12. Titik Temu Tak Jemu

Bicara tentang strategi baru yang ia rancang, Asa sudah memikirkannya semalaman suntuk. Cara untuk memperbaiki nilai olahraganya ... baiklah. Soal ketangkasan maupun keahlian, sebenarnya tidak ada yang begitu dikeluhkan dari nilai olahraga Asa. Apalagi jika dibandingkan dengan anak perempuan lainnya yang memang rata-ratanya berada di bawah kemampuan kaum lelaki.

Akan tetapi, nilai dan ranking di akhir semester nanti tidak akan membedakan laki-laki dan perempuan, 'kan? Semua itu akan ditentukan menggunakan standar seluruh siswa di angkatannya. Mau tidak mau, Asa tetap harus mengalahkan Alfis. Sekolah tidak akan mengategorikan juara untuk putra dan putrinya. Pilihannya hanya dua: mengalahkan atau dikalahkan.

Jelas saja Asa tidak berniat untuk kalah! Sejak kecil, dirinya selalu memenangkan banyak hal. Memiliki kemampuan membaca lebih dulu dari tetangga seusianya, meraih ranking tiga besar dari kelas satu SD hingga tahun terakhir di SMP-nya, lantas memenangkan berbagai olimpiade dan perlombaan di bidang akademis sedari dulu.

Rekor peringkat tiga besar Asa selama sembilan tahun berturut-turut itu baru terpecahkan ketika ia masuk ke Persatas dan berhadapan dengan anak-anak ambis dari setiap penjuru kota maupun provinsi. Asa kalah jauh oleh anak-anak MaFiKiBi Society. Jangan lupakan Iris juga, meski polos, absurd, dan terbilang pasif selama pembelajaran di kelas, nilai-nilai Iris tidak bisa dianggap remeh.

Namun, bukan berarti Asa kalah begitu saja, 'kan? Baginya, game over sesungguhnya adalah ketika memutuskan berbalik arah dan berhenti meneruskan perjalanan. Bukankah menghadapi lawan yang sudah jauh di depan kita, akan menjadi pemicu sekaligus bahan bakar terbaik agar kita bisa melangkah lebih cepat?

Oke, kembali pada pelajaran olahraga. Ketangkasan dan kecepatan Asa tidak perlu dikhawatirkan. Hanya satu yang selalu menjadi permasalahan Asa: daya tahan, kebugaran, dan kemampuan kardiovaskular. Asa mudah lelah dan terengah ketika lari. Bisa saja ia lari paling cepat, tetapi hanya perlu menunggu waktu saja untuk membuatnya jadi urutan terakhir di antara barisan siswa lainnya.

Tidak boleh ... Asa harus mengubahnya! Mungkin diawali dengan pembiasaan melenturkan otot kaki dan pengolahan frekuensi pernapasannya ketika berlari. Kesimpulannya, Asa perlu membentuk rutinitas berolahraga setiap hari, walau hanya sekadar jalan kaki lima belas menit.

Selama ini, Asa menggunakan angkot untuk transportasi dari rumah ke sekolah. Begitu pula sebaliknya. Untuk mendistribusikan jualan ibunya ke warung-warung tetangga, atau menjualnya dengan berkeliling kampung pada hari libur, biasanya Asa meminjam sepeda ontel milik pamannya. Oh, benar. Asa bisa mulai dari sana! Mulai besok, Asa akan melakukannya dengan berjalan kaki dan sedikit lari-lari kecil.

Selain itu, program tambahan yang akan ia jalankan setiap pekan inilah yang menjadi alasannya untuk bangun sejak pagi-pagi buta di hari Minggu ini. Bahkan binatang malam saja belum berniat kembali ke tempat persembunyiannya, masih sibuk dengan nyanyian pelan yang nyaris ditelan embun pagi.

Akan tetapi, Asa Nabastala, anak perempuan berusia enam belas tahun itu sudah bersiap dengan kaus hitam berbalut jaket abu-abu yang mulai kusam. Asa mengikat rambutnya secara asal.

"Bu, kirim jualan ke warung-warungnya mau kapan?"

Pertanyaan Asa yang tiba-tiba muncul dari balik bilik penyekat dapur dengan ruang tengah itu membuat Ibu sedikit terlonjak dan mengelus dada untuk meredakan keterkejutannya. "Ya ampun, Sa. Jam berapa ini? Kamu sudah menakuti Ibu saja!"

"Lho ...." Asa menghampiri Ibu, lantas hendak mencomot kue donat yang sudah bertabur keju parut, tetapi buru-buru Ibu tampar punggung tangannya. Kebiasaan. Ibu melotot. Kalau dicomoti terus oleh putrinya, bisa-bisa jualan Ibu habis duluan. Asa meringis minta ampun. "Aku, kan, cuma mau bantu Ibu kayak biasa."

Ibu berkacak pinggang. "Tapi kamu enggak pernah ke dapur sepagi ini. Sudah siap pula. Mau ke mana?"

"Lari pagi, Bu!" jawab Asa dengan cengiran lebarnya, tampak bangga. Iyalah! Sebuah kemajuan, bukan? Biasanya, Asa akan membantu Ibu memasak di dapur ketika menjelang pukul lima pagi saja. Itu pun dengan keadaan penuh jigong dan mengupil sembarangan. Tidak wangi dan sudah mandi seperti ini. "Jadi, kirim ke warungnya kapan, Bu?"

"Aduh, Sa. Kayak biasa aja. Jam enam."

Bahu Asa melorot kecewa. "Yah ... jam lima aja, Bu. Aku bantuin sekarang biar cepat selesai, nih. Tapi jam lima nanti, langsung aku bawa ke warung-warung sekalian lari pagi terus nge-bubur, ya! Habisnya mungkin bakalan ke Perpus Manonjaya. Hihi."

Ya sudahlah. Kapan lagi putrinya seniat itu membantu mengantarkan pesanan, 'kan? Tidak mau menyia-nyiakan kesempatan yang ada, Ibu pun mengiakan saja. "Jangan lama-lama di perpusnya, ya. Di rumah enggak ada yang jaga. Sapu-sapu, pel, jangan lupa juga cucian. Saka katanya mau kerja kelompok di rumah temannya. Ibu mau memburuh ke Bunda Wina kayak biasa. Bapak pasti narik angkot, dari jam lima."

Asa mengangguk-angguk saja mendengarnya. Tak perlu waktu lama, ia semangat sekali memindahkan donat yang baru digoreng untuk ditaburi keju maupun meses cokelat, lantas dipindahkan ke dalam wadah kotak besar. Setelah selesai, Asa sigap memotong-motong kol, wortel, dan bawang daun sekecil mungkin untuk diaduk di dalam adonan gorengan. Ibu-lah yang bertugas menggorengnya.

Pukul setengah lima pagi, kesibukan di rumah itu menggeliat. Ayah bangun untuk menyeduh kopi hitam. Saka yang baru terbangun juga langsung membantu memasukkan sayur-mayur dan lauk-pauk lain yang Ibu masak ke dalam plastik dan mengikatnya. Pukul lima pagi, semuanya tuntas. Asa mengenakan sepatu sekolahnya sebelum dicuci sepulangnya nanti.

Eh, sebentar. Pada hari Senin, Asa sudah menawari Ola untuk menemaninya ke perpustakaan, tetapi hari-hari kemarin, Ola tidak masuk sekolah karena sakit. Semalam, Asa juga sudah meminta konfirmasi dari Ola. Asa mengaktifkan ponsel dan mengecek bar notifikasi. Benar saja. Ola sudah membalas pesannya.

Olaviolaolaola

Maaf, ya, Sa. Aku masih kurang sehat hari ini. Kapan-kapan lagi aja aku temenin kamu ke perpusnya ... sekali lagi, maaf ya:(

Ya sudah, deh. Asa memang terbiasa mengerjakan segala sesuatu sendirian, kok. Biasanya jadi jauh lebih efektif dan efisien.

Asa mengangkut bertumpuk-tumpuk kotak berisi gorengan, donat, dan kue basah lainnya untuk dikirim ke warung-warung terdekat. Untuk sayur-mayur dan lauk-pauk, akan dijual dengan berkeliling oleh Saka sebelum berangkat kerja kelompok. Semoga saja bisa laris lebih cepat.

Demi menjadikan setiap detiknya tidak berlalu dengan sia-sia walau hanya sekadar berjalan kaki, Asa memasang earphone yang memperdengarkan penjelasan mengenai kosmologi dan teori-teori proses pembentukan alam semesta. Sepulangnya nanti, di rumah atau perpustakaan, Asa akan merangkumnya ke dalam catatan. Sekarang waktunya mendengar dan memahami.

Dua puluh menit lamanya sudah lebih dari cukup untuk Asa mengantar dagangan ibunya ke warung Ceu Nenih, Ceu Nonoh, Bi Umi, Bu Nani, juga Kang Awan. Tanpa perlu pulang lebih dulu, Asa langsung meneruskan lari paginya ke arah timur, menuju kawasan Manonjaya.

Semuanya berjalan dengan lancar. Selagi mendengarkan teori nebula di telinga, langkah kaki Asa sampai di Pasar Manonjaya yang begitu ramai oleh hilir mudik pedagang, orang yang juga tengah lari pagi, Ibu-ibu dengan keranjang di tangan berseliweran ke sana kemari, juga pekerja serabutan yang menurun-nurunkan berkarung-karung sayuran segar dari mobil pick-up. Segala kesibukan di hadapannya ini terasa menyenangkan bagi Asa.

Anak perempuan itu mematikan sejenak penjelasan materi dari video YouTube yang diunduhnya menggunakan Wi-Fi sekolah kemarin. Ini saat yang tepat untuk mengisi perut setelah lari pagi! Pilihannya terjatuh pada tenda biru Bubur Ayam Mang Iyam yang terletak tak jauh dari posisi berdirinya.

Akan tetapi, tidak perlu tiga detik setelah Asa menyapa Mang Iyam dan memesankan satu mangkuk bubur ayam untuk menyesali pilihannya tersebut.

"Oh, ada Asa!"

"Hai, Sa! Kamu lari pagi juga?"

Begitu mendengar seruan heboh Kiano dan Bintang, lekas saja Asa menoleh untuk mendapati anak-anak MaFiKiBi Society yang tengah asyik menikmati bubur ayam dengan duduk lesehan dan saling menyelonjorkan kaki hingga bertumpuk bagai ikan asin yang tengah dijemur. Asa melotot lebar. Alfis juga di sana. "Kalian?"

"Ya! Kita lagi jalanin program mingguan kita, nih. Namanya MAS JONTOR, singkatan dari MaFiKiBi Society Joging untuk Setor Reparasi. Jadi habis lari pagi, kita makan bubur di sini, terus saling review materi, deh." Kiano mengedip genit. "Mau join?"

Sungguh demi apa pun, Asa ingin menjungkirbalikkan roda bubur ayam Mang Iyam saja rasanya. Kenapa mereka harus bertemu lagi, terutama dengan Badak Galak itu? Asa sedang bersungguh-sungguh untuk mengalahkan nilai olahraga Alfis, lho! Dengan memperbaiki nilai itu, siapa tahu selisih kemampuan di rapot mereka bisa menipis, 'kan?

Akan tetapi, kenapa mereka harus bersinggungan kembali di titik temu yang sama? Semesta memang tak pernah jemu, ya. Bikin hari Minggu jadi kelabu saja!

[   π    β    ¢   ]

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top