32. Refraksi Orientasi Basi

Muak, retak, sesak, tak pelak Asa meledak. Segala perasaan abstrak ini hanyalah salah satu dari bentuk pelampiasannya untuk memberontak. Berontak pada kata semesta, melodi sepi, nyanyian kesendirian, juga kenyataan bahwa hidupnya tidaklah baik-baik saja sebagaimana yang Asa kira selama ini.

Hancur, lebur, gugur, dan berakhir sebagai keruntuhan secara berangsur. Begitulah keadaan pertahanan Asa ketika merasakan alur kisah hidupnya mulai keluar jalur. Keluar dari jalan ambis-nya, jalan prinsipnya, juga jalanan mulus menuju puncak yang tak lebih dari angan-angan kosong di siang hari.

Semua itu sudah menggemakan adanya sesuatu yang salah dalam diri Asa, tetapi anak perempuan yang keras kepala itu tetap merasa bahwa masalahnya ada di faktor eksternal. Usaha yang kurang, nilai yang kurang, kepercayaan guru yang kurang, peringkat yang kurang ... Asa hanya terus merasa berkekurangan, tanpa memikirkan bahwa masalah itu bersumber dari dirinya sendiri. Ia mengatasi masalah dengan cara yang salah. Dan lebih salahnya lagi, Asa tak pernah merasa bahwa dirinyalah yang salah.

Dengan langkah tergesa karena diliputi selaksa amarah, Asa menuju belakang panggung dan berusaha mengalihkan sakit hatinya pada pekerjaan. Manik cokelat terang itu memelototi lembar rundown acara tanpa ada yang benar-benar ia baca atau pikirkan. Lagi, semua itu hanyalah pengalihan. Keahlian Asa adalah mencari pelarian untuk memperlihatkan bahwa ia manusia kuat ketika menghadapi segala masalah, tanpa benar-benar menyelesaikannya.

Mendapati aura kelam yang begitu pekat di sekitar Asa, tidak ada satu pun anak OSIS yang berani menegurnya. Bahkan ketika anak MaFiKiBi dipanggil ke atas panggung untuk menerima penghargaan atas peraihan juara empat besar paralel—khusus kelas XI MIPA-1, pihak sekolah selalu mengapresiasi hingga juara keempat, karena posisinya sudah mutlak dikuasai oleh empat monster Persatas, dengan selisih jumlah nilai yang tidak begitu jauh—Asa menunduk saja di pojok pinggir panggung.

Hingga keempat agen MS bersama tiga besar paralel di angkatan kelas sepuluh turun dari panggung, Asa masih bertahan di posisi yang sama. Bintang yang menegurnya lebih dulu. "Hai, Sa! Sibuk, nih?"

Tidak ada tanggapan yang terlontar. Asa terus menunduk, seolah tidak mendengar suara Bintang karena kehidupannya berbeda alam. Dengan tampang sedih, Bintang pun berlalu saja dengan perasaan bersalah. Iya. Asa pasti sakit hati dan merasa tertekan karena perkataan teman sekelas, juga kenyataan bahwa dirinya tidak memasuki peringkat yang diinginkan. Bintang mengetahui perasaan itu dengan baik, kok. Bintang bisa merasakannya.

Di sebelah Bintang, anak laki-laki berkacamata tebal itu hanya melirik Asa sekilas, lantas membenamkan tangan ke dalam saku celana tanpa menjeda langkahnya sedikit pun. Tidak ada yang bisa lagi ia lakukan selain membiarkan Asa mencari ketenangan dan menemukan kembali kendali dirinya sendiri. Alfis tak bisa terus-terusan menceramahi Asa untuk menciptakan perubahan. Asa-lah yang harus menyelesaikan masalahnya sendiri.

Menit demi menit berlalu. Setelah menyimpan uang pembinaan yang diterimanya ke dalam tas, Alfis kembali ke atas panggung untuk bernyanyi dan memetik gitar bersama personel Hexatas Voice lainnya. Pertandingan basket sudah menuju puncak, babak penyisihan berlalu tanpa terasa. Kini, di tengah sorotan sinar sang raja siang yang begitu gagah menguasai singgasana cakrawala, berlangsunglah babak perempat final antara kelas XI MIPA-1 dan XII MIPA-5.

Asa tak begitu peduli meski sekarang adalah pertandingan kelasnya sendiri, dan Prima, Kalea, beserta teman lainnya sudah begitu riuh menyoraki tim mereka dari pinggir lapangan. "Ayo, Kiano! Kapan lagi berhadapan dengan Bro Ken, Kak Ken Alvaro, Presiden Komunitas Perlambean-mu itu? Semangat! Kalahkan dia untuk membuktikan bahwa dirimu telah berhasil sebagai muridnya!"

"Hei! Jangan salah! Dari tahun lalu, kita memang selalu dipertemukan semesta, bukankah begitu, Bro Ken?" Sejak memasuki lapangan dengan tampang sok kerennya, Kiano sudah merekahkan cengiran yang begitu lebar. Baru saja mendekat dan menepuk-nepuk pundak Ken, tahu-tahu Kiano malah menjerit nelangsa. "Tapi tahun depan, Bro Ken akan tiada! Meninggalkan aku, kami, Persatas, dan Organisasi PIPIS!"

Bukannya menenangkan Kiano karena pertandingan akan segera dimulai, kakak kelas dengan jambul rambut ala jamet itu malah turut memasang tampang suram. "Hua, Bro Ki! Sungguh berat aku melepas semua ini. Tapi apa boleh dikata? Biar aku serahkan posisi Presiden PIPIS ini kepadamu. Teruskan perjuangan, Bro Ki!"

Ah, ya. Tidak salah lagi. Tampaknya, semesta memang senang sekali mempersatukan umat manusia yang sesuai tingkat kewarasannya.

Asa membisu saja sembari mengamati jalannya pertandingan yang cukup sengit. Nabil berkali-kali memasukkan bola dari area three-points dengan keakuratan yang tidak diragukan. Tembakannya hanya meleset satu-dua kali ketika kakinya sedikit terpeleset dari titik seharusnya ia melompat karena terdesak oleh penjagaan ketat dari pemain kelas XII MIPA-5.

Pertandingan ini begitu seru, sebenarnya. Hingga kuarter empat nyaris berakhir, tidak ada satu pun yang mampu menebak skor tim mana yang akan memimpin dan keluar sebagai juara untuk maju ke babak semifinal. Ketika ring-nya kecolongan tiga skor, maka kelas XII MIPA-5 akan membalasnya dengan cepat, begitu pula sebaliknya. Skor seimbang. Pada tiga puluh detik terakhir, seorang pemain berbadan tiang berhasil memasukkan bola dengan lay-up manisnya.

Pemain dari kelas Asa sontak saja ketar-ketir. Ini sudah nyaris sampai ke akhir! Kalau mereka tidak lekas-lekas menciptakan skor baru ....

Priiit! Sayangnya, peluit wasit sudah berbunyi nyaring, mengakhiri berjalannya pertandingan. Ya ampun! Skor akhir ini hanya selisih satu saja! Andaikan mereka diberikan waktu tambahan ... kelas XI MIPA-1 masih berpeluang untuk menang dan mengikuti semifinal yang diselenggarakan esok hari! Asa malah gemas sendiri.

Akan tetapi, di lapangan sana, Kiano malah memekik riang. Tampak sekali wajah penuh keringatnya yang begitu membara diterpa terik matahari. "Ya ampun, Bro Ken! Kau selalu saja keren! Panutanku memang beda. Dua kali berhadapan, dua kali pula aku yang kalah. Ayo ajari lagi aku!"

"Hei, yang mencetak skor di detik-detik terakhir itu seorang Aakash Mahaputra! Kawanku itu! Bukan aku!" Tak kuasa menahan geli, Ken menepuk-nepuk pundak Kiano sebagaimana waktu awal pertandingan tadi, dengan kekehan kecil. "Kau juga kece, Bro Ki! Muridku memang beda. Siapa dulu gurunya?"

"Bro Ken gitu, lho!"

Eh? Di posisinya, Asa bergeming sempurna. Apa pemandangan yang baru saja dilihatnya itu? Jelas-jelas Kiano mengalami kekalahan hanya karena selisih satu skor. Bukankah seharusnya ia marah sekali? Kecewa karena hanya perlu selangkah lagi menuju pertandingan semifinal? Akan tetapi ... kenapa Kiano malah terlihat begitu senang dan mengapresiasi lawannya tanpa beban, terlepas dari hubungan absurd yang terjalin antara Ken dengan Kiano?

Kenapa? Kenapa? Bagaimana bisa? Sejak pertama masuk ke Persatas, Asa langsung tahu, kok, bahwa anak MaFiKiBi Society, termasuk Kiano, adalah sekumpulan anak ambis yang sangat senang menorehkan prestasi. Entah untuk investasi masa depan seperti dirinya, atau sekadar menikmati masa muda dengan keren. Tidakkah Kiano menginginkan kemenangan?

Oh, baiklah. Pertandingan basket di Persatas Day ini memang tidak seberapa jika dibandingkan dengan pertandingan di kancah O2SN. Akan tetapi, bukankah kemenangan di pertandingan basket ini bisa mempengaruhi nilai olahraga? Dan sebagai anak ambis, bukankah segala hal yang ada merupakan kesempatan baru yang mesti dimanfaatkan sebaik mungkin?

Begitu seluruh pemain telah berjabat tangan sebagai aksi menjunjung nilai sportif dan persaudaraan, Bintang langsung menghampiri Kiano yang asyik tebar pesona pada barisan adik kelas dengan mengguyurkan botol air mineral ke mukanya sendiri, sok seksi nan sok estetik. Meski diiringi keluhan bau masam keringat Kiano yang terlontar dari bibir tipis Bintang, anak perempuan itu tak mengurungkan niatnya untuk menyodorkan ponsel di tangan pada Kiano.

"Lihat, deh, Ki! Mukamu aib banget pas nyusruk karena bolanya berhasil direbut Kak Aakash!" Gelak tawa Bintang membahana. Detik berikutnya, Kiano langsung memburu Bintang hingga ke setiap penjuru Persatas. Meski dongkol setengah mati karena dikatai sebagai aib, Kiano malah ikut tertawa.

"Itu namanya ganteng memesona, tahu, Bi! Bukan aib! Matamu mendadak jadi minus sampai lebih parah dari Alfis, ya?"

Tunggu ... kenapa tak ada satu pun yang mempersoalkan hasil akhir pertandingan? Asa mengedarkan pandangan ke sekeliling, mencari tampang kecewa di antara teman sekelasnya. Nihil. Asa mengernyitkan kening, berpikir dalam-dalam. Hei. Bukankah kalah-menang adalah hal terpenting dalam suatu pertandingan? Mereka bertanding untuk dapat pemenangnya, 'kan? Kenapa tidak ada yang memedulikannya?

Ataukah selama ini, pemikiran Asa-lah yang berorientasi pada hal-hal yang tak perlu untuk begitu dipikirkan?

[   π    β    ¢   ]

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top