Part 54 - Ada hati yang terluka
Cukup aku yang mencintaimu, menyayangimu, dan merindukanmu.
Kau tidak perlu.
Karena kau terlihat bahagia tanpaku.
-A-
~o~
"Afgan?" Amanda merasa pasokan udara menipis. Dadanya berdenyut sebentar.
"Afgan minta gue untuk sampaikan pesan ini, kalau dia nunggu lo di depan gerbang sekolah," siswa yang bernama Lian itu menyampaikan pesan sesuai dengan apa yang Afgan katakan.
"Maaf, tapi Amanda nggak akan datang ke sana. Bilang pada Afgan kalau --"
"Gue mau ketemu Afgan," Amanda memotong perkataan Arsen.
"Amanda," ujar Arsen tidak percaya. Sorot mata Arsen menyiratkan kekecewaan.
"Gue mau ketemua Afgan," ulang Amanda sekali lagi, tanpa pamit ia melangkah pergi begitu saja. Meningalkan Arsen dengan luka.
Arsen kecewa untuk kesekian kali pada Amanda. Terluka dalam. Tidak perlu diragukan rasa Arsen untuk Amanda, sebab saat seorang laki-laki merasakan kekecewaan yang memdalam pada seorang perempuan, saat itulah dipastikan perempuan itu orang yang sangat dicintainya.
_o0o_
Jantung Amanda berdetak tidak karuan. Matanya bergerak liar sesampainya di depan gerbang sekolah, Amanda mencari keberadaan Afgan.
Lega menyelimap di hatinya kala indra penglihatannya menangkap sosok laki-laki yang sejak lama hilang. Tubuh tinggi itu. Wajah tampan itu. Benar, sosok Afgan benar-benar nyata.
Afgan tersenyum ketika bertemu pandang dengan Amanda. Sejenak keduanya saling tatap dalam perasaan rindu. Secara naluriah kaki Amanda mengayun menghampiri.
"Akhirnya," lirih Afgan begitu Amanda berdiri tepat di hadapannya.
Amanda tidak bereaksi. Amanda ingin memastikan ini semua bukan ilusi.
"Hei, biasa saja melihatnya. Aku tahu, aku memang tampan," canda Afgan.
Mata Amanda berkedip lucu. "Afgan," ungkapnya pelan.
"Amanda," sahut Afgan.
"Ini benar lo?" Amanda tepuk bahu Afgan dengan keras, membuat laki-laki itu meringis.
"Ini benar aku. Kenapa? Aku semakin tampan, ya?" Afgan kembali bercanda.
Sudut mata Amanda berair tanpa diminta. Entah harus dengan kata apa Amanda mengungkapkan perasaannya saat ini. Amanda lega, Afgan sudah kembali.
"Lo ke mana aja, sih? Gue khawatir tau," Amanda pukul bahu Afgan dengan kuat, lagi.
"Aduh," ringis Afgan sok kesakitan.
"Kenapa pergi tiba-tiba?! Mana cara perpisahannya sok dramatis banget. Nggak lucu tahu!" omel Amanda.
Afgan tersenyum tanpa dosa, menampilkan deretan giginya yang rapi dan bersih. Ugh, tampan.
"Aku pergi untuk cari kakak ipar baru buat Dita. Tapi nggak juga dapat sampai sekarang," ujar Afgan sambil melirik sebuah kereta bayi di sampingnya. Kereta bayi yang luput dari pengawasan Amanda.
Mata Amanda menoleh ke sisi samping Afgan. Sebuah kereta dorong bayi ada di sana. Amanda tatap benda tersebut dengan sorot penuh tanya.
Afgan buka tudung penutup kereta bayi. Ada sosok kecil di sana. Imut sekali.
"Namanya Dita. Adikku," jelas Afgan.
Amanda mengalihkan tatapannya pada Afgan. Masih dengan pandangan tidak percaya.
"Anak Luna?" tanya Amanda tidak yakin.
"Anak Luna dan papa. Adikku," lugas Afgan, tanpa rasa malu.
Amanda kembali mematap si bayi kecil. Kali ini dengan pandangan takjub.
"Usianya kurang-lebih tiga bulan. Cantik, bukan? Seperti abangnya," ungkap Afgan dengan nada jenaka.
"Di mana Luna?"
Sorot jenaka Afgan berganti sedih. Ada luka yang tersirat. "Dia pergi."
"Pergi? Ke mana?" Amanda mulai berpikir buruk. Bukankah sangat jahat jika Luna pergi meninggalkan putrinya?
"Luna pergi selamanya saat melahirkan Dita. Luna meninggal."
Amanda terkejut bukan main. Ya Tuhan, banyak hal yang Amanda lewatkan tentang Afgan dan Luna beberapa bulan ini. Segalanya berubah dengan cepat. Takdir bermain tanpa dapat dihentikan.
"Sejak awal kandungan Luna memang lemah. Dia masih terlalu muda, rahimnya masih lemah. Namun, dengan penuh rasa tanggung jawab Luna tetap ingin mempertahankan Dita kala itu. Padahal dokter sudah menyarankan untuk menggugurkan kandungannya saja," cerita Afgan.
"Karena itu dulu aku sangat perhatian pada Luna, dan membuat kamu salah paham," tambah Afgan.
Amanda merasa bersalah. Amanda baru menyadari, dulu dia begitu egois. Dan hati Amanda tersentil ketika mengingat dulu ia pernah menghina Luna dengan sebutan barang rusak.
"Gue memang egois," sudut mata Amanda mengalirkan air mata yang sejak tadi ia tahan.
"Nggak perlu disesali. Semua ini memang takdir," ujar Afgan bijak.
Amanda berjongkok di depan kereta bayi. Matanya menelusuri bayi kecil yang berstatus sebagai adik Afgan itu. Amanda tidak berani menyentuh, ia merasa berdosa.
"Btw, hari ini penerimaan rapor?" Afgan mengalihkan pembicaraan.
"Hmmm, gue peringkat tujuh di kelas," Amanda bergumam dengan fokus tertuju kepada adik Afgan, Dita.
"Itu bagus. Aku peringkat satu di kelas dan juara umum. Minggu kemarin sekolahku menerima rapor. Aku hebat, bukan?" Afgan membanggakan dirinya, laki-laki ini tidak berubah. Tetap jenaka.
Amanda berdecih mendengar pernyataan Afgan yang kelewat narsis.
"Dita cantik seperti ibunya," Amanda mengomentari wajah kecil Dita.
"Dan tampan seperti abangnya," tambah Afgan.
Amanda kembali berdiri. Ia pukul kembali bahu Afgan dengan keras. "Percaya diri banget, sih!" omelnya.
"Sakit," rajuk Afgan. "Kalau tulang aku lepas karena kamu pukul, gimana?"
"Biarin, sih! Bodo amat!"
"Oh iya, kabar yang lain gimana? Semua baik? Arsen?" tanya Afgan beruntun. Sejak pergi jauh ia hilang kontak dengan semua orang, hal itu memang sengaja Afgan lakukan.
Amanda menepuk jidatnya ketika Afgan menyebut nama Arsen. "Ya ampun, gue lupa. Harusnya gue pulang bareng Arsen. Gue pergi dari dia begitu saja tadi."
Afgan tidak tahu harus bereaksi seperti apa. Kedengarannya Amanda cukup dekat dengan Arsen. Dan harus Afgan akui dia tidak senang dengan hal itu.
"Kalian sering pulang bareng?" tanya Afgan.
"Iya," jawab Amanda jujur. Memang seperti itu adanya.
"Apa lo buru-buru? Gue masih mau cerita banyak sama lo. Tunggu di sini! Gue samperin Arsen sebentar, dan izin untuk pergi bareng lo." Amanda bersiap memasuki gerbang sekolah. Namun, langkahnya terhenti.
Mobil milik Arsen keluar dari gerbang. Melaju dengan cepat. Pergi begitu saja. Melintasi tempat Afgan dan Amanda berdiri begitu saja. Amanda tatap kepergian mobil Arsen dengan perasaan sulit diartikan.
Apa Arsen marah?
Harus Amanda akui dia manusia yang paling cereboh. Tidak pandai menjaga perasaan orang lain. Amanda terlalu bertindak buru-buru tadi. Pergi begitu saja tanpa berpikir dua kali, sudah sering Amanda lakukan hal ini pada Arsen.
"Kenapa kamu harus minta izin dari Arsen?" suara Afgan seperti berbisik.
Amanda alihkan pandangannya dari jalanan yang baru saja di lewati mobil Arsen.
"Kalian pacaran?" kali ini suara Afgan terdengar menuntut penjelasan.
-o0o-
Arsen: Gue gk apa kalau lo memang lebih bahagia sama dia
Isi chat dari Arsen membuat perasaan Amanda campur aduk. Sudah lima menit lebih Amanda baca pesan tersebut berulang kali, memastikan bahwa ia tidak salah tanggap isi pesan itu.
"Pesimis banget sih," nyinyir Amanda pelan.
"Kamu bilang apa?" Afgan yang sedang menyetir melirik pada Amanda.
Afgan menyetir dengan posisi Dita dalam gendongan di depannya. Bayi kecil itu merasa hangat dalam gendongan bayi model kangguru yang Afgan gunakan.
Hari ini jalanan ibu kota padat. Maklum saja, ini hari pertama anak sekolah libur. Beberapa kendaraan beroda dua didomimasi oleh pengendara berseragam putih abu-abu yang bersiap pergi bermain di hari terakhir semester ini.
"Biar Dita gue yang gendong kalau lo kerepotan," tawar Amanda.
"Nggak masalah, nanti kamu kerepotan. Aku udah biasa," jawab Afgan dengan senyuman menyakinkan.
Amanda tidak melanjutkan komunikasi perihal gendong-menggendong. Afgan sejak tadi menolak niat baiknya dengan alasan takut merepotkan.
"Amanda?" panggil Afgan.
"Hmmm," sahut Amanda.
"Kamu belum jawab pertanyaanku. Kamu pacaran sama Arsen?" tuntut Afgan.
Amanda alihkan pandangannya pada jalanan. Sementara ponselnya kembali ia simpan dalam saku rok abu-abu.
"Lo tinggal di mana sekarang?" Pertanyaan Afgan ia jawab dengan pertanyaan juga.
"Jangan mengalihkan pembicaraan, Amanda!" lugas Afgan.
Helaan napas terdengar dari bibir Amanda. Bukan tidak ingin menjawab, namun Amanda takut jawabannya akan membuat Afgan sakit hati. Dari sorot mata laki-laki itu Amanda dapat menyimpulkan bahwa Afgan masih menyimpan rasa yang begitu besar padanya.
"Amanda," Afgan menuntut sebuah jawaban.
"Kami nggak pacaran," jawab Amanda. Membuat senyuman Afgan tercipta.
"Syukurlah," tanpa sadar Afgan bergumam.
"Tapi, gue suka sama Arsen. Dan dia juga begitu. Kami sama-sama berjanji akan menjadi jodoh di masa depan nanti."
Dan senyuman itu seketika luntur. Wajah Afgan berubah pias. Hampir saja fokusnya hilang pada jalanan jika Afgan tidak segera mengendalikan diri.
"Itu terdengar lebih menyakitkan," lirih Afgan.
Amanda tidak memberi respon.
"Ah, sayang sekali, Dita. Abang sepertinya harus mencari kakak ipar baru untuk kamu," cerita Afgan pada Dita, adiknya.
Amanda tahu, Afgan terluka.
"Tapi sebelum janur kuning melengkung, kita masih punya kesempatan," tambah Afgan.
"Apa?!" Amanda terkejut.
"Bolehkan aku berjuang sekali lagi untuk kamu?" tanya Afgan dengan kalem.
Tbc
Makasih udah mampir 😁
Di part sebelumnya banyak yg bully Afgan.. kasian deh babang ganteng Afgan 😢😢
Dikit lagi end 🙌🙌
⚠awas typo⚠
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top