31. Asing di Tengah Bising

10. Asa Nabastala. XI MIPA-1.

Runtuh, rimpuh, lumpuh ... begitulah tiga kata yang dapat menggambarkan dunia Asa saat ini. Oh, ayolah ... ia bahkan tidak sampai ke lima besar? Asa memejamkan matanya erat-erat. Tergeser satu posisi lagi saja ... maka program beasiswa Asa dari Persatas akan berhenti. Syarat penerimaan beasiswa tersebut memang harus memasuki sepuluh besar paralel.

Nyaris saja. Nyaris saja eksistensinya di Persatas ini terhapuskan. Sebenarnya ... apa lagi yang kurang darinya? Kenapa sulit sekali untuk menembus lima besar paralel? Asa selalu saja terjebak di peringkat ini. Apakah usahanya belum juga cukup untuk mencapai titik di puncak sana? Sampai kapan? Sampai sejauh mana lagi Asa harus bertahan dan memaksakan dirinya?

Jemu. Semua hal yang terjadi di sekitar Asa bagai fragmen kisah kehidupan yang semu.

Kalau bicara sejujurnya, Asa sangatlah lelah dengan segala usahanya. Waktu, pikiran, tenaga, gengsi, juga rasa iri pada kawan lainnya ... Asa tak bisa menghindar dari pemikiran negatif itu. Mau sampai kapan? Apakah ini tanda-tanda bahwa impiannya memang telah diblokir tangan semesta? Asa tidak pantas ada di sini. Asa tak seharusnya mati-matian berusaha untuk sesuatu yang jelas tidak diguratkan untuknya. Bukankah begitu cara kerja semesta?

Lagi, sebagaimana biasanya, Asa merasa asing di tengah bising. Sepi. Sendiri. Tidak adakah yang mau menggenggam tangannya, membesarkan hati, menenangkan Asa bahwa ini bukanlah akhir dari segalanya? Penat ... lama-lama, Asa merasa kalau pijakannya rapuh sekali tanpa genggaman tangan yang bisa menemani langkahnya.

"Saat itu, aku udah kehilangan minat buat melangit, Asa. Jutaan kerlip gemintang di atas sana tak lagi membuatku tertarik. Aku cuma mau tenggelam di pijakan, membumi dengan sendirinya, lantas berhenti mempertanyakan mimpi-mimpi yang hanya jadi pajangan di kehidupan. Genggaman semu. Aku hilang arah. Dan merekalah yang menjadi Ursa Major, penunjuk arah agar aku bisa kembali. Mereka alasanku untuk bangkit dan melangit."

"Aku yang dari SD berteman dengan Kiano dan dilanjut sama era MaFiKiBi Society sejak SMP aja, kenyataannya aku masih sulit menguatkan pijakan. Aku yang punya mereka aja sempat jatuh dan tenggelam, gimana kamu yang sendiri? Gimana rasanya? Jatuh dan bangkit seorang diri ... kamu pasti sekuat itu sampai bisa ada di titik ini tanpa langkah kaki yang mengiringi."

Kuat, ya? Ya Tuhan ... ingin rasanya Asa berteriak untuk membantah telak kalimat Alfis tadi malam. Kuat, katanya? Itu yang Asa rasakan pada awalnya. Akan tetapi, kali ini, Asa menyadari bahwa 'merasa sebagai manusia kuat' itu tak lebih dari ilusi sekaligus pembenaran diri agar Asa tidak terlihat begitu lemah di mata orang lain. Itu hanyalah salah satu spontanitas di luar kendalinya untuk menghalau rasa sepi yang menggerogoti.

Demi latihan soal astrofisika yang tak pernah Asa lewatkan dalam setiap malamnya ... apakah kondisi dirinya memang sudah separah itu? Tidak. Tidak mungkin. Asa menggeleng kuat. Itu sangatlah bukan dirinya. Meratapi kesendirian? Tidak. Asa hanya terlampau kecewa karena ranking paralelnya yang melenceng jauh dari ekspektasi, mengingat usaha ambis-nya selama ini. Hanya karena itu.

Asa berteman dengan kesendirian sejak masih begitu kecil. Mustahil kalau rasa sepi itu baru mencuat saat dirinya duduk di kelas sebelas ini. Asa memilin kaus olahraga yang dikenakannya kuat-kuat. Matanya memanas. Tidak boleh. Asa tidak boleh terpuruk begini. Yang perlu ia lakukan hanyalah berusaha lebih keras lagi. Naik dua-tiga peringkat saja ... Asa ingin menciptakan perbaikan.

"Ayo, kita foto dulu! Mumpung Alfis sama Kiano belum maju ke depan. Oh! Itu Mat! Pasti langsung ke lapangan pas dengar pengumuman. Mat! Sini!" Teriakan Prima yang diiringi lambaian tangan itu berhasil menarik perhatian Mat yang hendak menuju panggung. Mat pun menghampiri stan kelas XI MIPA-1. Prima tersenyum lebar. "Tuh, ayo, Guys! Sebelum Bapak Ketos kita yang supersibuk ini patroli lagi ke sana-sini."

Kala itu, personel kelas XI MIPA-1 memanglah sedang lengkap. Kiano sekalipun berhenti sejenak dari penjelajahannya dalam ekspedisi mengutang ke setiap stan bazar kelas orang. "Gas! Foto dulu!"

Prima sudah memanggil Juno yang kebetulan lewat untuk memotret mereka, lantas Prima mengenakan kembali helmnya, berpose, membenahi posisi seraya menaikkan kaca helm. "Ayo! Siap-siap di posisi!"

Semua sudah merapat di sekitar stan. Akan tetapi, Alfis memandangi Asa yang masih bergeming dengan kepala tertunduk dalam. "Sini."

Baru saja Alfis berinisiatif untuk menarik pergelangan tangan Asa, anak perempuan itu langsung mengempaskan genggaman Alfis. Napasnya memburu. Bahu Asa sampai naik-turun dalam frekuensi tak beraturan karena menahan sesuatu yang terasa meluap di dalam sana.

Menyadari situasi teman sekelas lainnya yang tampak terburu-buru dan tidak sabar karena formasi mereka tak kunjung bersiap dalam posisi masing-masing untuk berfoto, Alfis menghela napas panjang. Juno juga punya urusan lain. Kesempatan di mana guru yang sedang mengambil alih panggung ini membuat seksi acara memiliki sedikit kesempatan untuk mengunjungi stan kelasnya sendiri. Dan Juno malah terhambat oleh profesi fotografer dadakan ini.

"Ayo, Asa, Alfis! Merapat ke barisan," instruksi Juno sambil mengecek keadaan stan Kedai Universe kelas XI MIPA-1 lewat kamera dari layar ponsel yang Prima serahkan kepadanya.

Tak kalah sebalnya, Prima turut menimpali, "Iya! Enggak usah nge-drama dulu, deh. Kita buru-buru, nih."

"Jangan ganggu aku!"

Setiap anak yang tengah berpose dan mematut diri di sekeliling stan itu seketika menciptakan kesenyapan panjang, termasuk Juno yang perlahan menurunkan ponsel Prima di tangannya karena menyadari adanya masalah di sini. Siapa pun tidak ada yang menyangka atas balasan ketus Asa. Prima yang tersadar lebih dulu. "Hei! Apa-apaan maksudmu? Mending, lho, kita masih ajak kamu buat foto bareng sekelas. Kita masing menganggap kamu sebagai bagian dari XI MIPA-1."

"Ya udah, enggak usah aja sekalian. Enggak usah repot-repot atau memaksakan diri buat bareng aku. Aku enggak apa-apa. Bilang aja kalau emang kalian enggak nyaman sama kehadiran aku." Dengan napas tertahan juga suara tercekat agar tangisnya tak lolos saat itu, Asa berbicara tanpa menoleh sedikit pun pada teman sekelasnya.

Mendengar penolakan tersebut, emosi Kalea langsung meledak. "Astaga, Asa! Dengar aku. Selama ini, kita masih menghormati kamu sebagai anak OSIS yang aktif, pintar, rajin, dan kesayangan semua guru. Kamu anak emas Persatas yang selalu mengambil alih setiap atensi. Kamu tokoh utama yang disorot publik."

Tidak ada yang berani bersuara hingga Kalea menuntaskan kalimatnya.

"Tapi kalau kamu kayak gini terus, bisa-bisa kita benaran anggap kamu siswa gaib di kelas XI MIPA-1. Kalau kamu enggak pernah mau menghargai orang, ngapain masih ada di sini? Kita juga capek lama-lama. Orang lain udah enggak aneh kalau lihat kamu sendiri. Dan apa yang bakalan mereka pikir? Kita yang jauhin kamu. Padahal selama ini kamu yang bikin dinding pembatas sama yang lain! Kamu asyik sama dunia ambis-mu seorang diri."

"Kenapa, sih?" Meski sudut hatinya tertampar sana-sini oleh kenyataan yang baru disadari, Asa tak mau mengalah begitu saja. Rahangnya mengeras. Amarah sudah menguasai Asa sepenuhnya. "Apa salah aku? Sendiri atau enggak itu keputusan aku, dong. Kenapa kalian yang rempong? Urus aja kehidupan kalian sendiri!"

Mulai kehilangan mood untuk berfoto, Prima pun mengerutkan keningnya tidak suka. "Lihat? Manusia egois kayak kamu tuh cuma menghancurkan suasana, tahu, enggak? Kehidupan kalian sendiri? Kita enggak bisa hidup sendiri, Asa. Kamu sehebat apa, sih, sampai segitu bebalnya buat mempertahankan prinsip kolot begitu? Lihat nenek moyang kita. Mereka tinggal berkelompok untuk meningkatkan kemungkinan bertahan hidup. Macan sendirian tidak akan bertahan menghadapi sekawanan serigala. Apalagi kita ini sama-sama manusia, Asa."

"Udahlah. Kalau dia enggak mau ikut difoto, ya udah. Jangan paksa-paksa. Emang si paling mandiri. Nanti biar foto sendiri aja dia." Kalea mengibaskan tangan tak peduli. "Dia kayak gitu pasti karena kena mental lihat peraihannya yang kurang memuaskan, 'kan? Udah sok nantang Alfis buat saingan, sih. Jadinya malu sendiri."

Tawa kecil lolos dari mulut satu-dua anak lainnya. "Iya, ya. Dia kalah telak sama Iris yang ranking enam. Apalagi dibandingin sama anak MaFiKiBi, jauh!"

"Ih, kalian! Jangan gitu." Baru menghabiskan sekotak susu stroberi dari stok yang ia bekal dari rumahnya, Iris menekuk kedua sudut bibir ke bawah. Anak perempuan bertubuh kecil itu menerobos barisan dan hendak menghampiri Asa untuk mengajaknya berfoto. "Asa, kan, teman sekelas kita. Jangan bikin Asa jadi orang jahatnya, dong. Kita, kan ...."

"Enggak apa, makasih," sambar Asa tak sabaran. Anak perempuan itu sudah muak dengan segala hal yang terjadi di kehidupan. "Aku emang selalu salah, kok. Egois dan tidak berperasaan. Aku emang enggak seharusnya ada di sini."

Detik berikutnya, anak perempuan itu langsung melengos pergi dari kawasan stan bazar kelas XI MIPA-1, meninggalkan teman sekelasnya, Juno yang bergeming tidak enak karena menyaksikan pertempuran hebat, juga Alfis yang hanya bisa menghela napas singkat.

Ya sudahlah. Biar anak itu merenung dulu. Kata orang, waktu memang penyembuh terbaik, 'kan? Setidaknya sampai jiwa sedalam lautan itu terbentang dengan jauh lebih tenang.

[   π    β    ¢   ]

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top