25. Memori dari Bahari
Sungguh. Asa merasa dirinya sedang menunggu Alfis bagai orang tolol di sini. Pada akhirnya, Asa tak berkata apa-apa ketika Alfis bergerak menjauh, lantas menghilang ditelan jarak pandang yang terbatas. Anak perempuan itu menutupi kedua matanya seraya menahan erangan sebal beserta serentetan umpatan. Kenapa juga ia malah menurut begitu saja? Suatu pembodohan diri!
Di saat Asa masih sibuk dengan berbagai penyesalan dan suatu proses mempertanyakan keputusan hidup, Alfis kembali dengan sekotak kecil tisu di tangannya. Laki-laki itu menyerahkan tisu yang baru dibelinya dari Kantin Bi Ita pada Asa. Anak perempuan itu malah mengerjap dalam diam seribu bahasa.
Alfis berdecak, entah untuk ke berapa kalinya kali ini. "Lain kali, jangan lap pakai seragam. Sediakan tisu yang lebih higienis. Kalau dilap sembarangan, banyak virus dan bakteri yang bisa menyusup masuk. Nilai biologi kamu lebih baik dari aku, 'kan? Masa gitu aja enggak tahu."
Eh, eh ... tunggu sebentar. Apakah Asa baru saja diomeli? Kedua manik cokelat terang Asa memicing, mulai merasakan kembali bau persaingan yang begitu pekat. Tangan Alfis menggantung di udara. Sebal karena tak kunjung diterima maupun ditanggapi dengan respons lainnya, Alfis yang kesabarannya memang setipis kewarasan Asa itu langsung melemparkan tisu hingga mendarat di rok abu Asa.
"Simpan. Biar enggak susah lagi. Besok-besok mau bagian apa lagi yang berdarah?" Pertanyaan retoris Alfis akhirnya ditanggapi Asa dengan gumaman malas.
Mati-matian Asa menekankan sebuah sugesti dalam pikiran. Lupakan kenyataan bahwa tisu ini dari Badak Galak. Lupakan kenyataan bahwa tisu ini dari Badak Galak. Enggak usah diingat, anggap aja angin sore yang kasih ....
Pemikiran itu cukup efektif untuk membuat Asa tergerak mengeluarkan selembar tisu, lantas digunakannya untuk membersihkan sisa darah di sekitar hidung, juga di telunjuk dan bagian tangan lainnya. Tiga lembar tisu sudah berwarna merah saat ini. Asa membuangnya ke tempat sampah yang berjarak tidak begitu jauh dari posisi duduknya, sehingga ia hanya perlu meremas tisu jadi bola dan melemparkannya bagai anggota basket yang andal.
Ah, basket ... Asa jadi teringat Nabil. Besok anak itu akan ikut berkompetisi sebagai perwakilan kelas, ya? Asa menghela napas panjang.
"Ngapain lagi? Udah, 'kan? Ayo, pulang."
Lagi, Asa malah tidak menjawab. Idih, jelas sajalah! Siapa Alfis, sampai tumben sekali mengajak Asa pulang begitu? Asa bergidik ngeri. Apa jangan-jangan, Alfis sudah kerasukan mbak-mbak penunggu koridor dekat toilet putra tadi? Karena itulah tingkahnya jadi ngawur begini?
Alfis melotot, langsung menyadari seluruh pikiran Asa yang tidak-tidak, hanya dengan mendapati reaksi anak perempuan itu. "Aku udah baik, lho. Angkot pasti ngetem, 'kan? Apalagi udah sore. Enggak apa, sih, kalau kamu enggak masalah meski jam belajarnya terpotong."
Oh, oke. Alfis serius. Lekas-lekas Asa menggelengkan kepala untuk menyadarkan diri. "Enggak sama Bintang? Enggak mungkin dia nunggu Mat sampai pulang, 'kan? Bisa jadi Mat tidur di sekolah sama anak OSIS lainnya yang cowok."
"Iya. Bintang udah pulang duluan sama Kiano. Aku, kan, latihan sama Hexatas Voice dulu, makanya baru pulang sekarang." Setelah menghela napas panjang, akhirnya Alfis bisa membalas perkataan Asa dengan emosi yang lebih terkendali. Aih. Menghadapi Bebek Jelek di depannya ini memang perlu banyak sekali stok kesabaran. "Ayo atau aku tinggal."
Kepala Asa masih memikirkan banyak hal, mengorelasikan kenyataan satu dengan yang lain. Tampangnya masih berkerut tak percaya. Meski begitu, Asa mengikuti langkah Alfis di belakang dengan kaki yang masih sedikit pincang. Sesampainya di tempat parkir, Asa memperhatikan saja ketika Alfis mengenakan helm full-face miliknya, lantas menyalakan sepeda motor.
Suara deru mesin malah membuat Asa tambah tenggelam dalam dunianya sendiri. Sistem kehidupan Asa seperti sedang tidak bisa diakses sore ini, sulit sekali dijangkau, membuat Alfis berkali-kali memanggil namanya. "Asa!"
Anak perempuan itu mengerjap. "Hah? Pulang? Bareng?"
"Enggak. Pulang masing-masing, cuma sekalian naik motor yang sama. Paham?"
Tak peduli dengan timpalan Alfis yang tidak keren itu, Asa masih bergeming di posisinya. "Emangnya kamu tahu rumahku? Ke mana aku harus pulang?"
"Kan bisa dikasih tahu!" Alfis mengeraskan deru mesin sepeda motornya dengan dongkol setengah mati. "Tinggal naik aja ribet banget, sih. Nih, sekalian pegangin gitarku."
Diamuk begitu membuat Asa ikut jengkel. Anak perempuan itu naik di jok belakang, lantas menerima sodoran tas gitar Alfis yang cukup berat. Badak Galak itu benar-benar tidak pernah mengenal kata sabar, ya? Biarkan Asa memproses segalanya! Dia belum pernah diantar teman ke rumah, tahu! Heran. Asa mau terharu sejenak saja tidak bisa! Asa menampar helm Alfis seketika. "Aku lagi menikmati sensasi diajak teman pulang bareng, tahu!"
"Makanya jangan nolep! Jadinya pulang-pergi sendiri terus, 'kan?" Alfis bersiap melajukan sepeda motornya. "Dan lagi, sejak kapan kita berteman?"
Sialan. Kalau saja Asa tak memikirkan nasibnya nanti yang bisa berakhir di sel tahanan karena percobaan pembunuhan, ia tidak akan segan untuk menggulingkan Alfis dari sepeda motor sekarang juga. Badak Galak kurang ajar!
[ π β ¢ ]
"Badak Galak! Beloknya salah, tahu!" Rem dadakan itu membuat ban sepeda motor berdecit hingga terdengar ngilu. Asa yang sudah geram tak tertahankan kini mendorong-dorong bahu Alfis, menyalahkan lelaki itu dengan totalitas. "Gimana, sih, ah? Yang benar, dong! Beloknya di sana, di gapura yang merah-putih itu!"
"Kamu ngasih tahunya telat!" Alfis ikut bersungut-sungut, tak terima disalahkan begitu saja.
Asa bergumam sebal. "Enggak, ya! Kamu yang pakai motornya kayak kesetanan! Santai dikit bisa, enggak, sih? Kalau enggak niat ngantar, enggak usah sok dari awal, mending!"
"Aku? Kesetanan? Kamu setannya!"
"Badak Galak!"
"Bebek Jelek!"
Perseteruan yang dibarengi umpatan dengan volume kencang untung meningkahi suara angin membuat banyak pengguna jalan memandangi mereka dengan kening mengernyit. Apa katanya, barusan? Ada perkelahian antara badak dan bebek? Aih. Manusia-manusia zaman sekarang tambah tergerus saja adabnya.
Sepeda motor itu akhirnya berbelok ke jalan yang tepat. Keduanya langsung ditelan gang yang tidak begitu besar. Alfis sedikit memelankan laju kendaraannya agar tidak menabrak ayam yang mendadak melintas, atau anak-anak yang menyeberangi jalan dengan tali layangan di tangan. Tak sampai lima menit sejak masuk gang, Asa sudah menunjuk sebuah rumah di dekat bentangan sawah.
Alfis menghentikan sepeda motornya di depan rumah yang ditunjuk Asa. Anak perempuan itu turun lebih dulu, lantas mengucapkan salam dengan semangat. Sembari menunggu datangnya seseorang yang menjawab salam dari dalam rumah, Asa menyerahkan kembali tas gitar Alfis pada pemilik aslinya. "Makasih dikit, ya, Badak Galak."
"Makasih banyak," koreksinya. Anak laki-laki itu mengedarkan pandangan ke sekeliling. Penampakan kawasan di sekitar sini jauh berbeda sekali dengan daerah tempat tinggalnya. Rumah-rumah berdempetan, menyisakan jalanan yang tidak begitu besar. Belum lagi kebanyakan lahan memang berupa sawah, selokan, dan kolam ikan.
Belum sempat Alfis memundurkan sepeda motornya untuk bersiap kembali melanjutkan perjalanan menuju rumahnya sendiri, muncullah seorang wanita menjelang usia kepala empat dari rumah bercat krem yang mulai mengelupas itu. "Asa? Eh ... sama siapa ini?"
"Alfis, Bu. Teman ... teman sekelasnya Asa." Sigap, Alfis turun dari sepeda motornya dan menyalami tangan wanita itu.
Untuk sejenak, Asa susah payah menahan gelaknya. "Teman? Sejak kapan?" Yeay, skornya sudah satu sama! Kalimat Alfis di parkiran sekolah tadi jadi berbalik untuk menyerang dirinya sendiri.
"Wah ... ke sini dulu, Nak. Sudah mau malam. Jangan dulu pulang."
Dengan kikuk, Alfis tersenyum tipis. Aduh, bagaimana ini? Lelaki itu berpikir keras sampai tak memedulikan Bebek Jelek yang tengah menertawakannya karena jarang sekali mendapati Alfis yang ragu-ragu menjawab seperti ini. "Anu ... mungkin aku langsung pu ...."
"Kak Asa!"
Belum sempat Alfis menuntaskan kalimatnya, atensi ketiga orang di halaman rumah yang sempit itu langsung teralihkan pada sosok lelaki kecil yang berlarian ke arah Asa. Itu Saka, adik Asa yang baru saja pulang bermain layangan bersama temannya, dengan sekujur badan penuh keringat dan bau masam sisa mengejar layangan putus.
"Malam ini, Kak Asa mau jelasin soal pembentukan alam semesta, enggak? Dari kemarin, kan, aku kepo berat!"
Dialog riang antara kakak beradik itu berlangsung seru. Ibu sampai tampak kewalahan, ingin meminta Asa dan Saka untuk sedikit memelankan suaranya, mengingat mereka sedang kedatangan tamu tak dikenal saat ini. Hanya saja, Ibu urung memarahi kedua anaknya ketika mendapati bahwa Alfis tidak keberatan dengan itu.
Iya. Alfis membisu seketika. Bukan karena terkesima mendapati adik saingannya juga tertarik pada hal-hal berbau astronomi, melainkan karena figur lelaki berbadan ringkih itu mengingatkan Alfis pada dirinya sendiri sewaktu kecil. Tanpa bisa dihentikan, kepala Alfis langsung terisi penuh oleh jutaan fragmen kisah yang tak pernah menemui batas kesudahan dari kehidupan masa lalu.
[ π β ¢ ]
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top