2. Edoras

Aoife membuka kedua netra abu-abunya kemudian mengerjap beberapa kali, mencoba menyesuaikan dengan cahaya yang tertangkap oleh retina. Cahaya melesak masuk dari jendela ruangan tempat gadis itu berbaring. Ia menatap sekeliling, semuanya tampak asing. Begitu pula dengan sensasi yang dirasakan tubuhnya ketika berbaring, ia tidak pernah merasakan berada di tempat senyaman ini. Aoife mencoba mengingat-ingat, apa yang telah terjadi padanya. Gadis itu merasa telah bermimpi buruk sepanjang ia memejamkan mata―mimpi yang sangat buruk kalau ia mencoba mengingat. Kilas balik memori tiba-tiba terputar di benak, hingga membuat pupil gadis itu membesar saat rasa sakit kembali menusuk raga. Rasa sakit dari kehilangan dan juga ... Aoife sontak melirik perutnya, dan mendapati bagian tubuhnya itu terbalut kain dengan sedikit rasa nyeri. Itu sama sekali bukan mimpi! pekik Aoife dalam hati.

Mimpi buruk yang ia ingat sama sekali bukanlah mimpi. Kejadian yang ia alami semuanya nyata, dan ini kembali membuat Aoife terpukul mengingatnya. Ibu, si kembar Eren dan Erwin, rumah, serta penduduk juga desa tercintanya ... gadis itu merutuki segala hal yang bisa ia rutuk; takdir, Eru, dirinya, para orc, semuanya! Aoife menggigit bibir bawah kuat-kuat, menahan tubuhnya sendiri yang sedang gemetar tak karuan.

Suara pintu ruangan berderak terbuka, menampakkan sosok perempuan rupawan memasuki ruangan dengan raut wajah terkejut bercampur lega. Aoife menoleh, heran sekaligus tertegun akan sosok yang menghampirinya. Rambut pirang bergelombang, wajah cantik dan kulit seputih susu, serta pakaian yang perempuan itu kenakan―semuanya begitu indah. Apa dia bidadari? Apa berarti sekarang aku berada di surga? Pertanyaan-pertanyaan tersebut berkelebat di kepala Aoife. Kalau diingat-ingat, sebelum semua pandangan matanya menjadi gelap dan ia tak sadarkan diri, Aoife tengah melarikan diri dan terus memaksakan diri berlari meskipun kedua kakinya sudah terasa lemas dan dadanya hampir kehabisan napas. Apa ia mati kelelahan saat itu?

Aoife tersadar dari lamunannya begitu mendengar perempuan itu telah berada di samping ranjangnya lalu berseru sambil tersenyum lega, "Kau sudah sadar!"

"Aku ... di mana?" tanya Aoife, tidak menyembunyikan kebingungannya. Perempuan itu berlutut di samping ranjang, menatapnya dengan mata indah yang begitu berbinar, dan mengulas senyum hangat.

"Tenang, kau sudah aman sekarang. Kau sedang berada di healing center Edoras," jawab perempuan tersebut sontak membuat Aoife menganga tidak percaya. Edoras? Dia berada di Ibukota negerinya―Rohan―sekarang! Salah satu tempat termahsyur yang sangat ingin Aoife kunjungi semenjak kecil. Namun, bagaimana bisa ia mencapai tempat ini? Gadis itu kembali memasang ekspresi bingung yang tak diungkapkan.

"Namaku Eowyn, kemenakan King Theodred," ujar perempuan yang memperkenalkan diri sebagai Eowyn itu. Untuk pertama kalinya setelah hal kelam yang Aoife lalui, ia mengulas senyum tipis sambil berpikir bahwa pantas saja perempuan di sampingnya ini begitu cantik, ternyata ia adalah salah satu orang penting di Rohan.

"Aoife, My Lady. Saya berasal dari sebuah desa di Westfold."

"Nama yang indah, Aoife. Kau tak perlu seformal itu padaku. Kupikir ... usia kita tak terpaut jauh?"

Aoife mengangguk setuju. Bagaimanapun kelihatannya, Eowyn dengan dirinya memang terlihat sebaya, dan itu mendatangkan desiran lega pada diri Aoife yang tak ia pahami. Seseorang muncul dari balik pintu, membuat baik Aoife dan Eówyn serentak menoleh.

Seorang pria bertubuh tegap berujar sambil melangkahkan kaki masuk ke ruangan. "My Lady," dia sedikit menundukkan kepala, menunjukkan salam pada Eowyn, "kudengar ia sudah sadar, aku ke mari untuk menengoknya."

Eowyn bangkit, Aoife masih menatap pria tersebut sambil mengernyitkan dahi. "Aku akan mengambilkanmu minum serta obat yang bisa membuatmu merasa lebih baik," pamit Eowyn, sebelum akhirnya beranjak keluar ruangan.

Pria yang muncul itu berambut gelap, menatapnya dengan tatapan meneduhkan. Aura wibawa terpancar dari sang pria begitu dia berjalan mendekati ranjang Aoife. Seseorang tiba-tiba datang lagi dari arah pintu, kali ini menampakkan sosok ... pria? Aoife tak yakin jika hanya sekilas melihat wajah elok, kulit putih dan rambut pirang lurus orang itu yang tampak cantik di mata sang gadis. Tetapi ketika memperhatikan postur tubuh dan dada bidang orang itu, Aoife jadi tidak ragu bahwa dia adalah pria.

"Legolas," sapa lelaki berambut gelap ketika si rambut pirang tiba di sampingnya.

"Dia benar sudah sadar, Aragorn." Pria elok itu memandangi Aoife yang masih terbaring dan bersandar pada dinding ranjang. Saat itu pula mata abu-abu Aoife bertemu dengan mata biru yang menenangkan. Aoife beralih memperhatikan lekuk wajah Legolas dan menemukan fakta bahwa pria tersebut seolah-olah ... flawless. Makhluk macam apa yang begitu sempurna seperti itu? Dan ketika Aoife berpikir demikian, matanya menangkap telinga runcing milik sang pria. Aoife mengerutkan kening lagi.

"Aku Aragorn putra Arathorn, dan di sebelahku ini Legolas, elf dari Kerajaan Woodland." Aragorn si pria berambut gelap memperkenalkan diri, membuat Aoife terperangah. Kedua nama itu begitu asing bagi Aoife, pun juga dengan dua orang yang tengah berdiri di sampingnya kini. Yang membuat gadis itu terkejut lagi adalah fakta bahwa pria bernama Legolas ternyata seorang elf. Aoife pernah membaca bahwa di dunia tempatnya tinggal ini, manusia hidup berdampingan dengan berbagai macam makhluk; elf, dwarf, hobbit, orc, dan lain-lain―tetapi gadis itu belum pernah bertemu dengan macam-macam makhluk tersebut hingga insiden penyerangan desanya oleh orc. Itu pertama kali Aoife melihat makhluk selain manusia. Elf, makhluk indah yang diciptakan dengan memiliki kehidupan abadi, begitu yang tertulis pada buku yang ia baca, kalau Aoife tak salah ingat.

"Kami berdua yang menemukanmu terkapar tak sadarkan diri di padang rumput pada malam hari itu, Nona―"

"Aoife," sahut Aoife cepat. Ia mendengarkan penjelasan Aragorn dengan saksama.

"―Aoife," ulang Aragorn. "Kau terluka cukup parah saat itu, Aoife. Kami sedang berkuda dari Hutan Fangorn menuju Edoras dan memutuskan beristirahat di malam hari ketika kami menemukanmu."

"Berapa hari aku tak sadarkan diri?" tanya gadis itu.

"Kau tak sadarkan diri selama dua hari." Legolas menjawab, membuat Aoife menatap elf tersebut lagi. Aoife terkejut, ia segera mengalihkan pandangan pada balutan lukanya dan memang merasa luka tersebut tak seberapa sakit seperti pertama kali ia rasakan waktu itu. Ia pulih dalam waktu yang terhitung cukup sebentar. Eowyn kembali memasuki ruangan healing center, membawa nampan berisi gelas-gelas dan menaruhnya pada nakas samping ranjang tempat Aoife berbaring.

"Kami menemukan jejak-jejak kakimu di padang, dan berasumsi kau berlari dari arah barat hingga kau tersungkur tak sadarkan diri. Apa yang telah terjadi padamu, Aoife?" Pertanyaan dari Aragorn membuat tubuh Aoife menegang. Pupilnya bergetar, gadis itu tiba-tiba terdiam seribu bahasa. Tangannya tanpa disadari mencengkeram erat kain ranjang hingga menjadikannya kusut. Aoife menarik napas dalam-dalam.

"Aku berasal dari sebuah desa di Westfold. Siang itu desa kami diserbu oleh sekawanan orc." Aoife mulai menjelaskan, membuat ketiga orang di ruangan itu nampak terkejut.

"Orc?" Legolas mengernyitkan kening. Aragorn memandang Legolas, kemudian beralih pada Aoife lagi, mengisyaratkan gadis itu untuk kembali melanjutkan kisahnya.

"Mereka membantai semua orang yang ada di pandangan mereka, tak peduli itu orang dewasa, tua, bahkan anak kecil. Mereka kemudian membumihanguskan desa kami, membakarnya hingga asap hitam mengepul begitu tinggi di udara. Aku melarikan diri dari situasi itu, setelah sebelumnya mencoba nekat menerobos kekacauan, kembali ke rumah dan menemukan seluruh keluargaku menjadi korban. Kedua adikku dibunuh saat mereka hendak menyelamatkan diri ke dalam rumah. Aku menemukan ibu sekarat karena lukanya yang lebih parah dari yang kudapat di perutku ini. Saat itu satu orc menghampiri dan aku melawannya. Aku berhasil membunuhnya, tapi dia juga berhasil menancapkan tombaknya ke tubuh ibuku dan membuatnya meninggal." Aoife berhenti sejenak. Ia menarik napas lagi, menahan agar matanya yang telah berkaca-kaca itu agar tak menitikkan air mata.

"Aku lari ketika terdengar beberapa orc akan datang menghampiri. Aku tidak tahu sudah seberapa jauh dan seberapa lama aku berlari. Aku melihat asap itu masih membubung ketika matahari masih bersinar, hingga malam tiba, aku sudah tak dapat lagi melihat asap itu. Aku akhirnya tahu bahwa aku sudah pergi sangat jauh dari Westfold, dan sadar bahwa sekujur tubuhku terasa lelah sekali hingga kakiku tak sanggup lagi kugunakan untuk berlari," lanjutnya. Gadis itupun mengakhiri penjelasannya dengan menghela napas.

Eowyn tertegun. "Penyerangan tiba-tiba oleh orc di Westfold? Itu sungguh keterlaluan! Kalian tidak bersenjata, tidak diperingatkan ...." Eowyn mengerang frustrasi, tak bisa membayangkan kengerian yang telah terjadi pada salah satu daerah Rohan itu.

"Mereka adalah Uruk-hai, pasukan si Pengkhianat Saruman. Tujuan mereka adalah memusnahkan seluruh peradaban manusia," kata Aragorn. Dia menatap Eowyn di sampingnya dengan tatapan serius dan kalut. "My Lady, Raja Theoden harus segera mengetahui hal ini."

Tepat setelah Aragorn berujar demikian, seorang penjaga tiba-tiba memasuki ruangan dengan tergesa-gesa. "Lady Eowyn, di gerbang!" seru penjaga itu panik. Eowyn segera beranjak dengan jantung yang berdegup kencang.

Eówyn menatap Aoife sebelum pergi meninggalkan healing center, ia berpesan, "Minumlah minuman di gelas itu, Aoife. Kau akan merasa lebih baik dan pulih setelahnya."

Aragorn juga hendak beranjak. Pria itu memandang Legolas. "Aku akan mencari Gandalf dan mengabarkan hal ini padanya. Legolas, temani Lady Aoife untuk sementara waktu, kalau kau tak keberatan," kata Aragorn kemudian menghilang di balik pintu.

☆✴☆

"Jadi kaum elf itu benar-benar ada ya?" celetuk Aoife, memecahkan keheningan yang tercipta semenjak Aragorn dan Eowyn pergi meninggalkan healing center dan menyisakan dirinya dengan seorang elf yang hanya bergeming sedari tadi. Legolas melirik ke arah gadis yang sedang berbaring, dia mengangkat alis.

"Dari sekian tragedi yang telah terjadi padamu, kemudian bertemu pertama kalinya dengan seorang elf, itukah pertanyaanmu, My Lady?" Legolas menatap Aoife dengan tersenyum. Gadis itu tak habis pikir, jadi begitukah ketika elf tersenyum? Alangkah menawannya!

Aoife menggelengkan kepala. "Aku bukan Lady, Tuan elf, sama sekali bukan," sanggah sang gadis, menolak jika dipanggil demikian.

"Semua wanita adalah Lady, Aoife―kalau kau keberatan jika kupanggil seperti tadi. "

"Begitu lebih baik. Lady adalah panggilan untuk wanita-wanita terhormat. Aku sama sekali bukan. Aku ... merasa tidak pantas dipanggil seperti itu."

"Baiklah kalau begitu, Aoife," ujar Legolas menghindari berargumen lebih lanjut. Ellon―sebutan untuk elf pria―itu menghampiri nakas, kemudian meraih gelas yang telah disiapkan Eowyn. "Sebaiknya kau segera meminum ini sesuai pesan Lady Eowyn."

Aoife menerima gelas yang diserahkan Legolas padanya, menatap cairan pekat dalam gelas itu dan mencium aromanya. Gadis itu seketika tersedak. Aromanya begitu menyengat dan tidak mengenakkan seperti air pembuangan. Apa ia harus meminumnya? Aoife seketika ragu.

"Tak ada obat yang enak dan nikmat, tetapi kalau kau ingin cepat pulih maka kau tidak punya pilihan selain meminumnya," kata Legolas membuat Aoife mendengus. Mau tak mau, gadis itu akhirnya meneguk minuman tersebut dengan sekali teguk―sengaja ia lakukan sebab tak ingin meresikokan dirinya jika tak meminumnya sekaligus, sangat tidak baik untuk indera perasanya.

Setelah minum, Aoife bergeming merasakan cairan itu mengalir melalui kerongkongannya kemudian ke perut. Cairan yang ia minum tadi masih hangat, sehingga menghantarkan hangat pada tubuh Aoife setelah meminumnya meskipun rasa minuman itu tidak tertahankan dan membuat matanya menyipit. Kehangatan yang membawa Aoife ke dalam ruang nostalgia.

Memori kembali berputar di benaknya, rasa hangat yang familiar menjalar di sekujur tubuh Aoife. Kehangatan yang tak bisa didapat darimanapun kecuali dari keluarga sendiri. Aoife merindukan kehidupannya yang dulu, yang telah berubah drastis dengan begitu cepat nan tragis. Ia merindukan kelembutan ibu, masakan-masakannya yang hangat, dan segala omelannya. Ia merindukan kebawelan si kembar kecil Eren dan Erwin, mengasuh mereka sebagai satu-satunya kakak sungguh menguras segenap tenaga Aoife, tetapi sungguh, ia begitu menyayangi adik-adiknya itu. Dan sekarang, Aoife tak dapat lagi merasakan kehangatan yang sama seperti dulu. Semuanya telah berubah.

"Legolas, menurutmu, apakah para makhluk laknat itu bisa dimusnahkan?" tanya Aoife dingin. Gelas yang masih berada di tangannya itu dicengkeram dengan kuat.

Legolas tertegun ketika mendapati Aoife bergeming cukup lama seperti itu. Sorot matanya penuh sendu dan pilu, tetapi kemudian berubah menjadi dingin dan penuh kebencian. Ellon itu mengerjap, ia lalu berlutut pada lantai ruangan. Ditatapnya netra abu-abu gadis itu yang masih menatap kosong ke depan. Legolas mengambil gelas yang telah kosong dari genggaman Aoife dan meletakkannya kembali pada nakas. Ia kemudian meraih telapak tangan yang begitu dingin milik gadis yang tengah berbaring itu. Aoife terkejut merasakan sentuhan asing di telapak tangannya, ia lantas menoleh ke Legolas. Untuk yang kesekian kali, matanya kembali bertemu dengan sang pemilik mata biru jernih.

Legolas mengulas senyum kecil, "Cahaya akan datang dan melenyapkan semua kegelapan, Aoife," ujar elf itu lembut sembari menghangatkan telapak tangan Aoife yang dingin dengan kedua tangannya. "Tampaknya, kau butuh udara segar. Mau keluar untuk berkeliling?" Legolas melepaskan kontak tangannya dengan Aoife, kemudian bangkit dari posisi berlututnya.

Aoife bergeming saat ia kembali merasakan desiran hangat. Rasa hangat yang berbeda dari yang pernah ia rasakan sebelumnya―sebuah rasa hangat yang asing namun begitu menenangkan. []

☆✴☆

To be continued

(27/07/19)

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top