07. Genderang Perang

"Misal, nih, ya. Saka dibeliin Kakak tiga bungkus es krim sama dua batang cokelat." Baru saja Asa hendak memulai penjelasannya, mulut Saka sudah menganga lebar. Imajinasi anak laki-laki itu langsung aktif begitu mendengar dua makanan favoritnya yang jarang sekali bisa ia dapatkan selain dari bibinya jika pulang kampung dari Cikarang. Demi mendapatkan atensi Saka kembali, Asa bertepuk tangan satu kali. "Mau, enggak?"

"Iya, iya, mau!" Jelas saja Saka mengangguk berulang kali hingga kepalanya seolah mau copot dari pangkal leher. Siapa yang akan menolak makanan mewah tersebut? Bagi Saka, es krim dan cokelat adalah segalanya! "Terus gimana, Kak? Terus Saka makan?"

"Eit, belum. Dengar dulu. Kakak punya materi matematika bagus, nih. Yang lain baru mempelajari ini di kelas delapan, harusnya. Namanya, metode eliminasi. Materi utamanya dari aljabar, sih, materi kelas tujuh. Tapi enggak apa-apa. Teman sekelasmu enggak akan ada yang tahu!"

Meski menyadari sepenuhnya bahwa es krim dan batang cokelat itu hanya ada di dalam imajinasinya, Saka tetap mengangguk-angguk semangat. Ini yang paling Saka suka dari Asa. Kakak perempuannya itu selalu mengetahui banyak hal. Kira-kira, apa saja yang akan Kak Asa beritahukan padanya, malam ini?

Mendapati adik laki-lakinya yang tampak sudah bersiap menerima ilmu baru, Asa pun berdeham singkat. "Gini, gini. Tiga bungkus es krim sama dua batang cokelat tadi harga totalnya tiga puluh lima ribu. Karena uangnya enggak cukup, akhirnya Kak Asa cuma beli dua bungkus es krim sama satu batang cokelat. Harganya jadi dua puluh ribu. Kira-kira, berapa harga satu bungkus es krimnya?"

"Hah?" Untuk beberapa saat lamanya, Saka menatap kakak perempuannya tanpa berkedip. "Satu bungkus es krimnya ... tanya penjualnya aja."

Dengan polos, Saka malah memamerkan deretan gigi putihnya yang rapi. Asa mendengkus geli. "Enggak bisa gitu. Anggap aja pembelinya lagi kebelet, cepirit, udah lari ke kamar mandi, enggak bisa ditanya lagi. Selain itu, struk belanjaannya udah Kak Asa buang. Gimana cara Saka buat tahu harganya?"

Kali ini, Saka berpikir dengan serius. Tangan kecilnya mengelus-elus dagu, berpose layaknya seorang detektif yang hendak memecahkan kasus rumit. "Berarti tinggal harga totalnya yang dibagi dua bungkus es krim tambah satu batang cokelat, jadi dua puluh ribu dibagi lima ... eh, enggak! Enggak bisa! Es krim sama cokelatnya, kan, beda harga, ya, Kak?"

"Iya, dong." Dengan gemas, Asa mengelus puncak kepala adiknya yang berambut tipis dan halus. Meski terbilang sudah kelas enam, bagi Asa, Saka itu masih kecil. Lagi pula, penelitian membuktikan bahwa masa pubertasnya laki-laki baru tampak ketika masa-masa SMA. Asa jadi tidak bisa membayangkan kalau Saka tumbuh begitu tinggi, nanti. "Dengan mengetahui harga total dan jumlah es krim sama batang cokelat yang dibeli, udah bisa menemukan harga satuannya, lho."

Binar mata cokelat Saka berpendar, penasaran. Anak laki-laki itu mencondongkan tubuhnya ke depan. "Kok bisa, Kak? Gimana caranya? Pakai eliminasi tadi?"

"Iya! Seratus buat Saka!" Semangat sekali, Asa meraih pulpen yang tergeletak di lantai, bekas Saka mengerjakan tugasnya, lantas menciptakan coretan-coretan di buku Saka yang memang khusus untuk menghitung. "Kita pakai variabel, Ka. Anggap aja es krim itu huruf x, dan cokelat itu sebagai y. Es krimnya, kan, ada dua, ya. Jadinya 2x. Kalau cokelatnya ada satu, berarti?"

Walaupun kepalanya masih sibuk memikirkan apa hubungan antara es krim dengan x juga cokelat dengan y, Saka tetap menjawab, "1y, Kak?"

"Betul! Dua es krim dan satu cokelat totalnya dua puluh ribu, 2x + 1y = 20.000. Tinggal kita tulis keterangan yang diketahuinya. Untuk eliminasi ini, kita butuh dua persamaan, Ka. Jadi enggak bisa langsung dikerjain pakai 2x + 1y ini." Asa asyik menggoreskan tinta di permukaan kertas. "Saka masih ingat, enggak? Tadi, tiga es krim dan dua cokelat itu harga totalnya berapa?"

"Tiga puluh lima ribu!"

"Berarti kalau Kak Asa minta Saka bikin lagi persamaan kayak 2x + 1y, tiga es krim sama dua cokelat itu jadi gimana persamaannya?"

Beberapa saat lamanya, jari telunjuk Saka menunjuk-nunjuk angka dan variabel yang Asa tuliskan di atas kertas. Saka berpikir cepat. "Tiga es krim, jadi 3x, dua cokelat jadi 2y, berarti ... 3x + 2y = 35.000!"

"Seratus ribu buat Saka Bumantara!"

Malam itu, rumah kontrakan kecil milik keluarga Asa begitu ramai oleh tepukan tangan dan sorakan riang Saka yang akhirnya mengerti materi eliminasi dari kakak perempuannya. Menyenangkan sekali! Begitulah cara kakak beradik itu untuk menghabiskan akhir pekan. Kalau saja bukan Ibu yang menghentikan, mungkin kesibukan keduanya tidak akan berhenti sampai hari Senin tiba.

"Asa, Saka! Sudah cukup belajarnya. Sudah jam sepuluh malam! Mentang-mentang besok hari Minggu ... kalian tetap masih harus bantu Ibu belanja dan jualan, ya!"

Teriakan Ibu yang masih sibuk di dapur itu lekas diamini Saka yang  berlarian untuk gosok gigi, cuci kaki, lantas memejamkan mata di atas kasur lantainya. Sementara itu, Asa tersenyum geli, lantas menghampiri ibunya yang masih di dapur. Asa mencuci piring kotor di kamar mandi.

Sebelum kembali ke kamar, suara lembut Ibu menahan langkah kaki anak perempuan itu. "Asa, Asa ... kamu enggak capek terus-terusan belajar, ya? Janganlah ajari adikmu itu materi-materi SMP yang tidak akan keluar di UN-nya nanti. Biar dia fokus menikmati pelajaran SD."

Dinasehati begitu malah membuat Asa tak bisa menahan gelak tawanya. "Yah ... enggak apa, dong, Bu. Selangkah lebih maju dari teman sekelasnya. Lagian Saka-nya juga suka."

Tak heran lagi dengan respons anak sulungnya, Ibu pun hanya bisa menggeleng-geleng seraya menahan senyuman kecil. "Ya sudah. Setelah piringnya beres dicuci, kamu langsung tidur, Asa. Jangan begadang terus! Mengerjakan soal astronomi malah bikin kamu tambah melek, nanti."

"Ya ... itu, sih, di luar kendali aku, ya, Bu." Asa nyengir lebar, menatap ibunya yang berdiri di depan bingkai pintu kamar mandi dengan sorot mata yang tampak sudah lelah dan mengantuk. "Ibu saja yang cepat istirahat. Ibu masih harus masak buat jualan, pagi buta nanti, 'kan? Ayo, ayo, nanti kesiangan."

Mendengar kalimat sok Asa yang meniru gaya bicaranya itu membuat Ibu ikut terkekeh singkat. "Kamu ini! Dah, dah, Ibu tidur dulu. Jangan lupa tidur dan matikan lampu kamar mandi."

Jangan lupa tidur? O-ow ... Ibu lupa bahwa akhir pekan adalah pesta belajarnya Asa. Tidur, katanya? Mana bisa! Asa tersenyum girang. Sehabis keluar kamar mandi, diraihnya buku astronomi juga kalkulator saintifik di atas kasur. Akhir pekan itu waktunya PDKT dengan materi dan rumus-rumus, tahu!

[   π    β    ¢   ]

Hari Minggu dengan cepat berlalu. Pekan ini, Asa sudah meminjam buku baru dari perpustakaan dekat Taman Kota Tasikmalaya. Tibalah hari Senin, yang katanya musuh seluruh siswa itu. Asa tak begadang meski hanya untuk mengerjakan latihan soal di setiap malam Senin. Itu adalah salah satu prinsipnya. Dengan tidur cepat, Asa akan memiliki hari Senin yang lebih produktif, dan ia bisa lebih aktif lagi dalam pembelajaran!

Tidak ada hal menarik yang terjadi selama berlangsungnya upacara. Setelah upacara berakhir, ada serah terima jabatan organisator lama ke organisator baru di periode 2021-2022 ini. Asa maju ke depan sebagai Sekretaris OSIS yang baru. Sumpah Organisator digemakan. Begitu juga dengan penyerahan jabatan secara simbolis menggunakan panji dengan logo masing-masing organisasi.

Matahari kian meninggi di atas garis cakeawala. Siswa-siswa mulai menguap dan tak sabaran ingin segera kembali ke kelas masing-masing. Sayangnya, aksi penjemuran massal ini tidak bisa sampai di sana saja. Seluruh murid diperbolehkan duduk di barisannya. Sebelum bubar, Bu Enden lekas-lekas naik ke atas podium dan meraih mikrofon.

"Untuk selanjutnya, yaitu pengumuman siswa-siswi yang terpilih dan lolos seleksi sebagai delegasi SMA Persada Bangsa Tasikmalaya dalam olimpiade sains nasional tahun 2022." Bu Enden menarik napas sejenak, lantas mulai menyebutkan nama-nama untuk perwakilan sekolah di setiap bidangnya.

Asa membulatkan mata. Ini yang ditunggunya sedari dulu! Jantung Asa berdetak berkali-kali lipat lebih cepat. Namun, tak perlu waktu lama untuk Asa mengetahui hasilnya.

"Bidang Kimia, Kiano Aldebaran, Juno Kenandra, dan Danindra Putra. Bidang Biologi, Bintang Rasi, Haifa Asni Dirana, dan Hilmi Dzaki Habibi. Untuk bidang Astronomi, ada Alfis Gamyaga, Iris Larasati, dan Asa Nabastala."

Begitu Bu Enden menyebutkan nama lengkapnya, refleks Asa terlonjak senang. Anak perempuan itu maju ke depan, bergabung dengan delegasi Astronomi lainnya. Oh, perwakilan sekolah di bidang ini hanya terdiri atas kelas sebelas, dan tiga-tiganya dari XI MIPA-1. Lho ... tunggu.

Di tengah-tengah antara Asa dan Iris, berdiri seorang laki-laki bertubuh tinggi dengan kacamata minus yang tebal. Tangannya menggenggam banner berukuran sedang dengan tulisan ASTRONOMI yang dipampang besar-besar. Di depan sana, Bu Enden berseru, "Sekarang bagian delegasi astronomi yang difoto. Ayo! Lihat ke sini!"

Dengan muka cengo yang belum terima dengan situasi di hadapannya, Asa menghadap kamera dan dijepret. Mukanya sangat tidak bisa dikondisikan. Dengan tampang penuh aib sebagaimana hidupnya, Asa memelototi Alfis yang berdiri di sampingnya.

Kenapa dia juga harus lolos, sih?

[   π    β    ¢   ]

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top