10. Rasa
•×•
RASA
•×•
“Maafkan aku jadi suka sama kamu, awalnya curhat lama-lama ku cemburu. Maafkan aku yang mengharapkan cintamu, bila belum saatnya ku sabar menunggu. Bila masih bersama ku tunggu kau putus.”
Sheryl Sheinafia
Sesudah memanjakan perut dengan hidangan khas Bumi Semarang, mereka bertiga kembali mengarungi Kota Lumpia hingga berlabuh di lereng Gunung Unggaran dengan seribu pesona kehangadengan
Di lereng Gunung Unggaran ini, mereka akan menikmati berbagai kehangatan. Senja, kopi, dan kebersamaan adalah sumber kehangatan yang siap melahirkan ribuan makna di dalamnya.
Semilir angin menyapu setiap bagian lekuk tubuh mereka, bahkan gadis itu mulai menggesekkan kedua telapak tangannya. Sedangkan Ario berlari kecil sambil mengembangkan senyum senangnya ketika melihat ribuan bangunan di atas ketinggian.
“Selamat Datang di Pondok Kopi Umbul Sidomukti!” kata Ario setengah berteriak.
Ajeng menutup mulutnya ketika melihat betapa indahnya panorama yang tersaji di hadapannya. Ribuan bangunan berdiri di bawah langit biru yang perlahan memudar berganti menjadi warna oranye, adalah salah satu daya tarik bagi insan yang berkunjung di sini.
Prabu yang berjalan di samping Ajeng hanya mampu tersenyum melihat rona bahagia yang tercetak di wajahnya.
Ajeng berlari kecil menuju bangku yang telah di duduki oleh Ario. Masih dengan raut tidak percayanya, Ajeng menerawangkan tatapannya ke berbagai sudut pemandangan yang tersaji di sini.
“Gimana? Keren, kan?” tanya Prabu sambil duduk di samping Ajeng.
“Gila, aku sebagai orang Semarang merasa rugi karena baru mengetahui ada tempat seindah ini,” jawab Ario masih takjub dengan pemandangan tempat ini.
“Ini indah banget, makasih udah ajak aku ke sini.” Ajeng membeberkan senyum kepada Prabu.
Diam-diam Ario mengangkat ponselnya untuk mengambil moment ini. Cekrek! Satu foto candid berhasil ia dapatkan. Ini adalah kehangatan pertama yang mereka dapatkan, sisanya mereka hanya perlu menikmati peredaran warna dari cakrawala seluas mata memandang di hadapannya.
Ario menatap Ajeng seraya tersenyum. “Jeng, kamu tau enggak ada yang lebih indah dari senja?”
“Apa?” Ajeng balas menatap ke arah laki-laki berkacamata itu.
“Senyummu!” jawab Ario seraya menampakkan deretan giginya.
Ajeng tersenyum. “Tapi aku lebih setuju, kebersamaan ini jauh lebih indah dibandingkan senja. Karena tidak mengenal waktu untuk melukiskan hal ini. Berbeda dengan senja. Dia hanya tampak di waktu tertentu.”
Ario dan Prabu tersenyum mendengar ungkapan indah yang keluar dari mulut Ajeng. Tiba-tiba Ario meraih tangan Prabu dan menumpangkan tangan Ajeng di atasnya, kemudian tangannya ditumpangkan di atas tangan Ajeng.
“Apa yang kalian rasakan?” tanya Ario.
“Hangat,” jawab Ajeng dan Prabu bersamaan.
“Begitulah kisah kita hari ini.”
Ajeng benar-benar merasakan sesuatu yang berbeda hari ini. Di antara mereka berdua, rasanya sangat sulit ia deskripsikan rasa apa yang sekarang diidapnya. Ajeng sangat ambigu hari ini!
“Udah hampir jam lima, kalian mau pesan apa?” tanya Prabu menatap Ajeng dan Ario.
“Kita samakan saja. Creamy latte panas,” jawab Ario yang diikuti anggukan Ajeng.
“Oke!” Prabu beranjak dari duduknya, tapi Ario segera mencegahnya.
“Pra, biar aku saja. Sekalian mau ke toilet.”
Prabu tersenyum sembari menganggukkan kepalanya, lalu duduk kembali. Detik pertama hingga beberapa menit, hanya keheningan yang menyelimuti mereka. Ajeng yang sebelumnya sibuk mengetikkan sesuatu di ponselnya, kini kembali menatap ke hadapannya tak menghiraukan Prabu yang sibuk memikirkan agar terlepas dari keheningan ini.
Laki-laki berjaket hitam itu menghela napas pendek, perlahan ia menoleh ke arah Ajeng. “Jeng—”
“Pra—”
Segera Ajeng menatap Prabu. “Kamu mau bilang apa?” tanya Ajeng.
“Kamu duluan, Jeng. Ladies first,” jawab Prabu sambil mengembangkan senyum.
“Kamu dulu deh, sepertinya penting. Aku sih mau nanya waktu pulang, itu aja. Jadi, kamu aja duluan,” timpal Ajeng.
Prabu sedikit memalingkan wajahnya dari Ajeng, lalu menghela napas pendek.
“Jeng, hm, entahlah harus mulai dari mana. Aku tidak pandai dalam memainkan sebuah kata agar terdengar indah, tapi percayalah apa yang akan aku katakan saat ini tulus untukmu.” Prabu berhenti sejenak, tampak dia menghirup udara dengan perlahan.
“Jika keindahan senja dapat kamu terima, apakah ketulusan rasa cintaku ini juga bisa di terima oleh hati kamu?”
Ajeng terpaku ketika mendengar kalimat yang keluar dari mulut Prabu. Napas Ajeng tertahan, perlahan ia tersadar dan segera memalingkan wajahnya dari Prabu. Ajeng mengembuskan napas secara teratur, dan hatinya berdegup kencang saat ini.
“Aku mencintaimu, dan itu tulus dari hatiku. Hanya perlu tiga hari sejak pertama kali kita kenal, aku sudah merasakan rasa ini tumbuh dengan tulus, bahkan sangat tulus.” Prabu menarik napas, lalu ia hempaskan. “Aku benar-benar mencintaimu, Ajeng.” Sambung Prabu.
Ajeng tersenyum melihat Prabu. “Aku juga mencintaimu, Prabu,” balas Ajeng.
Ario mematung di belakang mereka berdua, sejak beberapa detik lalu. Entah apa yang dirasakannya saat ini, yang jelas hatinya menggebu sakit melihat pemandangan di hadapannya.
Dia bagaikan lebah yang kehilangan bunga karena lebah yang lain, tetapi dia tetap menghampiri bunga tersebut seraya tersenyum, berharap ada secuil madu untuknya.
“Selamat buat kalian berdua, aku sangat bahagia melihatnya. Aku enggak menyangka, kamu pandai dalam mengungkapkan perasaan. Terima kasih, Jeng. Kamu telah membuang kejombloan Prabu,” kata Ario dengan nada canda lalu duduk di kursi di hadapan mereka lengkap dengan senyumnya.
Meskipun hatinya menggebu sakit, laki-laki berkacamata itu tetap mengembangkan senyum kepada kedua temannya yang baru saja resmi menjalin pacaran. Ario sadar, ia tidak bisa lari dari kenyataan ini dan ia juga tidak punya hak untuk menghalangi kebahagiaan temannya. Apalagi memaksakan perasaan, itu bukanlah keahliannya.
Prabu dan Ajeng tersenyum mendengar ucapan temannya itu. Meskipun sebenarnya, Ajeng merasa tidak nyaman dengan keadaan seperti ini. Namun apalah daya, rasa cinta ini tumbuh lebih awal untuk Prabu dibandingkan kepada Ario.
“Terima kasih, Ar!” kata Prabu sangat senang.
“Jeng? Kenapa? Kamu lagi deg-degan? Sudahlah, aku tau kamu senang, gak usah malu. Nikmati aja, status kalian sekarang!”
Detik berikutnya, Ajeng tersenyum senang. Ya, ini adalah harapannya. Menjalin hubungan spesial bersama Prabu adalah keinginannya, dan keinginan itu sudah terwujud. Ajeng sangat bahagia, meskipun hatinya berteriak tidak nyaman dengan posisi Ario sekarang. Padahal laki-laki berkacamata itu mendukungnya.
“Hm, bisa gak kalian saling tatap. Pasti kalian butuh moment ini, pasti! Mana hp kamu, biar aku fotoin.” Hanya ini yang bisa Ario lakukan untuk menutup semua rasa sakitnya; tersenyum setulus mungkin dengan diiringi sikapnya yang apa adanya.
Ajeng dan Prabu tersipu malu mendengar ucapan temannya itu. Dengan susah payah Ajeng berusaha bersikap normal—tidak menunjukkan sikap deg-degan yang berlebihan. Sementara itu, laki-laki yang kini menggenggam tangannya hanya menebar senyum dengan ekspresi sedikit kaku.
“Ekspresi kalian terlalu kaku. Apalagi kamu, Jeng. Harusnya bersemu merah, malah pucat!” celetuk Ario sambil terkekeh kecil di ujung kalimatnya.
Seketika kepala Ajeng menunduk malu mendengar ucapan Ario yang seperti biasanya, menyebalkan!
“Oke! Satu, dua, ti—ga.” Ario tampak serius menatap ponsel yang dipegangnya. “Udah, nih!”
Tiga gelas creamy latte panas datang. Ajeng segera menggenggam gelas yang menampung creamy lattenya, kemudian tersenyum. Selain kebersamaan ini yang terasa hangat, kini kehangatan dari minuman kesukaannya mulai menjalar tubuhnya.
“Prabu, jujur aku masih nggak percaya dengan kamu. Ucapanmu itu, indah banget. Ekhem,” Ario terdiam sejenak. “Jika keindahan senja kamu terima, apakah ketulusan rasa cintaku ini dapat kamu terima?” Ario menirukan Prabu dengan ekspresi yang serius. Sementara kedua temannya hanya terkekeh melihat ulahnya, yang sangat menyebalkan.
“Sejak kapan kamu nguping resepsi pengungkapan kalimat sakral itu?” tanya Prabu masih dengan kekehannya.
“Hm, sejak aku pulang dari toilet,” jawab Ario polos.
“Maksud Prabu, sejak dia bicara apa? Gituh,” timpal Ajeng, lalu meminum creamy lattenya.
“Cie, sekarang ada yang bela,” goda Ario sambil menatap Prabu yang sepertinya tersipu malu.
“Mulai deh, nyebelinnya!” ketus Ajeng.
“Enggak apa-apa yang penting kalian langgeng.” Ario kembali mengembangkan tawa untuk yang kesekian kalinya.
Di bawah langit Semarang dengan jutaan bintang yang bertebaran di dalamnya, tiga insan dengan pribadi yang berbeda-beda melukiskan cerita luar biasa. Canda dan tawa tidak dapat dipungkiri jumlahnya, walaupun pada akhirnya salah satu dari mereka ada yang tersakiti.
Aku siap menerima kenyataan ini, dan aku siap merasakan rasa sakit ini. Untuk kalian, temanku! Aku doakan yang terbaik...
Laki-laki berkacamata itu tertawa, seolah rasa sakit yang ia rasakan tidak memerogoti perasaannya.
“Terima kasih untuk kebersamaan ini.” Kata Ario sambil berjalan menghampiri motornya. “Dan terima kasih untuk rasa ini.” Hatinya melanjutkan ucapannya.
°°°
Ini udah bau-bau konflik...
Kalian yang jomlo harus terima ya... Jangan jadi musuhan. Ario aja kuat digituin🙃 masa kamu enggak🙃🙃🙃
Jangan lupa untuk memberikan dukungan untuk cerita ini❤❤❤
Vote dan Komentar selalu diharapkan oleh saya untuk kemajuan cerita ini.
Terima kasih❤❤❤
Jangan lupa follow akun instagram penerbit Rex_Publishing dan authornya yazarianst
Oh iya, follow juga akun segara.aksara oke😊
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top