Part 33 - Sebuah pelukan

Siapa bilang mencintai hanya soal bahagia, saling mengerti, dan percaya maka segalanya akan indah. Nyata tidak, mencintai tidak sesederhana itu. Butuh kata yang lebih dari sekedar pengorbanan.

Sebelumnya Amanda berpikir bahwa mencintai itu sangat sederhana. Dapat bersatu dan bersama. Maka selesai dan dapat dikatakan saling mencintai.

Nyatanya tidak.

"Afgan," ujar Amanda dengan nada tidak yakin.

Amanda melihat secara bergantian pada Afgan dan satu lagi perempuan yang tidak Amanda ketahui namanya. Keduanya berdiri layaknya tersangka di hadapan Amanda.

"Amanda," gumam Afgan nyaris tidak terdengar. "Kenapa kamu ada  di sini?"

"Siapa dia?" Amanda rasa menjawab pertanyaan Afgan bukan sesuatu yang penting. Ia lebih memilih untuk mencari tahu siapa perempuan yang telihat begitu intim dengan Afgan.

"Apa lo yang bernama Amanda?" sela perempuan itu.

"Amanda, sebaiknya lo pulang sekarang." Retno berusaha untuk menarik tangan Amanda, namun ditepis.

"Siapa dia Afgan?!" tanya Amanda dengan nada marah. Pikiran buruk tentang Afgan mulai menggerogoti benak Amanda. Entah kenapa Amanda merasa dikhianati.

"Amanda," panggil Afgan pelan. Dengan tertatih ia hampiri Amanda.

"Dengarkan dulu penjelasanku," bujuk Afgan.

"Apa yang mau lo jelaskan?! Gue hanya tanya siapa dia?!" tekan Amanda tidak sabaran.

"Dia Luna."

Oh, jadi ini perempuan yang bernama Luna itu. Perempuan yang selalu Afgan tutupi keberadaannya. Kini akhirnya Amanda melihat dengan mata dan kepalanya sendiri.

"Boleh gue tahu apa hubungan kalian? Gue lihat kalian sangat akrab." Amanda masih tak puas dengan jawaban Afgan.

"Dia --" Afgan enggan melanjutkan kalimatnya.

"Dia siapa?!" tanya Amanda.

"Pacarku," Afgan menunduk tidak berani untuk menatap mata Amanda. Walau lirih, suaranya terdengar  tegas.

Amanda tertawa lepas tanpa makna.
Kedua sudut mata Amanda berair. Lelucuan yang sangat lucu. Ah, tidak, ini bukan lelucuan. Ini kisah cinta Amanda yang menyedihkan.

"Udah gue duga." Sisa tawa Amanda masih terdengar. Dengan gerakan pelan Amanda hapus sudut matanya yang berair.

"Amanda, aku minta maaf."

"Tutup mulut busuk lo itu! Dasar sialan!" maki Amanda.

"Afgan tidak salah di sini," ujar Luna. Ia mengambil langkah maju untuk membela Afgan.

"Apa? Afgan tidak salah di sini?! Lalu siapa yang salah? Gue maksud lo? Gue yang salah karena hadir di antara kalian?" amuk Amanda, emosinya meluap. Wajah Amanda telihat memerah.

"Iya! Lo orang ketiga di sini. Jadi lo tidak memiliki hak untuk marah!" Mata Luna menyorot tajam, seolah enggan untuk kalah.

Dan harga diri Amanda terluka dalam. Kata orang ketiga terdengar hina di telinga siapa pun yang mendengarnya.

"Kurang ajar lo." Tangan Amanda bergerak naik untuk memukul Luna. Namun suara yang berasal dari dua orang mengalun cepat, menghentikan tindakan Amanda.

"Jangan!" larang Afgan tegas.

"Jangan pukul Luna!" Retno ikut-ikutan menghentikan tindakan Amanda.

Tangan Amanda mengambang di udara. Hatinya benar-benar sakit saat ini. Amanda ingin menangis, namun ia tidak boleh melakukannya di hadapan orang-orang terkutuk ini. Amanda harus tetap berdiri tegak dan mengangkat tinggi dagunya.

"Apa kalian membela perempuan ini?" tanya Amanda sinis pada Retno dan juga Afgan.

Mereka bungkam.

"Jawab! Kalian lebih peduli dia?!" tanya Amanda dengan nada tinggi.

"Jangan sakiti Luna."

Penyataan Afgan benar-benar menghancurkan hati Amanda. Pada akhirnya Amanda kalah. Dagu yang semula terangkat tinggi, kini merosok jatuh, dan akhirnya Amanda tertunduk dalam.  Pertahanan Amanda runtuh.

"Jangan sentuh Luna seujung kuku pun," tambah Afgan.

Amanda kembali tertawa sumbang. Sudut matanya yang berair mulai menganak sungai. Amanda menangis, tanpa isakan.

"Ya ampun, menyedihkan sekali hidup ini," ujar Amanda sambil membuang napas. Ia mencari kekuatan yang masih tersisa.

"Ah, gue rasa hanya hidup gue sendiri yang menyedihkan di sini," sanggah Amanda sambil menghampus kasar air matanya.

Afgan, Retno, bahkan Luna tidak berbuat apa-apa. Mereka diam menyaksikan Amanda yang berdiri sok tegar. Bukan mereka tidak paham akan luka Amanda, namun mereka tidak tahu cara untuk menghilangkan rasa sakit itu.

Afgan sendiri membatu. Jujur, ia merasa tidak berguna. Tidak seharusnya Afgan menempatkan Amanda pada posisi sulit seperti sekarang. Afgan akui ia salah.

Amanda membuang napas. Ia ambil tas ransel miliknya yang ada di atas sofa.

"Oke, gue pamit pulang kalau begitu," tutur Amanda, tak lupa ia tersenyum miris.

"Amanda," panggil Afgan parau.

"Jangan sebut nama gue dengan nada menyedihkan seperti itu!" jawab Amanda sinis.

"Kita perlu bicara," ujar Afgan.

"Gue nggak sudi! Well, terima kasih untuk hari ini. Sia-sia rasa khawatir gue untuk lo!" Mata Amanda mendelik marah, kesal, dan benci. Semua menjadi satu.

"Kita putus!" tandas Amanda.

Amanda mulai melangkah pergi. Namun tangan Afgan tidak kalah cepat untuk mencekalnya.

"Tidak semudah itu kamu bisa pergi dari hidupku, Amanda!" Mata Afgan yang semula sarat akan kefrustasian kini berubah tajam.

Amanda meringis. Cekalan tangan Afgan terlalu kuat. Amanda coba berontak, namun Afgan tidak melepaskan.

"Kamu bisa pergi saat ini. Tenangkan dirimu. Tapi, jangan harap kamu bisa lari dariku," desis Afgan tajam. Membuat Amanda merasa takut.

"Maaf, aku nggak bisa ngantar kamu pulang. Hati-hati di jalan," Afgan menutup kalimatnya dengan senyuman. Itu senyuman paling mengerikan yang pernah Amanda lihat.

_o0o_

Setelah pulang sekolah Arsen mampir terlebih dahulu di rumah sang tante, atau rumah keluarga Sarah tepatnya. Arsen patut diberi predikat sebagai sepupu yang baik sebab telah mau menemani Sarah pergi berbelanja di super market depan komplek. Bahkan Arsen membawakan kantong belanjaan dan tidak membiarkan Sarah kelelahan.

Kurang apa lagi coba?

"Arsen!" Sarah mendadak menghentikan langkahnya. Well, mereka pergi hanya dengan berjalan kaki.

Arsen ikut berhenti. Ia tatap Sarah dengan penuh tanya. "Apa?" tanya Arsen.

"Itu, tuh!" tunjuk Sarah pada sesuatu yang ada di taman komplek.

Arsen mengikuti arah tunjuk Sarah. Di taman komplek yang terlihat sepi di sore yang mendung ini ada Amanda yang sedang duduk pada salah satu kursi taman. Amanda sedang menangis di sana.

Tunggu dulu. Menangis?

"Itu Amanda, kan?" tanya Sarah memastikan.

Arsen mengangguk. "Itu memang dia."

"Samperin, gih! Dia lagi nangis, tuh. Ini kesempatan kamu cari muka," suruh Sarah.

"Tapi Amanda lagi marah karena masalah Afgan," bisik Arsen pelan, ia mencoba untuk tidak peduli namun matanya tidak lepas dari Amanda.

"Sini belanjaannya." Sarah tarik paksa kantong belanjaan dari tangan Arsen. "Sana samperin!" suruh Sarah.

"Tapi," Arsen coba beralasan.

"Samperin!" titah Sarah tegas. Membuat Arsen mengalah, dan pada akhirnya ia berjalan mendekati Amanda. Pelan dan terlihat tidak yakin.

Arsen berdiri tepat di hadapan perempuan itu. Amanda yang menangis sambil menunduk tidak menyadari kehadirannya. Membuat Arsen bingung sendiri. Hingga pada akhirnya Arsen memilih duduk di sisi Amanda.

"Amanda, lo lagi nangis?" tanya Arsen gugup.

Ya tentu saja Amanda sedang menangis. Memangnya apalagi? Terkadang Arsen ini lawak.

"Amanda," panggil Arsen dengan nada berbisik.

Amanda tidak menjawab. "Hiks, hiks, hiks," hanya suara isakan itu yang keluar dari bibir Amanda.

"Dia jahat," ujar Amanda di antara isakannya. Amanda simpan kepalanya dalam-dalam.

"Cup, cup, cup," bujuk Arsen kaku. Ia tepuk bahu Amanda sebanyak dua kali.

"Huaaaaa," isakan Amanda semakin keras.

Ya kali, membujuk orang dewasa seperti itu. Sekali lagi, terkadang Arsen lawak.

"Gue benci dia," isak Amanda. Walau tangisan Amanda terdengar lebay, namun kepedihan masih dapat terbaca dalam suaranya.

Arsen menggaruk tengkuk. Ia bingung. Harus seperti apa membujuk orang yang sedang menangis agar diam?

Di beri tisu? Ah, Arsen tidak punya tisu.

Apa dengan mengatakan cup, cup, cup? Arsen sudah mencoba, namun tangisan Amanda semakin menjadi.

Lalu harus seperti apa?

Arsen terus memeras otaknya yang super jenius. Mencari cara tercepat agar Amanda bisa berhenti menangis. Dan satu ide terlintas di benak Arsen.

Dengan gerakan mantap Arsen memeluk Amanda dari samping. Dan benar saja, perempuan itu berhenti menangis. Bahkan tubuh Amanda terasa kaku dalam pelukan Arsen.

"Gu-gue pernah lihat mama meluk Rena waktu dia nangis," bisik Arsen dengan nada polos. Arsen bukan modus, ia memang sering melihat ibunya memeluk sang adik kala menangis.

"Hah?" cicit Amanda bingung.

_tbc_

Makasih udah mampir 😍❤

Yang suka baca webcomics jgn lupa mampir di ceritaku THE GREATEST DADDY ya 😊

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top