14. Satu, Dua, Tiga, Empat, Lima, Kita Putus?
•×•
SATU, DUA, TIGA, EMPAT, LIMA, KITA PUTUS?
•×•
“Kita sadar ingin bersama, tapi tak bisa apa-apa.”
Tulus - Sepatu
°°°
“Ada apa?” tanya Ajeng, hati-hati.
“Hm, enggak ada apa-apa kok,” jawab Prabu.
Ajeng menghela napas pendek. “Kita mau ke mana?”
Prabu tidak menjawab pertanyaan Ajeng. Ia terus fokus mengendarai motornya, sampai pada akhirnya ia menepikan motornya di depan sebuah bangunan tua.
“Kita mau ngapain di sini?” tanya Ajeng heran.
Prabu turun dari motornya. Salah satu tangannya merogoh saku celananya. “Aku ingin kamu memakai ini, aku punya kejutan untuk kamu. Jadi, kamu jangan mengintipnya.”
“Hah?”
Prabu mengikatkan seutas kain ke matanya Ajeng.
“Kejutan apa?” tanya Ajeng.
“Kalo di kasih tau namanya bukan kejutan dong.” Prabu mengetikkan sesuatu di layar ponselnya dengan sangat lihai, kemudian ia tersenyum.
“Prabu? Kamu masih di sini?” Ajeng sedikit panik, karena ia merasa sendirian di sini.
“Enggak, dia udah pergi. Pergi ke hatimu,” jawab Prabu sambil tertawa kecil. “Kamu takut, ya?”
“Ish, udah tau takut.”
Prabu menuntun Ajeng ke samping motornya. Lalu menyuruhnya untuk naik.
“Masih jauh ya?” tanya Ajeng sambil mengeratkan pelukannya terhadap laki-laki tampan yang memboncengnya.
“Ajeng, baru saja kita jalan udah nanyain gitu,” jawab Prabu.
“Ya, kan kalo di tutup gini serasa udah jauh gituh,” timpal Ajeng sambil mengerucutkan bibirnya. “Kenapa harus pake acara tutup mata segala, sih?” rengek Ajeng.
“Pokoknya ini istimewa banget untuk kamu, aku udah nyiapin ini dari kemarin. Yang jelas, apa pun yang terjadi kamu tidak boleh membuka penutup mata ini.” Prabu tersenyum sekilas.
“Hm,”
Selebihnya, mereka sibuk dengan pikirannya masing-masing. Beberapa menit yang lalu, Ajeng sempat bingung dengan ulah Prabu yang tiba-tiba saja menariknya, ditambah seruan Ibunya, tapi Prabu tidak menghiraukan seruan itu. Bahkan di saat Ajeng menanyakannya, ia sedikit membentaknya. Ada apa?
Anehnya, sekarang Prabu telah menyiapkan kejutan untuknya. Entahlah, apa itu kejutannya? Yang jelas Ajeng di buat heran oleh dua perkara, pertama, tentang kejadian di rumahnya, dan kedua tentang kejutan ini. Ajeng hanya bisa berharap agar semuanya baik-baik saja.
Dalam kegelapan, Ajeng terkejut ketika motor Prabu berhenti tiba-tiba. Ia menuntunnya untuk turun dan berjalan yang juga entah ke mana dia akan membawanya. Adegan seperti ini, berhasil membuat Ajeng deg-degan dan merasa ketakutan.
“Prabu?!” Sontak Ajeng melayangkan kedua tangannya ke sekitarnya, kala tangan Prabu tak lagi menuntunnya. Hatinya meracau, menyebut Prabu sebagai laki-laki keteraluan.
“Prabu?! Kamu di mana?! Kok, di tinggal sih! Prabu! Aku nangis nih!” sahut Ajeng sambil berjalan kecil, dengan tangan terus melayang berusaha menapaki sesuatu yang mungkin ia kenali.
“Prabu?! Aku benci sama kamu! Prabu?! Kalo sampai lima detik enggak ada, kita putus!” Cukup! Prabu telah membuatnya kesal, tanpa di saring dulu gadis itu telah melontarkan kata keramat untuk hubungannya.
“Satu!” Ajeng mulai menghitung dengan nada tinggi.
Prabu tidak muncul dalam detik pertama, hanya kesiur angin malam yang terus membangunkan bulu kuduknya. Oh, iya jangan lupakan suara kendaraan yang merangkak di telinganya.
“Dua?! Kamu yakin kita ingin putus?! Prabu!”
Laki-laki itu tak kunjung datang. Hatinya terus berdegup, berharap Prabu datang dan memeluknya sekarang. Namun, harapan hanyalah sebuah harapan. Ia tidak bisa memutuskan harapannya untuk bisa terwujud saat ini.
“Tiga! Prabu, plis!”
Sekarang Ajeng telah meneteskan air matanya. Laki-laki yang menjadi pacarnya tak kunjung datang, dan kenapa ia harus mengancamnya dengan cara memutuskan hubungannya yang jelas-jelas hal itu tidak mau terjadi.
“Empat!”
Tubuh Ajeng kini roboh. Prabu meninggalkannya, tapi ia masih memiliki satu hitungan lagi. Berharap di hitungan terakhirnya ia datang, dan memeluknya.
“Lim—”
Ajeng tertahan mengucapkan hitungan terakhirnya. Sebuah tangan memegang tubuhnya. Tangan itu menuntunnya untuk berdiri, dan berjalan. Lagi-lagi ia di buat bingung oleh pacarnya, ingin sekali ia berteriak memarahinya, tapi tidak bisa. Dia telah datang di waktu yang hampir saja, ia memutuskan hubungannya.
“Prabu, kamu ke mana aja sih. Aku benci sama kamu!”
Tidak ada jawaban dari orang yang membawanya. Dia terus menuntunnya, tidak peduli dengan ucapan. Ajeng berdecak sebal mendapati perlakuan Prabu seperti ini. Ia telah di buat kesal dua kali hari ini, setelah dia meninggalkannya sekarang dia mendiamkannya. Dasar laki-laki, aneh! Sama seperti perasaannya, kenapa harus laki-laki seperti Prabu yang membuat dirinya tertarik.
Suara pintu terbuka terdengar di telinga Ajeng. Bahkan suhu di sekitarnya sangat hangat, samar-samar dalam kain yang menutupi kedua bola matanya terlihat beberapa titik kecil yang mengeluarkan cahaya.
“Kamu boleh membukanya sekarang.” Ajeng memutar bola matanya dari balik kain, kenapa baru sekarang dia mengeluarkan suara.
Setelah kain itu terlepas dari ikatannya, perlahan Ajeng menyesuaikan cahaya yang memasuki penglihatannya yang sedikit basah akibat tadi menangis. Sesuatu yang pertama ia lihat di hadapannya adalah sebuah kue, lalu beberapa balon, boneka baby bear berwarna pink, dan terakhir kalimat manis yang tertera di atasnya—sejajar dengan balon—bertuliskan ‘Aku mencintaimu, Ajeng Agustina’
Ajeng terharu melihat apa yang di tangkap oleh indera penglihatannya. Refleks, ia memeluk orang yang berada di sampingnya dengan begitu erat. Namun, ketika bau dari laki-laki yang di peluknya bukan bau orang yang menjadi pacarnya, Ajeng memantapkan tatapannya. Sontak Ajeng melepaskan pelukannya dari orang itu, lalu mencubit kesal terhadap orang itu yang kini mengembangkan senyum senangnya. Dia adalah Pak Jiwo, petugas parkir dengan ribuan celoteh pemalinya.
Prabu, Ario, dan karyawan lainnya tertawa melihat aksi Ajeng. Nasib baik tidak ada pelanggan yang menghabiskan waktunya di sini, kalau ada Ajeng tidak akan mengunjungi tempat ini selama enam bulan.
Ajeng berjalan menghampiri Prabu yang sedang mengembangkan senyumnya. “Prabu aku kes—”
Tanpa aba-aba, laki-laki itu memeluknya dengan sangat erat. Ajeng terkejut bukan main, pasalnya ini kali pertama Ajeng mendapatkan pelukan dari Prabu selama ia menjalin hubungan spesial dengannya.
“Maafkan aku, yang telah membuatmu kesal. Ini adalah acara, kalau orang tuaku benar-benar menyukaimu, Jeng. Tadi itu hanya sandiwara saja, jadi kamu enggak perlu gelisah lagi.” Prabu melepaskan pelukannya lalu menatap Ajeng lekat.
Jantung Ajeng memompa lebih cepat dari biasanya. Perlahan Ajeng memejamkan matanya, sembari mengatur napasnya yang seketika memburu.
“Kamu lagi deg-degan?” tanya Prabu membuat gadis yang berada dalam genggamnya membuka matanya, lalu menganggukkan kepalanya.
Prabu tersenyum lalu merangkul Ajeng. “Kamu tiup lilinya,” ujar Prabu.
Ajeng pun meniup lilinya. Setelah itu orang-orang yang menyaksikan acara ini bertepuk tangan sambil mengembangkan senyum.
“Ayo Jeng, potong kuenya, udah gak sabar nih,” celetuk Ario.
Seperti biasa laki-laki berkacamata itu bersikap menyebalkan kepadanya. Bahkan dengan jailnya, dia mencolek krim kue itu lalu melayangkan ke pipi Ajeng. Di ujung aksinya dia tersenyum jail kepadanya.
“Ario! Jorok ih!” Ajeng menatap horor ke arah Ario.
Ajeng mulai memotong kue itu. Potongan pertama ia menyuapinya kepada Prabu yang masih lengkap dengan senyum manisnya.
“Tahan dulu, ini momen terindah kalian.” Ario mengangkat ponselnya. “Oke, sekarang giliran aku. Aaa,” kata Ario sambil membuka mulutnya.
Ajeng menaikkan salah satu sudut bibirnya merasa jengkel dengan sikap temannya ini. Seiring ia menyuapkan kuenya, dia meminta Prabu untuk mengabadikannya.
“Kalo udah mas Ario, aku ya mbak Ajeng,” celetuk Pak Jiwo sambil tersenyum penuh harap.
“Bapak ambil aja sendiri,” balas Ajeng sambil memutar bola matanya.
“Jangan begitu, itu kan orang tua,” kata Ario.
Ajeng memberengut kesal. Tanpa menunggu lama Ajeng menyuapi Pak Jiwo dengan mata setengah memejam. Dengan jailnya, Ario mengabadikan momen tersebut, setelahnya ia tertawa diikuti dengan yang lainnya.
Gadis itu menatap Prabu yang juga terkekeh. Berharap dia akan melakukan pembelaan kepadanya. Namun nyatanya bukan pembelaan yang dia berikan, melainkan sebuah pelukan hangat untuknya.
“Aku mencintaimu, Prabu.” Ajeng bergumam pelan, matanya terpejam menikmati setiap detak jantung kekasihnya.
Prabu menghapus krim kue yang masih melekat di pipinya akibat ulah Ario. Ajeng hanya bisa bergeming, memandangi wajah kekasihnya yang begitu berseri.
“Ini udah malam, kita pulang ya?” ujar Prabu.
Ajeng menganggukkan kepalanya sebagai jawaban atas pertanyaan kekasihnya itu.
“Aku nganterin dulu Ajeng pulang. Makasih udah membantu aku menyiapkan kejutan ini,” seru Prabu sambil mengangkat jempolnya kepada teman seperjuangannya.
Ajeng melambaikan tangannya ke arah mereka semua yang hanya memaparkan senyum untuknya, kecuali Ario. Laki-laki berkacamata itu membalas lambaian tangannya, lalu membalikkan tubuhnya kembali bergabung dengan teman-teman yang lainnya.
°°°
Halo Gaiesss, update lagi🎉🎉🎉
Ario masih kuat di gituin mulu💪💪💪 aku kasih sepuluh bintang buat kamu, Ar!
Yang punga Instagram boleh polow akun saya
Dan akun penerbit
Nanti di polbek kok:)
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top