuk tengilnya. Namun, tidak ada yang bisa menolak fakta bahwa Kiano gagal membawa nama kelas ke semifinal. Kiano kalah, tetapi teman lainnya tetap merangkul Kiano dalam rengkuhan hangat itu. Kiano diterima dengan baik, walau tak menggenggam kemenangan.
Bagaimanalah dengan Asa? Dirinya lolos dari OSPer sebagai delegasi Persatas di bidang astronomi saja tidak mendapatkan apresiasi sedikit pun dari kawannya. Asa baru sadar hari ini. Menyadari bahwa pada waktu pengumuman, hanya Iris dan geng MaFiKiBi Society yang dielu-elukan warga kelas ketika seluruh delegasi dipanggil ke depan setelah upacara berakhir.
Asa tidak. Mereka tidak memikirkan Asa sama sekali. Kedua alis tipis Asa mengernyit dalam, berusaha menganalisis sekaligus menghubungkan hal-hal yang dapat ia tarik kesimpulannya.
Menilai situasi yang ia hadapi sendiri, sepertinya kalimat Bapak memang tidak sepenuhnya benar. Pertemanan itu tidak selalu ditentukan dari seberapa ahlinya kita dalam suatu bidang tertentu. Sehebat apa pun ia, orang-orang mungkin akan menghormatinya, tetapi tidak menutup kemungkinan bahwa rasa hormat itu hanya berperan sebagai tembok tinggi dari sahabatnya.
Sayup-sayup, dari pinggiran panggung ini, Asa mendengar seruan riuh dari Bintang juga teman sekelas lainnya ketika Kiano berpose sok keren karena Prima merekam ulahnya yang begitu narsis meyakini diri sebagai makhluk yang seksi. Ramai sekali. Kabar menyedihkannya, Asa tidak akan pernah bisa masuk dan diterima di antara orang-orang itu.
Ah, iya. Dirinya memang jarang sekali ikut kegiatan kelas. Setiap kali anak XI MIPA-1 bermain ke manalah untuk sekadar berkumpul atau memasak nasi liwet bersama di rumah salah satu warga kelas, Asa selalu menolak ikut karena merasa bahwa belajar adalah prioritasnya, dan main-main hanya akan menghambat proses Asa. Tak heran kalau teman sekelasnya sudah terbiasa dan merasa tak perlu menanyakan kesediaan Asa untuk ikut dalam kegiatan kelas.
Asa memang melangit, maju beberapa langkah lebih depan dibandingkan teman sekelasnya. Akan tetapi, sekalinya Asa terjatuh, tak ada lagi dasar yang mampu menyokongnya untuk kembali bangkit dan meneruskan perjalanan mimpi. Asa benar-benar sendiri. Huft ... anak perempuan itu menghela napas panjang. Sejak kapan hidupnya jadi terasa sehampa ini? Atau memang ....
Oh, iya. Hidup Asa memang sudah hampa sedari awal. Hanya dirinya yang mati rasa. Ketika rasa Asa mulai aktif di masa menjelang berakhirnya kelas sebelas ini, barulah Asa sadar bahwa dirinya kesepian.
Selama ini, dirinya ke mana saja, sih? Angan Asa melanglang jauh, mengudara di antara langit cerah yang menjadi kanvas mentari untuk memancarkan sinar teriknya. Akar masalah dari berbagai perpecahan dengan teman sekelasnya adalah kenyataan bahwa Asa berbeda. Asa selalu sibuk dengan dunia ambis-nya sendiri. Tidak sekali dua kali Asa mendengar Prima dan yang lainnya mempersoalkan sisi ambis Asa yang terkesan begitu negatif.
Asa tak paham di sebelah mana kesalahan dari memiliki kepribadian ambis? Mereka bilang Asa egois, hanya karena asyik mengarungi dunianya sendiri? Asa menghela napas panjang, tidak habis pikir. Oh, tidak. Lebih tepatnya, Asa tak kunjung mau membuka pikirannya untuk berkaca diri. Tidak! Asa tidak sebodoh itu hingga tidak menyadari egoismenya yang mulai kronis. Asa hanya menolak, masih belum menerima penilaian tersebut.
Keresahan itu mengudara. Sudut hatinya membisiki Asa untuk mulai menjelajahi ruang kehangatan yang sudah berdebu di dalam sana, jarang ditempati. Empati, simpati, penjuru hati. Rasanya sudah lama sekali sisi hangat itu mati. Dan Asa ke sana untuk menghidupkannya kembali, setidaknya satu kali ini.
Pikiran Asa mengembara, berusaha msnelusuri awal mula kehidupan ambis-nya. Ambis, ya ... ah, Asa tidak bisa menemukan di sebelah mana titik start itu tepatnya. Semuanya seolah sudah menjadi satu-kesatuan yang utuh dengan hadirnya eksistensi Asa. Asa membutuhkan pengakuan. Entah bagaimana kronologis konkretnya, pemikiran itu telah tertanam begitu kuat di alam bawah sadarnya.
Asa harus memenangkan banyak penghargaan, meraih juara berturut-turut di sekolah, lantas meyakinkan kedua orang tuanya bahwa Asa juga bisa melampaui anak lain yang difasilitasi dengan les dan bimbingan belajar yang enak. Asa bisa ke puncak dengan jalannya sendiri. Itu yang ingin Asa serukan pada dunia.
Usaha Asa tak pernah mengecewakan. Anak yang dibiayai orang tuanya untuk proses pembelajaran terbaik sekalipun dapat dikalahkan seorang Asa, yang notabenenya, tidak mengeluarkan sepeser uang pun dari orang tuanya. Buku catatan pun kebanyakan ia manfaatkan dari koleksi buku yang didapatkannya dari peraihan lomba menulis esai, maupun sekadar perlombaan cerdas cermat di kampungnya. Asa mau dapat beasiswa terus jadi orang sukses! Dengan begitu, Asa harap bisa membiayai sekolah Saka dengan baik.
Sejak kelas satu SD, Asa selalu meraih peringkat satu di setiap semester. Tidak pernah turun sekali pun. Namun, semuanya berubah ketika Asa memaksakan diri untuk bersekolah di Persatas lewat jalur beasiswa. Iya. Para penduduk sekolah ini memang memiliki jiwa kompetitif yang tidak bisa diabaikan. Akreditasi dan penilaian Persatas di antara sekolah Tasik lainnya memanglah tidak mengecewakan. Ditambah lagi, Asa dipertemukan dengan empat monster MaFiKiBi Society di angkatannya.
Asa senang! Ketertinggalannya ini memberikan ruang dan kesempatan yang lebih tinggi bagi Asa untuk mengejar, sekaligus mengembangkan diri lebih jauh lagi. Bukankah bersaing di lautan berisi predator buas memang jauh lebih menyenangkan, walau membuatnya cukup terancam?
Sayangnya, mental Asa ternyata tidak sekuat yang ia bayangkan selama ini. Asa terbiasa dengan kelonggaran persaingan di sekolah negeri SD dan SMP-nya yang memang di pinggiran kota. Asa belum siap untuk medan tempur sekeras Persatas. Bukan soal peringkatnya, tetapi tentang transisi kompetisi yang dihadapi. Apalagi latar belakang Asa memanglah tak mengenal kata gagal. Sekalinya berada di posisi itu, Asa benar-benar tak siap.
Akan tetapi, nyaris dua tahun tumbuh di Persatas, Asa jadi mengenal lebih banyak kegagalan. Gagal lolos KSN Astronomi tingkat kota tahun lalu, gagal masuk lima besar paralel, gagal meraih targetnya di setiap semester ... semuanya tentang kegagalan. Jika semesta Asa yang selalu meraih juara dan senyuman bangga dari kedua orang tuanya itu merupakan kehidupan normalnya, maka di Persatas ini, hidup Asa dijungkirbalikkan sepenuhnya.
Sejak awal, di dunia Asa, anak perempuan itu hanya mengenal kata menang atau kalah. Tidak ada hal yang lain. Menang, ya, menang. Kalah, ya, kalah. Seolah kehidupan ini hanya menyediakan dua sisi hitam-putih, tanpa adanya spektrum abu maupun warna lainnya. Asa dibutakan oleh visible light, sampai lupa bahwa ada sinar radio, microwave, sampai gamma ray di spektrum gelombang elektromagnetik.
Kali ini, mendapati kekalahan Kiano yang terasa menyenangkan itu membuat Asa berdiam diri, mengamati persimpangan jalan yang kelam di hadapannya. Semua ini menyalahi hukum yang diakui dalam sistem kehidupan Asa. Apa yang menyenangkan dari sebuah kekalahan?
Asa mengernyit dalam. Ada dua jalan yang mengarah ke kiri dan ke kanan, jalan kemenangan juga kekalahan. Asa hanya memperhatikannya dari kejauhan. Kabar mengejutkannya, tim basket perwakilan XI MIPA-1, termasuk Nabil dan Kiano, tidak ada di salah satu jalan itu. Mereka tampak tertawa-tawa di seberang Asa, di luar kedua jalan yang ada.
Apa ini? Asing sekali. Bagaimana bisa ada manusia yang menyalahi gurat semesta? Bagaimana mungkin Asa melihat ingar-bingar kemenangan dari tim Kiano yang jelas-jelas kalah dalam pertandingan?
Petang datang menjemput. Siswa sudah pulang sedari tadi. Negeri Persatas hanya menyisakan Pengurus OSIS yang tengah mengevaluasi jalannya Persatas Day hari pertama, juga anak band yang masih sibuk mengurusi peralatan musik di atas panggung. Asa tak banyak bicara, padahal biasanya ia yang paling aktif memberikan masukan pada kegiatan semacam ini.
Perkumpulan bubar. Semua anak OSIS sudah bersiap kembali ke rumah masing-masing, menyimpan tenaga untuk besok. Akan tetapi, Asa masih di sini. Jiwanya serasa tertinggal di dunia antah-berantah. Di luar kendalinya, tahu-tahu Asa sudah berdiri menghampiri Alfis yang tengah menggendong tas gitarnya. Manik cokelat terang Asa yang dibalut selaput bening itu menatap lelaki di hadapannya lekat-lekat.
Alfis memperbaiki posisi tas di pundaknya, lantas mengangkat kedua alis penuh tanya. "Kenapa?"
Kala itu, dinding tinggi yang selalu membatasi setiap penjuru dunia ambis Asa langsung lebur seketika, luruh bersama air mata yang meluncur deras, menjejaki buntalan pipinya. Asa tak peduli meski beberapa pasang mata anak Hexatas Voice tertuju sempurna ke arahnya. Asa telah menghancurkan ego kokoh di dalam sana. "Aku kalah!"
Menyadari keadaan Asa yang jauh lebih buruk dari terakhir kali Alfis melihatnya, Alfis mengerjap-ngerjap. Rahang tegasnya berubah melunak untuk sejenak. Tak mau menyela, Alfis biarkan saja Asa meneruskan kalimat yang mau ia ungkapkan.
"Aku kalah, Alfis! Aku enggak sanggup lagi meneruskan segalanya."
[ π β ¢ ]
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top