04. Badak Galak Menyalak
Sungguh, demi mi ayam pangsit Mang Dod yang sangat legendaris di tanah Persatas ... pernahkah kamu merasa sebegitu inginnya menghantamkan batu bata berbahan logam ke kepala seseorang dengan telak? Itu yang Asa rasakan saat ini. Lihatlah anak laki-laki menyebalkan yang tiada angin tiada petir, tahu-tahu datang menceramahinya begitu saja.
Asa mendengkus kesal. "Apa, sih? Kamu pernah ngaca, enggak, Fis? Tampang kamu sok banget soalnya. Terus, ya ... kalau kamu bilang aku sok, bukannya itu berarti kamu juga sok, sok tahu? Kamu, kan, enggak tahu apa-apa tentang aku."
Pusing dengan banyaknya kata 'sok' yang tengah mereka perbincangkan, Alfis pun menggeleng singkat. "Dengar aku. Kita belajar di kelas begini agar bisa saling menghargai dengan teman. Jangan seenaknya sendiri."
"Aku salah apa? Aku kurang menghargai di sebelah mananya? Aku cuma mau jadi murid yang aktif. Salah?" sewot Asa. Buku di pangkuannya lekas-lekas Asa simpan kembali ke atas meja, menciptakan bunyi yang cukup keras. Ya, kelihatannya, ini tidak akan selesai secepat itu.
"Alfis! Eh, eh, copot. Pssst!" Di bingkai pintu kelas, Kiano yang tadinya teriak-teriak macam ibu-ibu rempong saat menawar harga daster yang sudah diskon, kini anak lelaki itu langsung tersentak dan menurunkan volumenya jadi bisik-bisik saja begitu mendengar hantaman buku Asa pada mejanya yang terdengar sangat mengerikan. "Pssst, Alfis! Kita mau ke kantin!"
Bocah prik. Alfis berdeham singkat. Manik hitam legam di balik kacamata tebalnya menatap Kiano dengan lekat, seolah tengah mengantarkan pesan telepati. Detik berikutnya, Kiano mengangguk-angguk seraya mengacungkan ibu jari.
"Oke, sip. Kita duluan!"
Alfis mengembuskan napas lega. Iklan tak berguna telah berhasil diurus. Saatnya kembali ke suasana tegang yang tengah mengungkung kawasan tempat berdirinya Asa dan Alfis. Anak laki-laki itu berdeham untuk kedua kalinya, lantas melipat kedua tangan di depan dada. "Kamu cuma mau jadi murid yang aktif? Kamu?" Alfis menarik salah satu sudut bibirnya, menghasilkan tawa pahit. "Enggak cuma kamu yang mau aktif. Bisa, enggak, sekali aja, kalimatmu enggak usah terus-terusan pakai perspektif aku, aku, aku, dan aku?"
"Maksudnya? Kamu mau aku pakai sudut pandang mereka?" Tak mau kalah, Asa pun turut bersedekap, meniru gaya Alfis agar terlihat lebih garang. Netra cokelat terang Asa tak pernah goyah meski menghadapi tatapan Alfis yang lebih tajam dari silet. "Enggak bisa gitu, Fis. Aku enggak menghalangi orang lain buat aktif, kok. Pas mereka ditanya terus aku yang jawab, ya ... salah sendiri, kenapa mereka enggak bisa jawab?"
"Itu yang aku bilang seenaknya."
Kening Asa mengernyit dalam. Apa-apaan, sih, orang di depannya ini?
Mendapati Asa tampak belum juga menerima, segera saja Alfis menambahkan, "Pak Prana bertanya itu tidak semata-mata untuk dapat jawaban saja. Kalau Pak Prana cuma mau jawaban, jelas beliau lebih pintar, kenapa tanya ke murid? Beliau hanya ingin mendidik semua muridnya agar aktif, mau mencoba, mau belajar, mau memahami. Tolong garisbawahi kembali kata 'semua', se-mu-a, semua murid, enggak cuma seorang Asa Nabastala."
Kedua buntalan tebal pipi Asa menggembung marah. Tanpa sadar, anak perempuan itu menggertakkan gigi. Tangannya terkepal erat di kedua sisi tubuh. "Itu urusan orang lain, dong. Kenapa mereka enggak mau aktif?"
"Karena mereka enggak kamu kasih kesempatan! Paham, enggak, sih? Enggak semua anak punya prinsip kayak kamu. Bukan berarti kamu bisa menyalahkan prinsip mereka yang berbeda." Sama-sama sudah gemas, alis tebal Alfis menukik makin tajam saja. "Terus, waktu Prima maju buat ngerjain soal ... di saat orang lain udah jelas-jelas ke depan, kamu masih aja mau merebut segalanya, ya?"
"Lho, aku cuma ngasih masukan! Emang lebih mudah pakai Skema Horner, 'kan?"
"Kamu pikir, Pak Prana enggak tahu kalau bilangan polinomial yang mudah difaktorkan itu tinggal pakai Skema Horner?" sengit Alfis. Keduanya tak lagi memedulikan suasana sekitar yang cukup ramai di jam istirahat ini. "Kalau mau, Pak Prana juga tinggal bilang lebih awal ke Prima. Tapi beliau enggak. Kenapa? Ngasih Prima kesempatan."
Belum juga berniat untuk kalah, Asa kembali menyerobot, "Daripada sibuk memberi kesempatan pada yang terus-terusan diam di tempat, lebih baik fokus pada yang benar-benar punya kemauan untuk berkembang, 'kan?"
Memang pada dasarnya sama-sama kepala batu dan selalu merasa benar, Alfis lagi-lagi menyambar, "Kamu belajar PKn, enggak, sih? Di Pembukaan Undang-undang Dasar 1945 udah jelas tertera, 'mencerdaskan kehidupan bangsa', kehidupan bangsa, bukan cuma anak-anak yang pintar dan mau berkembang aja. Justru gimana caranya, biar anak yang kata kamu terus-terusan diam di tempat itu jadi punya kemauan untuk berkembang. Kamu enggak mau maju bareng, emangnya? Cih, egois banget."
"Iya, aku egois! Puas?" Asa mendengkus. Kedua tangannya bertumpu pada permukaan meja. "Kamu mau aku kasih tutorial buat egois? Berhenti bikin kerusuhan hanya untuk orang lain, si paling pluralis. Mending bikin permusuhan yang lebih keren. Aku, kamu, saingan buat dapat kursi delegasi astronomi di OSN nanti ... berani?"
Sungguh, tidak ada yang lucu dari kalimat Asa. Asa mengatakannya dengan beribu-ribu kali serius. Akan tetapi, Alfis malah tergelak kencang. Kali ini, tak lagi dibuat-buat. "Really? Kamu? Ngajak aku saingan? Jangan bercanda!"
Oh, baiklah. Ini penghinaan. Asa memicingkan mata. "Kenapa? Enggak berani?"
Tawa Alfis berangsur-angsur reda. Kedua tangannya juga menopang tubuh dengan berpijak pada bangku Asa. Alfis mendekatkan wajahnya, memberi intimidasi yang lebih besar. "Ingat peraihan UAS kemarin? Kiano aja enggak bisa kamu tembus di paralel." Salah satu sudut bibirnya terangkat ke atas. Alfis kembali duduk tegak dan membenamkan tangan ke saku celana. "Tapi enggak apa-apa. Aku emang berniat ke astronomi, tahun ini. Good luck buat persaingannya, Asa. Aku semangatin, deh. Kamu bersaing sama orang keren, soalnya."
Detik berikutnya, figur lelaki tinggi itu melengos pergi keluar kelas. Tidak ada lagi Alfis di dalam kelas. Hanya saja, Asa masih merasakan kekesalan berlipat-lipat. Manusia menyebalkan! Badak Galak!
Sisa-sisa amarah itu Asa lampiaskan begitu mendapati kehadiran Viola yang tengah memakan roti lapis di bangkunya. Tak perlu pikir panjang, Asa bergegas menghampiri. "Ola, mau cerita! Kamu dengar perdebatan aku sama Alfis, enggak? Pantas aja Kiano sering manggil Alfisetan, ternyata emang setan kelakuannya."
Iya! Asa tidak pernah merasa sedongkol itu sebelumnya. Pasalnya, Alfis itu bukan siapa-siapanya Asa! Mereka tidak pernah kenal dekat. Mereka hanya saling mengenal nama dan nomor absen yang saling berurutan, Alfis pertama dan Asa nomor dua. Tidak lebih dari itu! Kenapa tiba-tiba saja jadi memancing keributan seperti tadi?
Viola yang sedang nikmat-nikmat makan pun seketika melambatkan kunyahannya. Ia bingung sekali harus merespons apa. "Uhm ... sabar, ya, Sa. Maksud Alfis pasti baik, kok."
Senyap mengisi untuk beberapa saat lamanya. Seolah baru teringat sesuatu dan ingin meminta konfirmasi lebih lanjut, Asa tiba-tiba mempertanyakan sesuatu yang tidak pernah Ola duga, sebelumnya. "Ola, kamu ... kamu temanku, 'kan?"
Eh, pertanyaan macam apa itu? Buru-buru, Ola menganggukkan kepala. "I-iya."
"Ola!" Dengan senyuman paling lebar yang pernah ia pasang setelah mood-nya dihancurkan manusia bernama Alfis, Asa merangkul bahu Ola erat-erat. "Kita emang sahabat baik!"
Tuh, 'kan? Asa memang banyak yang suka sejak awal, kok. Mereka memahami Asa. Mereka sudah tahu dengan tabiat ambisnya yang selalu ingin tampil paling aktif. Mereka tidak akan keberatan jika Asa banyak menjawab pertanyaan guru. Semua anak kelas ini, kecuali Alfis, jelas-jelas teman Asa! Iya, 'kan?
Semoga saja memang begitu adanya.
[ π β ¢ ]
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top