Part 43 - Katakan dengan indah

"Putus? Semudah itu kamu minta putus?" tanya Afgan dengan nada tidak percaya.

Amanda membuang pandangannya dari Afgan. Ia enggan menjawab.

"Kamu bilang aku sayang sama Luna lebih dari keluarga. Ternyata kamu benar-benar belum paham bagaimana aku."

"Bukan gue nggak paham gimana perasaan lo. Tapi kenyataan bahwa lo yang terus saja ingkar janji dan menomor duakan gue bikin hati ini sakit. Awalnya gue coba mengerti situasi yang terjadi antara lo dan Luna, tapi semakin ke sini, semakin terasa memuakkan," itu adalah kalimat terjujur dari hati Amanda.

"Kamu sendiri yang mau situasi ini, Amanda. Aku sudah pernah bilang untuk pergi jauh, kamu yang ingin tetap tinggal," ungkap Afgan.

Amanda terdiam sejenak. "Ya, ini memang salah gue. Harusnya dari awal gue pergi dari hidup lo."

Afgan tersenyum sinis. "Semudah itu kamu berkata-kata, Amanda? Aku salah menilai kamu. Aku pikir kamu paham situasi yang sedang aku hadapi. Seenaknya kamu menghakimiku dengan argumen kalau aku sayang sama perempuan lain."

"Itu fakta! Lo bertindak, dan gue menilai. Gue menilai lo suka sama Luna," tuding Amanda.

"Orang lain boleh menilai, tapi yang tahu diri ini adalah diriku sendiri. Ya, aku sayang sama Luna."

Bola mata Amanda melebar. Tidak menyangka Afgan akan mengakui itu dengan mudah.

"Aku sayang sebagai keluarga. Kamu harus paham itu!" tambah Afgan.

Ponsel milik Afgan yang ada di saku celananya tiba-tiba berdering. Sejenak perdebatan keduanya terhenti. Segera Afgan ambil ponsel tersebut. Luna menelepon.

Sekilas Afgan melirik pada Amanda sebelum menjawab panggilan itu. Tanpa meminta izin dari Amanda, Afgan angkat panggilan dari Luna.

"Afgan, orangtuaku udah sampai di Jakarta. Sekarang mereka dalam perjalanan ke rumah," Luna memekik heboh dari seberang sana. Suaranya terdengar ceria.

Afgan tersenyum samar. "Baik, aku segera pulang."

"Ya! Pergi aja sana! Gue nggak peduli!" sambar Amanda marah. Amanda tidak ambil pusing kalau Luna mungkin saja mendengar suaranya melalui telepon. Lalu Amanda melangkah pergi.

Afgan mematikan telepon tanpa kata-kata perpisahan yang pantas. Amanda sudah pergi beberapa langkah darinya . Segera ia kejar perempuan itu.

"Amanda." Afgan menarik pergelangan Amanda, berhasil, perempuan itu akhirnya menghentikan langkah.

Amanda menghela napas. Menenangkan diri dan coba untuk tidak tertawa emosi. Amanda lepaskan tangannya dari genggaman Afgan, kemudian dia berbalik dan menatap Afgan dengan tatapan memelas.

"Gue mau putus, Afgan. Hargai keputusan gue ini," ungkap Amanda dengan tenang, walau kedua sudut matanya berair. Bagaimana pun melepas seseorang yang disayangi itu selalu menyakitkan.

"Amanda," Afgan kehilangan kata.

"Gue nggak sesabar yang gue bayangkan. Awalnya gue pikir bukan masalah lo dekat sama Luna, ternyata nggak sesimpel itu," Amanda menunduk.

"Gue sakit hati sama sikap lo!" tambah Amanda.

Hati Afgan tercubit, sakit melihat perempuan yang sangat ia dambakan lemah seperti ini. Sialnya lagi, ia adalah penyebab kesedihan Amanda.

"Kita putus!" Amanda menutup perdebatan mereka.

_o0o_

Amanda duduk di halte yang tidak jauh dari sekolahnya. Pandangan Amanda lurus ke depan pada satu titik yang terlihat jauh. Sakit hatinya terlalu dalam.

Hari ini langit sedikit mendung, gerimis menyapa. Orang-orang berjalan tergesah-gesah mencari tempat berteduh. Kesibukan sekitar terlihat tidak berarti di mata Amanda, sore ini Amanda sibuk dengan kesedihannya.

Di sudut jalan ada mobil Arsen. Sekitar sepuluh meter dari halte tempat Amanda duduk. Mata Arsen tak lepas dari Amanda yang termenung. Sungguh, Arsen tidak menyangka perempuan heboh seperti Amanda ternyata memiliki perasaan sedih.

Well, Arsen menyaksikan pertengkaran antara Afgan dan Amanda. Dari awal hingga akhir. Tidak ada yang Arsen lewatkan. Karena terlalu sibuk dengan pertengkaran hingga membuat Afgan dan Amanda tidak menyadari kehadiran Arsen yang juga duduk di salah satu kursi taman.

"Hah," Amanda menghela napas. Bahunya melorot tak semangat.

Amanda bangun dari duduknya, dengan langkah ogah-ogahan ia berjalan menuju angkutan umum tujuan daerah komplek perumahannya.

Seiring dengan angkutan umum yang bergerak maju, mobil Arsen juga ikut bergerak. Arsen akan mengantar pulang Amanda. Tolong dicatat dengan baik, Arsen akan mengantar pulang Amanda.

Secara tidak langsung.

_o0o_

"Nak Amanda." Bu Asih menghampiri Amanda dengan tergesah-gesah. "Kenapa pulang terlambat? Masakan buat nak Afgan hampir dingin."

Ibu Amanda keluar dari arah dapur. Wanita karir itu terlihat cantik dengan stelan rumahan, namun tetap modis. Wajah ibu Amanda terlihat bersemangat.

"Afgannya mana, Sayang?" tanya ibu Amanda.

Bola mata Amanda memutar. Ia tatap sang ibu dan bu Asih dengan malas.

"Nak, Ibu masakkan sup ayam buat nak Afgan. Kira-kira dia suka, nggak?" bu Asih bertanya.

"Mama juga minta Bu Asih untuk masak ikan bakar. Ah, Papa kamu juga akan pulang cepat hari ini. Dia ingin bertemu Afgan," sambung ibu Amanda.

Uh, Amanda tidak tahu lagi harus seperti apa menjelaskan situasi ini.  Hei, ada apa dengan semua orang? Apa hebatnya Afgan hingga harus disambut  semeriah ini oleh keluarganya? Oh ayolah, harus Amanda akui Afgan itu memang baik. Itu yang membuat Amanda memilih untuk bertahan, kemarin.

"Lebih baik ibu sajikan cemilan dulu, atau langsung makan saja?" bu Asih kembali bertanya.

"Afgan mana?" tanya ibu Amanda sekali lagi.

"Kami udah putus!" tanpa sadar Amanda memekik marah. Lalu ia pergi ke dalam kamar dengan langkah menghentak.

Ibu Amanda dan bu Asih terdiam. Mereka terkejut. Keduanya saling lirik.

Putus?

"Mereka putus?" tanya ibu Amanda entah pada siapa.

"Memangnya mereka pacaran?" tanya ibu Amanda, kali ini pada bu Asih.

Bu Asih sontak mengangguk mantap.

"Kenapa saya tidak tahu?" Dan pertanyaan yang satu ini ibu Amanda tanyakan pada dirinya sendiri.

Bagaimana ibu Amanda bisa tahu update terbaru tentang anaknya, sementara ia sendiri sibuk dengan bisnis.

_o0o_

Arsen memarkirkan mobilnya di depan pagar rumah Amanda. Jam sudah menunjukkan ke angka delapan. Dan hari semakin gelap.

Khawatir, tentu saja Arsen khawatir. Amanda sedang bersedih, namun ia tidak bisa berbuat apa-apa. Tidak salah Sarah selalu memaki kebodohan Arsen, karena sikapnya yang sok mengalah membuatnya selalu kalah. Harus diakui bahwa Arsen memang bodoh dalam hal cinta.

"Halo," Arsen mengangkat telepon. Ponselnya tiba-tiba berdering.

"Gue lagi sedih. Lo mau nggak ngehibur gue?" ujar seseorang melalui sambungan telepon.

Tbc
.
.
.
Awas ada typo ya 😊
Mampir dong di ceritaku THE GREATEST DADDY
👇
👇

"Tapi gue bukan ayah anak itu! Apa gue pernah tidur sama lo? Tidak, bukan?!"

Dira menggeleng untuk menjawab Bayu.

"Jadi lo bisa pikir pakai otak lo, kalau gue bukan ayah anak itu" bantah Bayu keras.

"Pura-pura jadi ayahnya apa lo nggak bisa? Tolong jangan hancurkan hatinya," mohon Dira.

Rahang Bayu mengeras. Otaknya dipenuhi pikiran buruk tentang Dira.

"Apa dia anak dari sebuah kesalahan. Dimana ayahnya? Melihat dari apa yang terjadi, gue bisa narik kesimpulan lo bukan cewek baik-baik."

Cek kelanjutanya di lapak sebelah
👉👉👉👉

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top