24. Suara Sang Adikara
Nabil, anak laki-laki itu tampak santai sekali mendekati Asa, seolah tidak ada apa pun yang terjadi sebelumnya. Tanpa tampang rasa bersalah, Nabil memungut bola basket yang hendak menggelinding, lantas kembali memantul-mantulkannya ke lantai koridor yang sepi.
Di hadapannya, Asa seakan tertelan bulat-bulat oleh dunia lain tak dikenal. Jiwa Asa seperti sedang tidak ada di tempatnya berpijak saat ini. Semesta kehidupan Asa terjeda. Di antara kaki cedera dan kepala pening yang dihantam bola basket, Asa kehilangan kata-katanya.
Beberapa detik kemudian, Nabil balas menatap Asa dengan muka terkejut yang dibuat-buat. Anak laki-laki itu berakting panik begitu mendapati Asa yang terduduk di lantai. "Oh, maaf. Aku lagi latihan basket buat Persatas Day besok, tanding lawan kelas sebelah."
Kosong. Tidak ada yang dirasakan Asa selain kekosongan. Karena itulah ia hanya bisa menatap Nabil tanpa ekspresi, meskipun penjuru hatinya sudah berteriak agar lelaki itu bisa segera enyah dari kehidupan. Asa muak, tetapi ia juga sudah terlalu lemas untuk menjalani sisa hari ini ....
"Sakit?" Nabil berjongkok di depan Asa. Kalimatnya memang terdengar penuh perhatian, tetapi di telinga Asa, jika saja kondisinya lebih baik, sungguh demi apa pun ingin Asa tonjok wajah penyesalan yang tampak mengolok-olok itu. Detik berikutnya, Nabil melotot dengan penuh kepalsuan. "Ya ampun ... hidung kamu berdarah, Sa."
Sesaat, Asa mengerjap cepat, berusaha memproses segalanya. Barulah anak perempuan itu menyadari adanya cairan merah segar yang meluncur dan menciptakan jejak di lantai koridor berkeramik putih. Asa tersadar. Lekas saja ia mengusap bagian bawah lubang hidungnya dengan jari telunjuk.
Benar saja. Cairan berbau anyir itu mewarnai telunjuknya. Asa mengelap sekitar hidung dengan punggung tangan, berusaha menghentikan darah yang terus menetes. Sebagian lengan seragam batiknya yang berwarna putih-biru pun terkena beberapa titik cipratannya. Di tengah Asa yang kerepotan dengan kondisi tubuhnya sendiri, Nabil menarik salah satu sudut bibirnya dalam diam.
"Astaga, Sa ... ceroboh banget. Bentar, ya. Biar aku carikan bantuan." Kepala Nabil sengaja sekali menoleh ke sana kemari, berlagak mencari orang lain.
Akan tetapi, kelokan koridor dekat toilet laki-laki ini memang sepi. Banyak kabar bahwa sekitar sini cukup angker, tempat beredar banyak cerita hantu sekolah. Asa lewat sini hanya untuk memangkas jarak agar tidak perlu mengelilingi lapangan terlebih dulu sebelum ke gerbang. Siapa sangka jika ia malah berurusan dengan Nabil, di sini?
Iya. Walau anak OSIS dan kelas sebelas masih ramai di kawasan sekolah, mereka semua sibuk dengan urusannya di lapangan. Pekerja mendirikan panggung, anak OSIS menyiapkan dekorasi panggung, juga anak kelas sebelas yang sibuk mengeksekusi konsep stan bazar masing-masing. Jika tidak ada yang kebetulan lewat, tidak akan ada yang mengira terjadinya sesuatu di koridor sini.
Sunyi mengisi, hingga akhirnya Nabil kembali angkat suara. "Eh, aku lupa. Kamu kan Asa, ya. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan." Merasa menang, Nabil berdiri seraya mendongakkan kepala dengan congkak. Ia memainkan bola basket di ujung jari telunjuk. Tak dapat ditampik, Nabil memang salah satu anggota inti kebanggaan tim basket Persatas.
Di balik punggung Nabil yang bertingkah sok keren, Asa menunduk dalam. Cairan merah itu masih mengucur, walaupun frekuensinya tidak sederas tadi. Kali ini, Asa biarkan saja darahnya mendarat di rok abu. Kepalanya begitu bising, sampai terasa nyaris pecah karena luapan tak kasat mata.
Nabil merenggangkan otot lehernya. Anak laki-laki itu berhenti memainkan bola dan mengapitnya di ketiak. Sebelum benar-benar melengos pergi, Nabil berkata dengan nada menusuk, "Kamu emang enggak bergantung sama orang, 'kan?"
Asa tertegun lama. Enggak bergantung, ya? Bukankah memang seharusnya seperti itu? Tidak boleh ketergantungan pada orang lain ... kenapa kalimat Asa malah terasa berbelok untuk menyerang dirinya sendiri? Tidak, tidak.
Tindakan Nabil sebelum Asa pulang sekolah ini ... apakah laki-laki itu sungguh sengaja? Hanya untuk membalaskan efek samping dari 'hilang'-nya dalam kehidupan Asa, sebagai serangan terakhir, untuk mematahkan prinsip Asa yang memang tidak suka bergantung pada orang lain? Kenapa Nabil sampai sejauh itu? Untuk membuat Asa berubah pikiran, menelan ludahnya sendiri, dan memohon-mohon agar mendapat bantuan?
Kenapa, sih? Apa yang salah dari prinsipnya? Nabil berubah hingga nekat begini semenjak mendapat penolakan Asa terhadap bantuan Nabil di UKS. Ya ... anak laki-laki itu memang berlebihan, 'kan? Sampai membelikan makanan segala ... Asa, kan, tidak minta! Asa tak peduli dengan hal-hal yang tidak diinginkannya. Untuk apa, deh, Nabil mengorbankan jam pelajaran pertamanya dengan menunggui Asa? Untuk memberitahunya bahwa Nabil-lah yang peduli pada kondisinya? Astaga ... kenapa laki-laki selalu ingin merasa diandalkan, sih?
Sungguh, Asa tak pernah meminta! Ia selalu mengabaikan siapa pun yang hendak menyukainya. Itu hak setiap orang. Akan tetapi, kalau sudah terlalu ikut campur dan berlagak layaknya orang paling peduli, maka Asa tidak akan pernah segan-segan untuk bertindak. Hasilnya, Nabil langsung menghilang dan berbalik menyerangnya sore ini. Bukankah benar begitu adanya?
Senyap. Tersisalah Asa seorang diri di kelok koridor. Anak perempuan itu memijat pelipisnya sendiri yang terasa berdenyut nyeri. Kedua keningnya mengernyit, memikirkan banyak hal. Belakangan ini, beban di pundaknya terasa makin berat saja. Padahal, nilai dan kehidupan ambis-nya aman-aman saja. Namun, benaknya malah disibukkan oleh hal-hal tidak penting seperti tindakan Prima dan Nabil. Duh. Kenapa ia harus mengurusi sesuatu yang tidak mempengaruhi nilai rapornya, sih?
Asa tidak bisa berlama-lama di sini. Ia harus lekas pulang dan beristirahat sebelum kerja ekstra di Persatas Day-1 esok hari. Persis ketika Asa sedang mengedarkan pandangan ke sekitar, mencari sesuatu di dekatnya yang bisa dijadikan pegangan, atensi Asa malah teralihkan oleh percakapan beberapa orang yang terdengar mendekat.
"Oke, aman. Besok bisa bawain lagu yang biasa aja dulu. Untuk pentas seni, kayaknya latihan kemarin-kemarin juga cukup. Menurutku, bisalah. Clear." Setelah menuruni anak tangga dan berbelok ke dekat UKS, ketiga anak laki-laki itu mematung sejenak begitu mendapati Asa yang terduduk beberapa meter jauhnya dari sana. Salah satu dari mereka yang mengenakan kacamata berlensa tebal itu langsung sadar lebih dahulu. "Kalian duluan aja. Aku mau ke toilet."
Demi melihat siapa yang tengah berjalan ke arahnya dengan kedua tangan terbenam di saku celana abu, lekas saja Asa memalingkan muka sejauh mungkin. Astaga ... kenapa pula semesta mengirimkan Badak Galak itu dalam timing yang kurang tepat? Selalu saja di situasi begini! Tidakkah ada scene lain yang lebih baik lagi untuk bersisian dengan Alfis? Asa sibuk sekali mengamati tong sampah di belakangnya, pura-pura tak melihat anak lelaki itu.
Langkah kaki Alfis terhenti, persis tinggal satu langkah dari sosok Asa yang posisinya sudah seperti siswa ngesot penunggu koridor dekat toilet laki-laki milik sekolah. Sudut mata hitam legamnya langsung tertarik oleh cairan merah segar di lantai juga seragam Asa. Bocah di hadapannya ini main apa lagi, sih? Ada saja celakanya.
Oh, lihat. Asa pasti mengelap hidung—sumber pendaharannya—dengan lengan seragam. Sangat tidak higenis. Yah ... apa lagi yang diharapkan dari Asa? Seorang Asa jelas tidak mungkin membawa barang semacam tisu di tasnya, 'kan? Ranselnya pasti sudah telanjur berat oleh banyak buku paket. Pantas saja ia tak kunjung bertumbuh tinggi. Alfis berdecak malas. Apakah ia terkena getahnya? Ia mesti bertanggung jawab untuk membantu anak dungu di hadapannya ini?
Tahu begitu, seharusnya Alfis pulang dengan menuruni anak tangga dekat Ruang Inspirasi saja. Tak perlu ia mengikuti kedua teman band-nya di Hexatas Voice yang malah mengajak berbincang-bincang soal persiapan mereka untuk Persatas Day. Urusannya jadi tambah panjang, 'kan? Alfis memperbaiki posisi tas gitar yang menggantung di salah satu pundaknya. "Tunggu."
Satu patah kata yang keluar dari Badak Galak itu membuat Asa melotot sejenak. Heh? Barusan itu ditujukan padanya? Asa langsung mengangkat kepala untuk mendapati Alfis yang menjauhinya. Jelas saja kedua alis Asa mengerut tak mengerti. Apa yang mesti ia tunggu? "Apanya?"
Decakan yang terdengar menyebalkan itu kembali Asa dengar. Alfis akhirnya berbalik badan. Hanya untuk memperlihatkan raut wajahnya yang tampak begitu terganggu karena Asa sempat-sempatnya berkomentar. Alfis mendengkus singkat. "Jangan ke mana-mana. Tahu maksudnya 'tunggu', enggak?"
Bocah sok! Muka Asa menggembung marah. "Kenapa aku harus nurut? Aku mau pulang." Dengan kondisi yang mulai terasa membaik, Asa bangkit berdiri. Tak lama, tangannya berpegangan pada dinding lorong. Tidak. Tidak ada rasa sakit yang parah, kok. Asa hanya kaget dan masih berusaha beradaptasi dengan pandangannya yang blur sekali ketika berdiri.
Satu detik, dua detik ... objek demi objek yang dilihatnya perlahan bertambah jelas. Asa mengerjap berulang kali. Begitu pandangannya kembali normal, Asa malah mendapati anak laki-laki berkacamata tebal itu menarik pergelangan tangannya, lantas mengarahkan Asa untuk duduk di dinding pendek dekat mulut lorong. Alfis mengunci tatapan Asa dengan sorot mata yang sudah begitu sebal. "Bergantung sama menjalankan peran sebagai makhluk sosial itu hal yang berbeda. Dengar kata-kata aku, enggak, sih?"
[ π β ¢ ]
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top