21. Warna-warna yang Sirna

Tanpa kalimat lebih lanjut lagi, Alfis melengos begitu saja. Anak laki-laki itu berbalik badan dan kembali menaiki anak tangga di kelokan koridor dekat UKS, menuju kelas XI MIPA-1. Asa terdiam mengamati punggung kokoh Alfis yang bergerak menjauh. Badak Galak itu ....

Kedua manik cokelat terang Asa menelusuri buku astronomi di genggaman tangan. Badak Galak yang memperbaiki semua ini? Seorang Badak Galak emosian, yang bermulut sepedas sambal mi ayam Mang Dod itu?

Asa bergidik ngeri. Benaknya jadi membayangkan seberapa banyaknya umpatan yang keluar dari mulut Alfis selagi menempel ulang buku ini, suatu pekerjaan yang butuh kesabaran, suatu pekerjaan yang bukan Alfis sekali.

Nilai prakarya dan seni budaya Alfis memang selalu hancur! Kecuali untuk seni musik, sih. Siapa yang tidak mengenal Alfis Gamyaga, vokalis sekaligus gitaris Hexatas Voice, Harmony of Extraordinary Persatas, band kebanggaan sekolah?

Tunggu. Asa mendengkus singkat. Kepalanya masih sedikit berdenyut nyeri, tetapi kenapa sudut bibirnya ingin sekali tertarik ke atas? Gila. Apakah Asa sesenang itu karena mendapati buku astronominya telah kembali dalam kondisi yang lebih baik dan bisa ia tulisi lagi? Asa mendekap buku bersampul roket itu erat-erat. Kamu bisa baik juga, ya, Badak Galak? Sekali doang, sih.

Bibir tipis yang awalnya pucat pasi itu perlahan-lahan mulai mendapatkan kembali rona merahnya. Tak seperti beberapa menit yang lalu, seulas senyuman kini merekah di wajah Asa. Jam pelajaran pertama sudah mau habis. Asa juga harus cepat-cepat kembali ke kelas, atau ia akan tertinggal materi dan presentasi biologi kelompok lain.

Iya! Asa tidak pernah suka dengan ketertinggalan. Apalagi jika tertinggal oleh Badak Galak itu. Enggak dulu, deh! Kompetisi di antara keduanya masih berlangsung. Apa itu kalah? Asa harus bergegas mengejar langkah Alfis.

Meski ada sisa pusing di kepala, pijakan Asa lebih kokoh dari sebelumnya. Dengan mantap, kakinya menaiki anak tangga seraya berpegangan supaya tidak kembali oleng. Ada masa depan yang mesti ia songsong, bukan sekadar menunggu impian itu untuk datang menghampiri.

Sesampainya di ruang kelas, tampaklah kelompok Alfis yang baru saja membuka presentasi. Teman sekelompoknya, Mat, saat ini sedang mengucapkan pendahuluan.

Asa yang baru masuk kelas langsung menyalami tangan Bu Rika. Wanita menjelang usia empat puluhan itu mengangguk sekilas. Sepertinya Mat sudah mengabarkan Bu Rika mengenai kondisinya yang sempat kehilangan kesadaran ketika dihukum karena terlambat, sehingga Asa tidak ditanya-tanyai lebih lanjut.

Sudut mata Asa menangkap kehadiran Prima yang duduknya hanya terhalangi Iris di samping kiri bangku Asa. Anak perempuan yang sempat berseteru hebat dengannya itu hanya membalas tatapan Asa dengan tajam, lantas mengalihkan pandangan ke arah lain, tampak malas berurusan dengan Asa. Meski begitu, Asa sempat menangkap sorot rasa bersalah di matanya. Hm ... apakah Prima baru saja ditegur siswa lain?

Siswa lain, ya ... aih, terlalu mustahil. Tidak akan ada satu pun yang membela Asa. Sebagaimana kata Prima sehari silam ... Asa memang tidak pernah benar-benar memiliki teman, bukan? Apa yang ia harapkan? Seseorang membelanya?

Pikiran negatif mulai merajai singgasana benak Asa. Sebelum semuanya tambah kronis, lekas-lekas Asa menunduk untuk mengamati buku astronomi yang baru diletakkannya di atas permukaan meja. Tidak bolehkah jika ia menganggap selotip untuk perbaikan buku astronomi ini sebagai salah satu pembelaan dari seseorang yang bukan teman?

Tidak apa. Asa menerima saja jika kenyataannya ia memang tidak memiliki teman. Akan tetapi, buku astronomi yang dipenuhi selotip di sana-sini ini ... bolehkah Asa menganggapnya sebagai suatu bukti fisik bahwa dirinya tidak benar-benar sendirian? Tak memiliki teman bukan berarti diharuskan berteman dengan rasa kesendirian, bukan?

"Jaringan saraf. Jaringan saraf merupakan jaringan yang berfungsi untuk menghantarkan impuls saraf ke pusat saraf maupun ke organ efektor."

Di depan sana, Alfis memulai penjelasannya dengan mantap. Buru-buru Asa menggelengkan kepala, mengusir distraksi yang mengusik konsentrasi. Asa merogoh tas, meraih buku catatan biologi dan diletakkan di atas meja. Demi kenyamanan belajar dan kerapian di atas meja agar tidak sempit ketika mencatat, Asa pun menyimpan buku astronomi yang tidak akan digunakannya pagi ini ke kolong bangku.

Akan tetapi, di bawah sana, telapak tangan Asa malah menabrak sesuatu hingga menimbulkan bunyi. Suara plastik! Apakah ada yang memenuhi kolong mejanya dengan sampah? Jorok sekali! Dahi Asa dihiasi kernyitan tidak suka. Meski begitu, ia akan jauh lebih tidak suka kalau proses belajarnya harus ditemani sampah-sampah yang kotor. Suasana belajar itu harus dibangun sebaik mungkin, tahu!

Ketika tangan Asa terulur untuk mengambil sampah dan membuangnya, pergerakan anak perempuan itu malah terjeda untuk sesaat. Sepertinya makanan di keresek ini masih ada isinya. Bukan hanya sampah. Asa menarik keresek hitam itu untuk diamati lebih jelas di pangkuannya.

Tampaklah dua bungkus roti rasa cokelat dan keju, satu kotak kecil nasi kuning, juga dua bungkus kebab mini yang tampak belum disentuh sama sekali, masih utuh. Setelah mengeduk keseluruhan isinya, Asa pun menemukan secarik kertas yang tampak ditulisi dengan tergesa. Asa membaca isinya dalam hati.

Cukup. Kalau memang sebegitu tinggi tembok yang kau bangun, aku akan menghilang dari kehidupanmu, tanpa perlu lagi paksaan atau penolakan. Semoga kamu masih bisa terus tersenyum. Iya. Senyum kamu manis, tahu, tapi aku sadar kalau itu cuma jadi sukrosa yang enggak seharusnya aku konsumsi berlebihan:)

Tanpa perlu mengetahui ke arah mana kertas itu berbicara, Asa sudah tahu siapa orang di balik semua ini, hanya dengan melihat isi keresek yang ditemukan di kolong bangkunya. Itu keresek yang sama dengan yang diberikan Nabil di UKS, ketika Asa akhirnya cukup berkuasa untuk bangkit dan sadarkan diri. Anak laki-laki itu, ya ....

Ya ampun. Asa sampai lupa kalau dirinya bersama Nabil di UKS tadi, sebelum kembali adu argumen dengan Badak Galak. Apakah Asa semarah itu, sampai tak memperhatikan kapan persisnya Nabil meninggalkannya di koridor UKS? Demi memastikan sesuatu, Asa menoleh ke belakang, lebih tepatnya pada bangku paling belakang di pojokan.

Iya. Ada Nabil di sana. Setelah tatapannya bertabrakan dengan manik cokelat terang Asa untuk sesaat, anak laki-laki itu lekas-lekas memalingkan pandangan. Dengan tangan menopang dagu, Nabil memandangi jendela di sampingnya tanpa ekspresi. Auranya kelam sekali, malah.

Sementara itu, Asa tak mengalihkan pandangan dalam kurun waktu yang cukup lama. Ia menunggu, barangkali Nabil akan balas menatapnya dan mengucapkan satu-dua patah kata. Bagaimanapun, Asa tahu bahwa makanan di kolong bangkunya ini dibeli menggunakan uang lelaki itu. Asa tidak memiliki hak dan izin untuk menyentuhnya.

Keresek penuh makanan ini ... harus aku apakan?

Begitulah pertanyaan yang ingin Asa ajukan dari kejauhan. Akan tetapi, Nabil tak kunjung melihatnya, seolah dirinya benar-benar makhluk gaib yang tidak akan pernah bisa masuk dan berinteraksi langsung dengan kehidupan Asa.

Asa jadi tenggelam pada kejadian-kejadian di kelas sebelas ini. Ketika Asa sudah sekeras mungkin menolak Nabil hingga mempermalukannya, tetapi lelaki itu tak kunjung jera untuk mendekati. Biasanya, Asa menoleh ke belakang kelas untuk melihat sesuatu yang lain saja, Nabil pasti langsung menggunakan kesempatan itu untuk mengedipkan sebelah mata dan sekadar melayangkan flying kiss ke arah Asa.

Nabil tidak pernah berhenti mencampuri kisah hidupnya, walau bagi Asa, semua tentang Nabil tak pernah lebih dari debu dan refraksi atmosfer bumi yang hanya menghalangi proses pengamatan luar angkasa. Tidak penting. Kerjanya hanya berseliweran untuk mencari perhatian Asa.

Akan tetapi, aksinya kali ini, lewat tatapan yang berpaling juga surat di keresek makanan, sepertinya Nabil memang tak lagi bermain-main. Semuanya tak akan lagi sama. Perlahan-lahan, tanpa disadari dirinya sendiri sepenuhnya, rasa bersalah itu mulai merebak di dalam sana. Apakah ia memang sudah terlalu kejam pada Nabil? Apakah tindakannya selama ini ....

TIdak. Buru-buru Asa kembali menghadap ke depan, menyaksikan kelompok Alfis yang sedang mempresentasikan materi jaringan saraf manusia di depan sana. Apa-apaan pikiran Asa yang barusan itu? Seharusnya, Asa senang, dong! Bukankah itu keinginannya sejak lama? Hidupnya akan jauh lebih tenang lagi sehabis ini.

Hilang dari kehidupan Asa, katanya? Ya ... hilang, sih, hilang saja!

[   π    β    ¢   ]

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top