3. Naya
•×•
NAYA
•×•
Yeay besok hari Akad👏
Ups!
Maksudnya hari Ahad😄
#plak😘
“Sukerejo. Ya ampun!” Ajeng tiba-tiba panik. Secara tidak langsung pertanyaan Ario mengarah kepada satu masalah yang hampir saja ia lupakan. Naya temannya, apakah dia baik-baik saja?
“Kenapa?” Ario kembali bertanya.
“Naya temanku, dia sendirian di indekos!” ucap Ajeng masih dengan nada panik.
Ario dan Prabu mengerutkan dahinya tidak mengerti. Pasalnya apa salahnya dengan temannya itu, dia di indekos mungkin sekarang dia lagi bermain dengan selimutnya sambil menonton televisi. Seharusnya yang Ajeng pikirkan dirinya sendiri, mungkin tubuhnya kedinginan.
“Emang kenapa?” Ario lah yang aktif bertanya kepada Ajeng, sedangkan Prabu bergeming paling tidak memainkan ekspresinya.
“Dia itu fobia gelap, sekarang di sana lagi mati lampu. Dan seharusnya aku ada di sana, kalau tidak dia bakal marah besar. Apalagi dia itu selalu ada buatku.” Ajeng menggigit bibir bagian bawahnya.
Ario menatap kasihan kepada Ajeng. Dengan rasa ragu, Ario menyampaikan tangannya ke bahu Ajeng, lalu mengelus-elusnya perlahan. Berharap apa yang dilakukannya bisa membuat Ajeng sedikit tenang.
“Aku yakin temanmu itu pasti baik-baik saja.”
Prabu pergi dari hadapan mereka, membuat Ario heran. Sedangkan Ajeng masih khawatir dengan keadaan temannya yang—pasti—sedang ketakutan di indekos. Ajeng akan merasa bersalah, karena tidak melakukan apa yang seharusnya ia lakukan sebagai temannya Naya. Sedangkan Naya selalu ada buat dirinya, baik ketika dirinya terpuruk karena tugas-tugas, atau pun ketika dirinya butuh sandaran untuk menyalurkan rasa rindunya terhadap dua orang istimewa yang berada di bumi Pasundan.
“Maafkan aku Naya,” lirihnya.
“Aku punya ini.”
Ajeng dan Ario sedikit terperanjat, tiba-tiba saja Prabu datang sambil menyodorkan jas hujan kepada Ajeng. Prabu menaikkan salah satu alisnya, sebagai isyarat agar Ajeng menerimanya.
“Nanti kamu gimana?” tanya Ajeng ragu.
“Tenang aja, rumahku dekat dari sini. Lagi pula biasanya aku dan Ario tidur di sini, di ruangan khusus,” jawab Prabu tenang.
Ario membeliak mendengar jawaban Prabu. Sebab di kedai tempat mereka bekerja tidak ada ruangan khusus seperti asrama selain dari ruang bosnya, toilet, dan ruangan pekerja untuk istirahat. Itu pun hanya di isi oleh dua kursi panjang yang terbuat dari kayu, dan beberapa loker untuk para pekerja.
“Serius?”
Prabu menganggukkan kepalanya. Ia menatap sekilas ke arah Ario yang masih mempertahankan tatapan tidak percaya kepadanya. Namun Prabu tidak peduli sedikit pun tentang tatapannya, bukannya menakutkan malah Ario terlihat konyol dengan tatapan seperti itu.
“Kalo begitu aku pergi dulu. Terima kasih.”
“Eh, tunggu!”
Ajeng terkesiap. Tubuhnya membeku ketika tangan lain melingkar di pergelangan tangannya. Hati Ajeng berdegup seketika, napasnya sedikit tertahan, sampai-sampai kedua matanya ia pejamkan. Baru kali ini perasaan Ajeng di serang oleh sesuatu yang berbeda dari biasanya. Apakah ini yang dinamakan dengan cinta pandangan pertama?
Ya Allah! Kuatkan hati hamba!!! Hati Ajeng berteriak histeris.
“Maaf, aku enggak bisa ngantar kamu pulang,” ujar Prabu seraya menatap penuh wajah Ajeng.
Ajeng masih membeku. Perlahan Ajeng menoleh ke belakangnya, tetapi matanya masih terpejam. Dan kedua belah pipinya sedikit mengembung, menahan deru napas yang kian menyembul hendak keluar dari tubuhnya.
“Kamu lagi deg-degan?” tanya Prabu polos.
“Hm. Aku, aku enggak papa kok pulang sendiri, udah biasa.” Ajeng mengembuskan napasnya perlahan-lahan, guna menenangkan keadaannya saat ini.
“Ehm! Kok banyak nyamuk ya,” kata Ario, menepukkan tangannya berkali-kali seraya beranjak dari sana.
Segera mungkin Prabu melepaskan genggaman dari tangan Ajeng. Ia dan Ajeng menjadi salah tingkah, keduanya saling memalingkan wajah merasa canggung dengan suasana yang menyelimutinya.
“Hm, kalo begitu aku masuk dulu,” pamit Prabu, membuntuti Ario yang juga masuk ke kedai kopi.
“I-iya. Makasih jas hujannya.”
Ajeng segera membungkus tubuhnya oleh jas hujan hitam milik Prabu. Sebenarnya ia sangat malu menerima tawaran Prabu, tapi karena keadaannya sedang seperti ini, malu-malu pun Ajeng terima. Yang terpenting, Ajeng bisa pulang dan langsung mendekap Naya sambil meminta maaf. Toh, ia tidak mau pertemanannya merenggang apalagi Naya telah berbuat banyak kebaikan untuknya.
Sebuah mobil tiba-tiba saja berhenti di belakangnya, membuat Ajeng berdecak kecil karena mobil tersebut menghalangi jalannya. Ajeng menatap mobil itu dengan raut wajah kesal, ingin sekali ia menyalakan klakson motornya berkali-kali untuk mengusir mobil itu. Pasalnya posisi Ajeng terhimpit oleh motor lainnya, dan pak Jiwo masih di Mushola, tidak ada pilihan lain selain menunggu mobil itu pergi.
Detik berikutnya, perempuan berjaket merah muda keluar dari mobil tersebut. Kepalanya tertutup hodie sehingga Ajeng tidak bisa melihat wajahnya dengan jelas, belum lagi rintik hujan yang juga mengakibatkan pandangannya sulit di fokuskan terhadap perempuan itu.
“Hati-hati jatuh! Sampaikan salam ayah untuk dia!” seru pria yang hanya menampakkan bagian wajahnya di balik jendela mobil.
Perempuan itu melambaikan tangannya kepada pria yang menyerunya. Sekilas perempuan itu menatap ke arahnya. Yang ditatap hanya memaparkan senyum kepadanya. Setidaknya dengan senyumnya, Ajeng bisa menutupi kekesalannya terhadap kelakuan—mungkin—orang tuanya yang sudah menghalangi jalan Ajeng dengan menghentikan mobilnya di rute untuk keluar dari batas parkir.
Setelah mobil itu beranjak, Ajeng menyalakan motornya dan mulai menerobos butiran air yang menyerang bumi Semarang malam ini. Hawa dingin menyergap tubuh Ajeng seutuhnya, perlahan tubuhnya gemetar, dan giginya menggertak menahan serangan suhu malam ini.
45 menit berlalu meninggalkan rasa dingin di tubuh gadis kelahiran tanah Sunda itu. Benar saja setelah memasuki kelurahannya, Ajeng di sambut dengan suasana gelap yang menyelimuti rumah-rumah penduduk. Kecuali toko-toko yang masih bertahan, samar-samar Ajeng melihat cahaya lilin yang menyinari toko-toko tersebut. Ia menghentikan motornya di depan salah satu toko, hendak membeli beberapa lilin untuk di indekosnya. Setelah itu, Ajeng kembali melanjutkan perjalanannya yang jaraknya sudah dekat dengan indekosnya.
Memasuki halaman indekos samar-samar Ajeng mendengar suara tangis. Sudah dapat dipungkiri bahwa pemilik suara tersebut adalah Naya, bukannya tidak ada yang peduli dengan situasi Naya. Tapi pengisi indekos di sini memang sedang liburan termasuk ibu kosnya, kecuali satu pengisi yaitu pak Reno. Pria usia 30an ini bekerja di kantor desa, pak Reno ini memang jarang pulang dia selalu menginap di kantor bersama penjaga pos apalagi sekarang, malam minggu.
Ajeng bergegas masuk ke dalam indekos yang tak di kunci. “Naya!” Ajeng menghidupkan flash ponselnya.
Ketika flash di sorotkan ke kamar, Ajeng terkejut karena tubuhnya langsung di sambar oleh temannya yang masih bertahan dengan tangisnya. Ajeng membalas pelukan Naya, salah satu tangannya dibiarkan mengelus-elus punggung Naya untuk menenangkan keadaannya.
“Kamu jahat Jeng, kamu jahat!” racau Naya masih dalam posisi mendekap.
“Maafin aku Nay, diluar hujan, ya aku terpaksa berteduh. Nasib baik ada orang baik yang meminjamkan jas hujan untukku, jadi aku bisa pulang sekarang. Kalau tidak, mungkin aku masih berteduh. Dan entah sampai kapan aku bisa pulang. Maafin aku ya Nay, pliss,” mohon Ajeng.
Naya melepaskan pelukannya.
“Aku janji, akan selalu ada di saat kamu membutuhkanku.” Ajeng mengangkat kelingkingnya.
Naya membalas kelingking Ajeng, kemudian tersenyum.
“Makasih Nay, kamu memang temanku.”
Naya memang sedikit manja, hanya sedikit. Tapi akibat kemanjaannya itu Ajeng merasa nyaman dengan Naya. Kemanjaan Naya akan tampak di waktu-waktu tertentu. Terutama ketika kejadian yang menimpanya selalu di hadapi dengan orang tuanya, contohnya ketika mati lampu. Naya selalu ada di pelukan ibunya kalau mati lampu, atau ketika ada binatang melata seperti cicak di dekatnya ia selalu memeluk tubuh ayahnya.
“Sekarang kita salat, setelah itu kita tidur. Mati lampu enaknya langsung tidur, apalagi hujan kayak gini.” Ajeng tersenyum kemudian beranjak, diikuti oleh Naya yang masih sibuk menghapus air matanya.
°°°
Okeh.... Ini masih tahap awal Rabu atau Sabtu depan mulai ada gejala-gejala yang menghias cerita ini😘
Makasih udah baca, di tunggu ya next partnya😇😇😇
Btw, aku bikin Trailer Amarga Tresna. Penasaran enggak?
#penasarandonk😘
Cek di IG YAZARIAN, kalo perlu follow juga😍
https://www.instagram.com/p/Bzzh181AZWw/?igshid=1puy4wb1oi0bx
Folback?
Komen we disinih❤
Pokonamah kalian terbaeeekkkk😘😘😘
Cerita ini tergabung dalam project Nulis Marathon Rex_Publishing, mohon doa dan dukungannya❤❤❤
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top