30. Asa Tidak Terlaksana
"Kedai Universe! Kedai Universe! Mari, mari. Jajan di mari! Kapan lagi beli cilok bisa lintas antariksa? Kedai Universe, hadir untuk mewarnai semestamu!"
Di antara keramaian anak-anak Persatas yang berlalu-lalang untuk menyicipi jajanan dari stan satu ke stan lainnya, suara cempreng Prima mengudara. Anak perempuan itu terpilih sebagai model stan bazar kelas XI MIPA-1. Kalau saja tidak memiliki peran di kestrukturan OSIS, jelas saja Asa yang menginginkan posisi itu. Berkostum ala-ala astronot dengan helm, wind-breaker putih, juga sarung tangan abu, lantas mempromosikan jajanan kelasnya ke sana kemari.
Asa tersenyum pasrah saja seraya memandangi Prima dan stan bazar kelasnya dari belakang panggung. Ya sudahlah. Apa boleh buat. Ini tuntutan pekerjaan. Teringat dengan pekerjaan, Asa langsung menganalisis sekitar panggung di pinggir lapangan yang sudah dikuasai anak Hexatas Voice.
Hari ini, hari pertama Persatas Day, sebagaimana biasanya, kegiatan akan diisi oleh pertandingan penyisihan hingga perempat final basket antarkelas. Panggung tidak akan banyak digunakan. Hanya ada anak Hexatas Voice yang akan mengiringi berlangsungnya pertandingan basket. Hal itulah yang membuat Asa tidak begitu sibuk di belakang panggung. Sedari tadi, kerjanya hanya memastikan band kebanggaan Persatas tidak mengalami kendala, atau sekadar membantu sekbid tujuh untuk memanggilkan tim yang akan bertanding di lapangan.
Selebihnya, Asa malah tenggelam dalam lamunan panjang. Diedarkannya pandangan ke sekeliling lapangan yang merupakan sentral dari bangunan Persatas. Bagian dekat lapangan, ada anak sekbid tujuh yang mengondisikan para pemain cadangan, juga supporter di belakangnya. Siswa lain berhamburan di sekitar stan bazar, maupun sekadar menonton pertandingan di koridor kelas masing-masing.
Lamat-lamat, alunan tawa mereka terdengar begitu menyenangkan. Iya. Semua anak bersenang-senang dengan sahabatnya masing-masing. Di sini, di pinggiran panggung, rasanya Asa menjadi manusia gaib yang hanya bisa menyaksikan dalam kesendirian. Sendiri, ya? Hm, Asa bersama rekan OSIS-nya kok, di sini. Ada Juno, dan anggota sekbid empat lainnya.
Asa menolehkan kepala untuk mengamati teman-teman yang dimaksudnya. Tampaklah Juno yang sedang asyik berbincang-bincang dengan Iris. Oh, anak perempuan itu bukan anggota OSIS, kok. Sepertinya sedang ada perlu dengan Juno. Asa jadi menguping pembicaraan mereka tanpa sengaja.
"Juno! Besok aku tampil, lho. Jangan lupa susu stroberinya, ya!"
Ah, Iris memang maniak susu stroberi. Asa menahan kekehan geli begitu mendapati cengiran lebar yang terpampang jelas di manusia mini itu. Juno yang sedang memegang lembaran kertas rundown acara pun menepuk dahinya sekilas. "Mau nyanyi lagu planet itu lagi, Ris? Yang Girl in The Mirror juga?"
Semangat sekali, Iris mengangguk-angguk hingga kepalanya seakan nyaris lepas dari pangkal leher. "Iya, dong! Keren, 'kan?"
Juno meringis penuh nelangsa. "Kamu enggak bosan, ya, Ris? Kamu nyanyi itu juga di Persatas Day tahun lalu, lho! Nanti Alfis ngomel lagi gara-gara udah muak."
"Ih, biarin! Anak kelas sepuluh sekarang, kan, belum tahu!" Bukannya tersinggung, anak perempuan dengan kacamata bulat yang bertengger di pangkal hidung mungilnya itu malah tambah terlihat cerah. "Pokoknya susu stroberi, ya! Dadah, Juno! Semangat Persatas Day-nya!"
Oh, ya ampun. Heboh sekali. Asa mengangkat bahu tak peduli. Suara decitan sol sepatu yang bergesekan dengan permukaan lapangan membuat Asa bengong saja memperhatikan jalannya pertandingan antara kelas sepuluh. Tidak ada kesibukan, rasa kekosongan itu pun muncul ke permukaan. Sepi ... Asa merasa sepi di tengah kebisingan yang ada.
Orang-orang bercengkerama, menceritakan hal-hal seru, tergelak puas, berinteraksi dengan asyik. Lagi, Asa terdistraksi oleh suara Alfis yang mengudara dari mikrofon di atas panggung. Tabuhan drum dan petikan gitarnya turut mengiringi lagu kebangsaan Hexatas Voice. Judulnya Perjuangan Abadi. Tidak ada anak Persatas yang tidak mengetahui lagu pertama band kebanggaan sekolah itu.
"Kita terus sembunyi. Dengan nada yang sunyi. Di tengah risau, keresahan pun bernyanyi." Teralihkan, atensi Asa pun sepenuhnya terpusat pada sosok lelaki berkacamata tebal yang duduk di kursi panggung, berhadapan dengan stand mic juga jemari yang menari di antara senar gitar.
"Kita masih mencari, harapan yang menanti. Namun, terhenti oleh kenyataan yang terpatri."
Lagu bersiap menuju puncak. Seluruh perhatian mulai tertuju pada panggung. Semuanya. Bahkan anak-anak yang sedang berbincang seru atau memilih-milih jajanan di stan bazar pun seketika menghentikan pergerakannya untuk sesaat.
"Semesta pun menolak. Gagal tak terelak. Sama-sama lumpuh. Angan-angan turut rapuh."
Gurat-gurat senyuman terkembang di sana-sini. Dengan semangat membara, anak Persatas asyik mengangkat tangan untuk menikmati musik, lantas turut menyanyikan lirik yang tak lagi asing bagi mereka. "Gemakanlah lagi, wahai, melodi mimpi. Bangkitlah kembali, dari jatuh ini. Bangun dari mimpi buruk yang tak bertepi." Paduan suara dari massa yang tak direncanakan itu langsung menguasai setiap penjuru Persatas. "Demi perjuangan abadi!"
Yah ... Asa juga hafal, kok, lagu ini. Legendaris. Hanya saja, Asa tidak begitu tertarik pada kegiatan semacam menyanyi. Jujur saja. Nilai seni musiknya pun kalah jauh dari Alfis. Mendengar musik hanya membuat Asa tambah kesal. Merasa bosan karena tidak ada hal lain yang bisa dilakukannya di sini, Asa pun mengunjungi stan bazar mereka di depan kelas X MIPA-5 selagi menunggu pemain basket beristirahat sebelum lanjut ke babak dua, kuarter tiga.
Di antara dekorasi stan yang dipenuhi lukisan malam berbintang juga gantungan berbentuk planet Saturnus, tampaklah Ola, Prima, dan teman-teman sekelas Asa yang tengah tertawa-tawa senang. Prima membuka helm yang digunakannya sejak pagi untuk jadi model dan promosi ke sana-sini, lantas mengibas-ngibaskan tangan di depan wajah, tampak kepanasan. Tetes keringat begitu deras meluncur di pelipisnya, tetapi anak perempuan itu tampak riang di depan stan.
"Tahu, enggak, sih? Kiano sama agen perlambean enggak jelas itu lagi merenung seharian!" Begitulah kalimat pembuka Prima yang menyedot perhatian teman lainnya.
Teringat sesuatu, Kalea yang sedang menusuk cilok Neptunus untuk seorang anak kelas sepuluh yang mampir ke stan mereka itu pun kini turut menimpali, "Iya! Astaga. Mereka sampai nangis bombai karena bayangin Ketua Perlambean Persatas, Bro Ken itu, akan lulus sekolah sebentar lagi. Pisah, deh."
Prima mengangguk-angguk semangat. "Kiano emang nasionalis banget, ya. Aku sampai ingat kalimatnya setiap ngomongin organisasi lambe itu. Ekhem." Prima berdeham singkat. "Mulai besok, bergabunglah dengan PIPIS, Pasukan Intelijen Persatas Imut Selalu, organisasi rahasia yang tidak tercantum di data Persatas. Ikatan kekeluargaan kami sangatlah kuat, direalisasikan dalam panggilan 'Bro', juga berbagi hot news setiap pagi. Nanti, biar kutemani kau mendaftar pada Bro Ken, presiden kami."
Demi mendengar suara Prima yang meniru gaya bicara Kiano dengan totalitas, stan bazar bertema astronomi itu dipenuhi gelak tawa seketika. Kelihatannya asyik sekali! Asa pun datang menghampiri, menerobos masuk di antara percakapan. "Kiano sama Kak Ken dari XII MIPA-5 itu, ya? Teman sekelasnya Kak Raya?"
Seolah ada yang baru saja menekan tombol pause, suasana sekitar stan mendadak saja berubah drastis. Tak ada lagi gelak riang. Senyuman-senyuman layu seketika. Mereka langsung sibuk sendiri-sendiri. Menyadari perubahan atmosfer itu, Asa bergeming di posisinya. Untunglah masih ada Ola yang tersenyum kaku ke arahnya, lantas menanggapi Asa agar situasi jadi terasa lebih baik. "Iya, Sa. Yang itu."
Selagi Asa berdiam diri di stan, tak ada satu pun yang kembali angkat suara. Mereka malah asyik dengan dunianya sendiri. Kedatangan Asa hanya membuat segalanya terasa asing. Tak lama, muncullah Alfis yang baru sempat ke Kedai Universe setelah band-nya beristirahat lima belas menit.
Kedua sudut bibir Asa tertekuk ke bawah. Kenapa dirinya seolah jadi musuh setiap anak kelas, sih? Padahal, kan, tinggal bercanda-tawa seperti biasa saja! Kenapa harus terhenti karena ada Asa? "Terusin, dong, ceritanya. Aku ganggu, ya?"
"Emang iya." Malah Alfis yang menjawab. Anak laki-laki itu meneguk botol air putih yang dibelinya dari kantin. "Enggak sadar, ya, kamu? Kamu itu kurang menguasai ilmu dalam menjaring persahabatan."
Ke sana lagi? Padahal Alfis baik sekali, semalam. Ketika ke sekolah lagi, image Alfis yang jinak kemarin jadi hilang begitu saja. Sekali menyebalkan, memang tetap menyebalkan! Asa mengernyitkan kening tidak suka. "Apa, sih? Aku juga punya sahabat, kok. Ya, kan, Ola?"
Di saat Asa berusaha mencari pembelaan dari temannya itu, Alfis mendengkus singkat. "Selama ini, Ola itu cuma terlalu baik, enggak enak sama kamu. Makanya mau-mau aja bareng kamu."
Sejenak, Asa tenggelam dalam dunianya sendiri. Anak perempuan itu bahkan sampai tak mendengar pengumuman dari Bu Enden yang mengambil alih mikrofon di panggung. "Anak-anakku semua, pada pagi yang cerah ini, Ibu akan mengumumkan hasil peraihan nilai dan peringkat UTS kemarin."
Oh, benar. Persatas memang selalu melaporkan perkembangan siswa walau hanya penilaian tengah semester. Asa mengepalkan tangannya kuat-kuat. "Diam, deh. Atau nanti dibikin diam sama hasil nilai UTS aku yang lebih tinggi!"
Sayangnya, kalimat Asa malah menyerang dirinya sendiri. Bu Enden mengumumkan peraihan peringkat di setiap angkatan. Alfis dan agen MS lainnya jelas sekali menguasai empat besar. Sementara Asa ....
Di luar tiga besar, peraihan peringkat siswa lainnya tidak disebutkan. Karena itulah, Asa perlu mengecek file yang dikirimkan Pak Prana mengenai hasil UTS mereka. Jiwa Asa seolah tersirap seutuhnya ketika mendapati dua digit di kolom peringkat sebelah namanya.
Tak lagi soal bait-bait asa yang terkandung dalam namanya, kini Asa benar-benar merasakan dunianya perlahan runtuh dan berakhir sebagai tak lebih dari selaksa asa tak terlaksana.
[ π β ¢ ]
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top