01. Diagnosis Ambis Kronis


Apa yang pertama kali terlintas dalam benakmu, ketika mendengar kata 'ambis'?

Anak kaku, tidak bisa bersosialisasi dengan baik, tiada hari tanpa belajar, identik dengan kutu buku, culun, berkacamata, berorientasi pada nilai, terlalu lurus, dan banyak disenangi guru maupun teman? Jika serentetan variabel tersebut yang muncul pertama kali di bayanganmu, maka kamu belum pernah bertemu dengan spesies ambis bernama Asa Nabastala.

"Asa, Bu!" Dengan semangat berkobar, anak perempuan yang duduk di bangku baris kedua itu mengangkat tangannya tinggi-tinggi. Tampak sangat mencolok di antara siswa lainnya yang menunduk terkantuk-kantuk. Setelah dipersilakan Bu Yanti, lekas-lekas Asa menjawab, "Bilangan Avogadro itu senilai dengan 6.022 × 10²³ molekul per mol."

"Benar sekali, Asa." Guru Fisika tersebut menyahut dengan tak kalah antusiasnya. Tepukan tangan apresiasi mengudara di langit-langit kelas yang sempurna sunyi sejak tadi. Walaupun dikategorikan ke dalam kelas unggulan, XI MIPA-1 ini hanya dikuasai oleh empat monster MaFiKiBi Society, juga seorang Asa Nabastala. Akan tetapi, pada pertemuan kali ini, empat sahabat ambis itu sibuk dengan urusan masing-masing, tidak aktif menjawab seperti biasanya.

Mat asyik menggarisbawahi hal-hal penting di buku paketnya, Bintang berkutat dengan catatannya sebagai seorang penganut gaya belajar visual, sementara Kiano tidak bisa mendiamkan kedua tangan, terus saja mengimajinasikan konsep perpindahan kalor yang sedang mereka pelajari. Bahkan seorang Alfis, yang notabenenya spesialis Fisika, kini hanya mendengarkan penjelasan Bu Yanti dengan saksama.

Wanita berusia empat puluhan itu pun sampai heran dibuatnya. Ada apa dengan mereka? Tumben sekali tidak ada peperangan yang meletus untuk memperebutkan poin tambahan di jam fisika. Apa mereka sedang menghadapi suatu masalah? "Mat, Alfis, Kiano, Bintang ... tidak apa-apa? Tentu Bilangan Avogadro bukan hal besar untuk kalian, 'kan?"

"Sabar, Bu!" Kiano mengangkat tangan. Matanya terpejam erat, lantas menarik napas dalam-dalam. Dengan gerakan-gerakan tidak jelas layaknya tarian pemanggil ular, Kiano kesurupan reog sebagaimana biasanya. Oh, tidak. Sepertinya memang Kiano sendiri-lah reog-nya sedari awal. "Kami sedang menguji coba metode ambis lainnya."

"Metode ambis?"

"Ya!" Semangat sekali, Kiano mengangguk-angguk mantap. "Metode yang mengamalkan teori TikTok, 'diam seperti cupu, bergerak menjadi suhu'!"

Meski tidak bisa memahami maksud dari kalimat Kiano, Bu Yanti mengangguk saja dengan kening mengernyit dalam.

Sebagai auto-leader MaFiKiBi Society, lekas-lekas Mat memperbaiki jawaban Kiano. "Kami sedang melakukan percobaan, Bu. Kiano selalu kalah dalam JAMET SMS—Ajang Kompetisi Pertengahan Semester MaFiKiBi Society—yang lalu. Katanya, penetapan ranking kelas ini tidak bisa dijadikan standar yang tepat, mengingat tidak semua agen MS memiliki kesempatan yang sama untuk aktif dalam pembelajaran. Maka hari ini, kami mencoba untuk menahan keaktifan kami semuanya, Bu. Mohon maaf."

Lho? Sampai segitunya? Padahal, kan, Kiano selalu ranking terbawah di antara keempatnya itu karena ia memang minus akhlak saja, bukan karena kurang aktif. Bu Yanti menggeleng-geleng, makin pening. Ya sudah. Walau tidak menjawab kuis dadakan darinya, empat sekawan ambis itu pasti gemas sekali dengan pertanyaan yang terlalu mudah.

Yanti terkikik pelan. "Seratus untuk Asa, hari ini. Baiklah. Karena sudah memasuki pergantian jam pelajaran, biar Ibu tutup pertemuan kita kali ini. Habis Ibu, pelajaran siapa?"

"Pak Nizar, Bu. Bahasa Indonesia."

Yanti membereskan laptop dan perlengkapan mengajarnya di atas meja, bersiap untuk kembali ke ruang guru. "Oh, Pak Nizar ...."

"Ibu, maaf!" Di saat siswa lain sibuk menguap dan menggeliatkan badan, berancang-ancang untuk menjelajahi alam mimpi, Asa kembali mengacungkan tangan.

Beberapa siswa berdesis sebal. Kalau saja tidak punya adab dan kesopanan, mungkin mereka sudah menendang Asa dan Bu Yanti untuk melakukan perbincangan di luar kelas saja.

Meski mendengar gumaman protes teman sekelasnya, Asa tak mengurungkan niatnya untuk bertanya, "Tugas pertemuan kemarin tidak dibahas, Bu? Yang hanya lima soal itu."

"Oh, iya benar!" Serempak, mata Bu Yanti dan netra cokelat terang Asa tampak mengkilap, dihiasi binar-binar kegirangan. Para siswa sudah terkulai lemas di bangkunya, berharap Asa dan guru fisikanya itu lekas hilang ingatan saja. Kalau tidak, fisika-nya yang harus hilang! Akan tetapi, Yanti tersadar lebih dulu. "Eh, ini sudah bukan jam pelajaran Ibu, Asa. Kita bahas besok lagi saja, ya."

Embusan napas lega memenuhi setiap sudut kelas XI MIPA-1 di sana-sini. Oke, sip. Tidak akan ada jam pelajaran yang dikorupsi.

Namun, harap tinggallah harap, tahu-tahu berakhir hirap. Pasalnya, mereka berurusan dengan spesies yang terdiagnosis ambis kronis. Dengan muka tanpa beban yang berlabel halal untuk ditabok itu, Asa kembali mengacungkan tangan. "Enggak apa-apa, Bu. Pak Nizar jarang masuk, kok. Daripada jamkos? Nanti Ibu sudahi saja kalau sudah datang Pak Nizar-nya."

"Oh, benar! Baiklah. Ibu mulai pembahasan soal latihan kemarin, ya!"

Tidaaak! Begitulah terjemahan dari sahutan 'Iya, Buuu!' yang diteriakkan anak-anak. Tidak! Anak kelas epilepsi massal. Pupus sudah harapan jam kosong di hari Senin yang cerah ini!

"Ada yang hendak mencoba menuliskan jawabannya di depan?"

Dua tangan teracung dengan serempak. Asa tertegun. Ia kira, MaFiKiBi Society sedang dilumpuhkan total untuk sejenak, hari ini, sehingga ia punya kesempatan lebih besar untuk maju. Kedua netra cokelat terangnya menyipit sengit, menatap laki-laki yang turut mengacungkan tangan di baris depan.

"Oi, Fis! Ini melanggar kesepakatan kita tadi malam, waktu bahas soal di markas! Ini cheat! Anak licik! Alfisetan!"

Teriakan Kiano yang keberatan itu—ya ... dosanya memang sudah overload, sih—hanya ditanggapi Alfis dengan mengangkat bahu tak peduli. Salah satu sudut bibirnya terangkat ke atas, bergaya sok cool seperti biasa. "Aku enggak tahan kalau cuma diam doang. Lagian masih ada empat soal sisa selain dia, kita bagi rata, masing-masing satu."

Oh, iya juga. Dengan tatapan membara, Kiano memandangi papan tulis yang sudah ditulisi Alfis juga Asa, seakan hendak memangsa hidup-hidup. Kiano tampak kesetanan di bangkunya. Kedua tangannya heboh sekali mencakar-cakar udara. "Aku ikut! Aku nomor tiga!"

Ya, ending kisah ambis mereka selalu saja begitu. Menolak tinggal diam, merebutkan nilai tambahan, PDKT dengan berbagai tipe latihan soal, lantas berkompetisi untuk menyelesaikan soal paling susah. Tak perlu waktu lama, ritual PELAKOR—Pecahkan Latihan Soal dan Raih Skor—khas Bu Yanti pun selesai dengan cepat.

Semua pertanyaan sold out, berhasil terpecahkan. Papan tulis dipenuhi rumus-rumus turunan dan digit angka yang saling berdesakan. "Baik, kerja bagus! Bisa tolong jelaskan pada teman-teman kalian, mulai dari nomor satu?"

Sebagai orang yang mengerjakan soal nomor satu, Asa tersenyum bangga. Ini adalah hal yang paling ia suka dari metode belajar Bu Yanti. "Sudah kita pelajari bersama, bahwa PV = nRT, tekanan dikali volume sama dengan jumlah mol gas dikali tetapan umum gas senilai 8.314 J/mol K untuk satuan internasional, ataupun 0.08206 L atm/mol K, lalu dikali suhu."

Semangat sekali, Asa menunjuk-nunjuk angka yang ia maksud di papan tulis.

"Untuk mencari volume, kita tinggal gunakan metode pindah ruas, meski konsepnya tidak benar-benar pindah, sehingga menghasilkan V = nRT per P. Setelah itu, kita tinggal substitusikan yang sudah diketahui. 1.3 didapat dari jumlah oksigen, 42 per 32 mol, lalu dikalikan dengan tetapan gas yang tidak SI karena memuat satuan atmosfer, dikali suhu yang sudah dikonversi ke kelvin, lalu dibagi dengan 1 atm, karena keadaannya standar. Hasilnya, 29,4 L."

Tepukan Bu Yanti kembali membahana, bersamaan dengan geliatan siswa lain yang menguap lebar. "Bagus, Asa."

Ya. Inilah Asa Nabastala. Nilainya belum mampu menembus empat monster teratas: agen MaFiKiBi Society, Mat, Alfis, Kiano dan Bintang. Akan tetapi, dibandingkan siapa pun di kelas ini, ambisi Asa adalah yang terkuat.

Tidak seperti Iris yang senang belajar dengan totalitas atau sekadar tahu cara pengerjaan soal tanpa merasa perlu aktif, juga tidak seperti agen MS yang lebih menekankan pada hubungan erat persahabatan yang bisa mendukung dan menjadi pacuan agar mau terus berkembang, maka kasus Asa ini benar-benar 'murni' sebuah ambisi.

Kalau saja ada pakar ambislogi, jelas Asa sudah terdiagnosis sebagai spesies dengan ambis yang kronis!

Katanya, anak ambis itu selalu didekati banyak teman, karena banyak benefitnya. Akan tetapi ... apa iya selalu begitu?

Asa kembali ke bangkunya dengan kedua sudut bibir yang terangkat lebar. Ya. Inilah Asa. Tokoh utama kita dengan diagnosis ambis kronis.

[   π    β    ¢   ]

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top