28. Teman Pengembaraan
Purnama menyiram rumah kecil itu dengan sinarnya yang paripurna, menciptakan bayangan sempurna dari kedua anak manusia yang tengah menghubungkan garis-garis gemintang dalam diam. Keduanya sama-sama terhanyut dalam semesta masing-masing hingga mengabaikan detik-detik yang menitik, maupun bundar rembulan yang kian meninggi di atas sana.
Iya. Keduanya adalah insan yang tak pernah bisa selaras. Jika Asa adalah utara, maka Alfis selatan-nya. Jika Asa adalah white hole, maka Alfis-lah black hole-nya. Selalu saja begitu. Kontradiksi, antitesis. Asa dan Alfis bagai dua garis berlanggaran yang selalu berseberangan jalan. Tidak pernah ada persimpangan yang bisa mempertemukan keduanya untuk saling beriringan.
Akan tetapi, di bawah naungan gemintang dengan berjuta kedip kisahnya, kali ini, Asa dan Alfis duduk bersisian. Pelita dan gulita itu berdampingan dalam spektrum warna yang sama. Bagaikan warna hitam dan putih yang hanya dipisahkan oleh sekat transparan hingga keduanya tak mempengaruhi satu sama lain. Atau bagaikan siang-malam yang berjalan sama-sama, beriringan, tanpa mengalahkan salah satunya untuk berkuasa.
Tak ada lagi yang bicara tentang persaingan, perdebatan, atau adu nilai semata. Suara kehidupan mereka seolah diredam malam ini. Tidak ada yang mau mengungkit permasalahan soal kecurangan siswa dalam ulangan, maupun saling berargumen untuk menentukan siapa yang lebih baik. Jika Venus dan Uranus memiliki gerak retrograde yang berlawanan dengan objek lain di sistem tata surya kita, maka perdamaian antara Asa dan Alfis ini merupakan gerak berlawanan dalam peredaran kehidupan keduanya yang biasa.
"Bintang yang tak terang ...." Kalimat lirih Alfis diiringi helaan napasnya. Udara menusuk di malam hari itu memasok paru-parunya, menghadirkan sepenggal kebebasan untuk meneruskan perkataan. "Iya. Itu aku, apalagi kalau dibandingkan sama Kak Naya. Magnitudoku jauh lebih besar, lebih redup. Tapi kamu tahu, kenapa aku enggak pernah merasa kesepian di antara langit kelam?"
Senyap sejenak. Angin malam yang menerobos lewat celah-celah jendela memainkan rambut panjang Asa yang terurai, senada dengan partitur musik yang diembuskan udara. Manik cokelat terang itu tak kunjung melepaskan cengkeramannya pada salah satu bintang yang tampak bersinar paling terang di atas sana. Asa tak membiarkan dirinya berkelana begitu jauh dalam pikiran. Ada jawaban yang tak kunjung ia dapatkan. "Kenapa?"
"Menurutmu ... apakah bintang-bintang itu merasa kesepian?" Alfis mendongakkan kepala, dengan kedua tangan yang menopang badan di kedua sisi tubuhnya. Tak lagi menunggu Asa menyahut, Alfis sudah lebih dulu menimpali, "Aku tidak. Aku ditemani oleh bintang lainnya di rasi bintang yang kutempati, aku juga berteman dengan benda langit lain, seperti planet, komet, asteroid ... walau terentang ribuan tahun cahaya, aku tetap tidak sendiri. Dan mereka itulah yang kubilang sahabat, anak-anak MaFiKiBi Society."
Tunggu ... Asa mengerjap lambat-lambat. Kenapa pembicaraannya jadi ke arah sana? Teman dan kesepian, dua hal yang entah kenapa terdengar cukup sensitif di telinga Asa. Karena label dari orang-orang—sebenarnya Prima saja yang bilang—bahwa dirinya benar-benar sendirian? Atau malah Asa sendiri yang terus menyangkal bahwa dirinya tak pernah membutuhkan seorang teman?
Asa mendengkus. Meski begitu, ia baru terpikirkan sebuah pertanyaan yang tak pernah ia suarakan pada anak laki-laki di hadapannya. Asa memiringkan kepala, menimang-nimang kosa kata yang akan digunakannya. "Uhm, Fis ... kamu ikut KSN juga, kan, ya, tahun lalu? Waktu itu, kamu masih di fisika. Kenapa malah mengundurkan diri dari delegasi Persatas, sih? Jadi digantikan anak lain."
"Waktu itu ... aku lagi di titik nadir, fase terendah dalam hidup. Papa terus menuntut aku ini-itu, hubunganku dengan Kak Nay pun hancur karena aku selalu melihat dinding tinggi itu. Aku kabur-kaburan. Bahkan memutuskan menyerah pada Mat, Bintang, dan Kiano, yang selama ini selalu mau mendengarkan. Aku berpaling dari sahabat yang sudah kuanggap rumah. Kacau, deh, pokoknya."
Alfis mengangkat bahu, tak lagi peduli walau serentetan kalimat yang diucapkannya itu terdengar sangat tidak keren. Biarlah anak perempuan yang tak lain adalah rival abadinya itu tahu sisi tergelap dalam hidupnya. Sudah telanjur, 'kan? Apa mesti dibuat? Keluarkan saja sekalian.
"Saat itu, aku udah kehilangan minat buat melangit, Asa. Jutaan kerlip gemintang di atas sana tak lagi membuatku tertarik. Aku cuma mau tenggelam di pijakan, membumi dengan sendirinya, lantas berhenti mempertanyakan mimpi-mimpi yang hanya jadi pajangan di kehidupan. Genggaman semu. Aku hilang arah. Dan merekalah yang menjadi Ursa Major, penunjuk arah agar aku bisa kembali. Mereka alasanku untuk bangkit dan melangit."
"Iya, keren," komentar Asa, pada akhirnya. Anak perempuan itu memeluk lututnya sendiri, lantas membenamkan sebagian besar wajahnya di sana. "Persahabatan kalian memang asyik."
Menyadari bahwa Asa malah menangkap hal lain dari kalimatnya, lekas-lekas Alfis berdeham. "Enggak gitu. Aku cuma mau ngasih tahu kamu. Aku yang dari SD berteman dengan Kiano dan dilanjut sama era MaFiKiBi Society sejak SMP aja, kenyataannya aku masih sulit menguatkan pijakan. Aku yang punya mereka aja sempat jatuh dan tenggelam, gimana kamu yang sendiri? Gimana rasanya? Jatuh dan bangkit seorang diri ... kamu pasti sekuat itu sampai bisa ada di titik ini tanpa langkah kaki yang mengiringi."
Kalimat itu tak bersambut. Binatang malam mulai ramai menggelar konsernya di antara semak dan pepohonan. Tidak ada lagi dialog yang tersisa hingga lima menit berlalu. Getaran yang merambat di saku celana Alfis sukses mengisi keheningan itu. Alfis mengecek notifikasi panggilan masuk di ponselnya. Demi mendapati nama yang tertera di sana, Alfis mengangkat sudut bibirnya dengan tipis, lantas menggeser tombol hijau.
"Di mana, Fis? Masih latihan band? Sudah malam, lho!"
Alfis menipiskan bibir, menahan senyumannya agar tidak terlalu lebar. Iya! Belakangan ini, Alfis suka sekali jika mendengar ocehan Kak Naya. Semenjak keduanya berbaikan tahun lalu, Naya jadi lebih cerewet dari biasanya. Dan Alfis menyukai itu. "Enggak, Kak. Aku di rumah teman. Sekarang pulang."
"Eeey, mampir ke Kedai DoDi, enggak? Mi ayam pangsit enaklah, ya, malam-malam gini." Di seberang sana, puas sekali Naya menertawakan dirinya sendiri.
"Iya, iya. Nanti aku mampir. Semoga belum tutup."
Panggilan diakhiri. Begitu pula kunjungan tak terencana ini.
"Eh, Nak Alfis mau pulang sekarang?" Begitulah seruan heboh Ibu dari arah dapur ketika mendengar langkah kaki yang terdengar keluar dari rumah. Lekas-lekas wanita menjelang usia kepala empat itu menghentikan kegiatannya dan menghampiri Alfis di halaman.
Setelah mengikat tali sepatunya, Alfis bangkit berdiri dan mencium punggung tangan Ibu. "Makasih buat makan malamnya, Bu. Enak banget." Sehabis itu, yang ada hanyalah ungkapan-ungkapan terima kasih juga salam perpisahan. Sepeda motor Alfis dinyalakan. Saka yang baru menyelesaikan PR-nya pun langsung berlari ke halaman.
"Kakak temannya Kak Asa! Kak ... Rafi? Kak Radis? Eh, siapa tadi? Kak ... Kak Anu!" Langkah kaki kecil itu terhenti di teras rumah. "Kapan-kapan, cerita lagi soal pembentukan alam semesta, ya! Atau dunia astronomi lainnya!"
Demi mendengar permintaan itu, Asa memelototi adiknya dengan kedua tangan yang terlipat galak di depan dada. "Apa? Kan kamu biasa dengar Kakak yang ceritakan. Kalau cuma astronomi, sih, enggak harus sama Badak Galak! Sama Kakak juga bisa."
Idih. Cemburu. Dengan tampang muak yang seolah hendak muntah saat itu juga, Saka akhirnya kembali menambahkan, "Sama gitar, Kak! Aku pengin bisa belajar gitar!"
Di sampingnya, Ibu bersungut-sungut. "Udah, Saka. Nanti Kak Alfis-nya enggak berangkat-berangkat gara-gara kamu berisik terus! Heran, deh. Anak cowok kok cerewet, kayak kakaknya."
Terdengar gumaman tak terima dari kedua kakak-beradik itu. Alfis yang dibicarakan hanya tersenyum tipis saja. Ia mengangguk, bermaksud mengundurkan diri. Lambaian tangan Saka mengantar deru sepeda motor Alfis yang membelah jalanan, menembus sunyi dan dinginnya udara malam. Lampu sepeda motor menyoroti sekitar, mengusir gelap yang memerangkap. Meski begitu, kepala Alfis sulit sekali disuruh tenang.
Hubungan Alfis dengan papanya sudah lebih baik dari sebelumnya. Razfy memang masih mengingatkan Alfis untuk terus belajar di rumah, tetapi tak ada lagi kekerasan atau bentakan yang mengakibat perpecahan di sana. Selama satu tahun ini, Alfis, Naya, dan Razfy, sama-sama berubah sebisa mungkin. Karena itulah tak pernah ada lagi peperangan di rumah, paling hanya satu-dua perdebatan yang akan diakhiri dengan helaan napas, lantas semuanya kembali seperti biasa seiring berjalannya waktu.
Akan tetapi, kehangatan itu belum juga hadir di rumahnya. Mungkin karena ketidakhadiran kepingan penting dalam keluarga; seorang ibu. Sepertinya, kekosongan itulah yang membuat rumah Alfis tak akan pernah bisa mencapai kata utuh. Meski begitu, rapuh bukan berarti lumpuh sepenuhnya. Alfis hanya perlu melindungi kepingan yang tersisa. Seulas senyuman merekah indah di kedua sudut bibirnya.
Setelah membelikan tiga porsi mi ayam pangsit, tujuan langkah kaki Alfis adalah rumah. Semoga saja pulangnya kali ini adalah pulang yang sesungguhnya. Semoga saja.
[ π β ¢ ]
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top