Part 9 - Nongkrong
Siang ini Amanda ada janji dengan teman-teman satu kelasnya untuk nongkrong di salah satu kafe guna buang suntuk. Sejenak Amanda ingin melupakan tentang Arsen dan pacar cowok itu.
Sepanjang libur semester yang Amanda jalani, semester kali ini adalah yang terburuk. Sepi. Tidak ada sesuatu yang mengasikkan.
Amanda mengetuk jari-jarinya di meja kafe. Menunggu itu memang membosankan. Oh ayolah, Amanda sudah duduk di kursi kafe itu satu jam lebih ditemani segelas jus jeruk.
Well, salah Amanda juga datang terlalu cepat. Mereka janjian jam tiga siang sementara sejak setengah dua tadi Amanda sudah tiba di kafe. Dia kerajinan. Padahal datang ke sekolah saja Amanda terlambat.
"Mbak, dompet saya ketinggalan. Sumpah, saya nggak bohong."
"Gimana nih, Mbak? Saya nggak bisa kasih izin Mbak pergi gitu aja. Bayar dulu."
"Saya sudah hubungi keluarga saya tapi belum ada yang respon. Biar saya pulang dulu ngambil uang, saya janji bakal balik lagi."
"Nggak bisa, Mbak. Harus dibayar sekarang!"
Perdebatan antara kasir kafe dan seorang pengunjung menarik perhatian Amanda. Ada seorang perempuan yang memohon-mohon pada si kasir untuk diberi izin menjemput dompetnya yang ketinggalan. Ck, trik lama biar nggak bayar.
Tunggu dulu, Amanda merasa tidak asing dengan pengunjung perempuan itu. Bukannya itu Sarah?
"Itu 'kan pacar Arsen?" tanya Amanda dengan suara pelan pada dirinya sendiri.
Benar itu Sarah. Tidak salah lagi. Rambut bergelombang yang cantik itu memang milik Sarah.
Amanda berniat ingin membantu. Namun segera ia urungkan mengingat perempuan itu sudah merebut Arsen darinya.
Merebut? Hei, bahkan dia bukan siapa-siapa bagi Arsen.
"Mbak, harus bayar sekarang," ujar penjaga kasir dengar tegas. Membuat wajah Sarah berubah pias.
"Percaya sama saya, Mbak. Dompet saya memang ketinggalan di rumah. Biar saya jemput, nanti saya bakal balik lagi," suara Sarah terdengar putus asa.
"Coba hubungi lagi keluarga Mbak yang bisa datang ke sini untuk mengantar uang atau dompetnya, Mbak," suruh si kasir.
"Duh, Arsen mana sih?!" Sarah mengerutu sambil mengutak-atik ponselnya.
Amanda memutar bola matanya malas mendengar nama Arsen disebut. Mendadak mood-nya jatuh ke titik terendah.
Sebagai sesama manusia dituntut untuk saling tolong menolong. Amanda punya cukup uang untuk menolong membayar tagihan Sarah. Namun, Amanda tidak ingin melakukannya. Kenapa? Karena orang itu Sarah!
"Gila, macetnya parah banget! Dasar ibu kota." Salah satu teman Amanda akhirnya datang. Retno, namanya. Wajah Retno tampak kusut setelah berjuang melawan kemacetan.
"Lama banget, sih! Gigi gue sampe kering karena nunggu," omel Amanda sebal.
"Ya, maap. Lo juga kerajinan, sih! Janjian jam tiga lo datang setengah dua," balas Retno.
Tak berapa lama teman-teman Amanda yang lain tiba. Ada sekitar tujuh orang yang ikut kumpul siang ini, termasuk Amanda. Bahkan Lila yang baru tiba dari Bali pagi tadi juga ikut kumpul. Lila begitu semangat menceritakan tentang Bali pada mereka.
"Foto ini gue ambil di pantai Kuta." Lila menunjukkan fotonya dengan latar pantai Kuta. Membuat teman-temannya berdecak iri.
"Cantik banget," komentar Amanda.
"Gue memang cantik," sahut Lila penuh percaya diri.
"Pantainya! Bukan elo yang cantik," balas Amanda. Membuat Lila bergumam sebal.
Namun obrolan ringan mereka terganggu oleh perdebatan kecil dari arah kasir. Ternyata Sarah masih belum menyelesaikan masalahnya.
"Mbak, biarkan saya pulang jemput uang dulu. Keluarga saya benar-benar nggak ada yang respon chat dari saya," mohon Sarah.
"Nggak bisa, Mbak! Makanya kalau nggak sanggup bayar itu nggak usah gaya-gayaan makan di kafe." Emosi si kasir yang sejak tadi ditahan akhirnya lepas juga.
Sarah menunduk malu. Ingin melawan namun saat ini posisi dia memang salah. Sarah menelan bulat-bulat makian si kasir.
"Ih, malu-maluin banget," komentar teman Amanda melihat Sarah memohon-mohon pada si kasir.
"Kayaknya gue bawa uang lebih deh. Gue bayarin aja kalau gitu." Lila bersiap untuk beranjak dari duduknya.
Sebelum Lila melangkah, seseorang dengan langkah lebar muncul dari pintu masuk kafe. Arsen, laki-laki itu terlihat panik. Matanya menjelajah ke seluruh penjuru kafe, dan berhenti tepat di mana tempat Sarah berdiri.
Arsen segera menghampiri. "Kamu gapapa?" Kalimat pertama yang terdengar dari bibir Arsen.
Sarah mengaduh sebal, lega juga. "Kamu kok lama banget, sih? Aku udah hubungin dari tadi."
"Maaf tadi aku ketiduran dan baru baca chat dari kamu," sesal Arsen. Kemudian Arsen mengalihkan pandangannya pada si kasir kafe. "Semuanya berapa, Mbak?" tanyanya.
Setelah mendengar total tagihan Sarah, Arsen segera mengeluarkan dompetnya. Ia memberikan selembar tukaran seratus ribu pada kasir kafe itu.
"Lain kali kalau mau keluar ajak aku. Lihat kan apa yang terjadi? Jangan keluar sedirian!" nasehat Arsen. Mereka mulai berjalan beriringan meninggalkan kafe, tanpa menyadari kehadiran Amanda dan rombongan.
"Aku nggak enak ngerepotin kamu terus. Dari kamarin kamu udah temani ke sana-sini keliling Jakarta," sesal Sarah. Itu kalimat terakhir yang didengar Amanda dan teman-temannya sebelum Arsen dan Sarah hilang di balik pintu kafe.
"I-itu siapanya Arsen?" tanya Lila dengan nada takjub.
"Dia pacarnya Arsen," jawab Amanda dengan anda malas. Sebisa mungkin ia menyembunyikan rasa sakit hatinya
"Pacar?" Teman-teman Amanda menjerit kompak.
Amanda mengangguk sambil menghela napas.
"Tapi, bukannya kemarin lo bikin story sreenshot Arsen kirim tanda love sama lo?" tanya teman Amanda yang biasa di panggil Lusi.
"Dia cuma salah kirim," jawab Amanda pelan. Harus Amanda akui ia malu mengakuinya. Hei, sejak kapan Amanda punya rasa malu?
"Laaaah?" Teman-teman Amanda bersorah kecewa.
_o0o_
"Gue suka diskon!" Amanda berseru girang.
"Jangan keras-keras ngomongnya, Manda. Entar orang-orang dengar kalau kita lagi berburu barang diskon." Lila berbisik pada Amanda.
Amanda dan teman-teman satu kelasnya melanjutkan acara nongkrong mereka di sebuah mall. Mereka keliling mall berburu barang diskonan yang sesuai dengan harga kantong pelajar.
Sebagai perempuan mereka tidak bisa menahan diri untuk tidak berbelanja jika sudah di mall. Naluri wanita namanya.
Amanda dengan riang meneteng paper bag berisi baju dengan model terkini. Amanda langsung membeli tiga potong karena diskon yang ditawarkan toko tempatnya berbelaja mencapai 70 persen.
"Lho, itu Arsen sama pacarnya." Tunjuk salah satu teman Amanda.
Amanda mengikuti arah pandang temannya. Sekitar lima meter di hadapan mereka ada Arsen dan Sarah yang berjalan dari arah berlawanan. Arsen tertawa ringan kala mendengarkan Sarah bicara, bahagia sekali.
Bibir Amanda mengerut sebal. "Sok bahagia banget," sinisnya.
"Cemburu menguras hati." Lila geleng-geleng kapala.
"Sebel gue," Amanda berdesis sambil mengambil langkah, ia berjalan menuju Arsen dan Sarah. Kemudian saat berpapasan Amanda sengaja menabrakkan bahunya ke bahu Sarah.
Ya ampun drama banget hidup gue, Amanda berkomentar dalam hati atas tindakannya.
"Maaf, maaf! Gue nggak sengaja," ujar Amanda dengan ekspresi sok polos tanpa dosa.
Gue udah kayak pemeran antagonis. Muka imut-imut manja kayak gue mana cocok jadi orang jahat, batin Amanda.
"Iya, gapapa." Sarah tersenyum. Tatapan matanya lembut, tak ada amarah di sana.
Ekpesinya tulus banget, batin Amanda. Pantas Arsen suka.
"Lain kali hati-hati!" Suara Arsen terdengar dingin.
"Lho, kamu temannya Arsen, kan? Kita pernah ketemu di pasar," kata Sarah dengan nada antusias.
Amanda tersenyum kaku. "Bukan! Gue bukan teman Arsen. Kami nggak salig kenal."
Arsen melirik sekilas mendengar kebohongan dari Amanda. Penggila terbesarnya itu sedang cemburu saat ini.
"Aku nggak mungkin salah orang. Kamu Amanda, kan? Arsen sering cerita kamu suka ganggu dia --"
"Udah gue bilang, gue bukan Amanda!" Tanpa sadar Amanda membentak. "Gue bukan Amanda! Dan gue bukan temannya Arsen!"
Amanda berbalik. Dia melangkah pergi dari sana dengan perasaan yang meledak-ledak. Cemburu memang tidak enak. Menyakitkan.
Gue bukan teman Arsen! Tapi gue calon istrinya! Calon masa depannya! Amanda membatin. Sementara itu teman-temannya hanya geleng-geleng kepala menyasikan adengan penuh drama itu.
Tbc
Makasih udah mampir ❤
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top