Part 32 - Something

Afgan memasuki ruang BK dengan langkah tertatih. Sebelum pulang lebih awal dari sekolah, ia meminta Amanda untuk mengantarnya ke ruang BK. Afgan ingin permasalahan ini tidak diperpanjang.

"Permisi, Bu," ujar Afgan sopan. Ia masuk sendirian ke dalam ruang BK, sementara Amanda menunggu di luar.

Si guru BK yang sedang mengintrogasi Arsen menoleh. "Afgan? Untuk apa kemari? Kamu bisa langsung pulang jika memang tidak sanggup mengikuti jam pelajaran berikutnya."

"Saya pulang setelah ini, Bu. Saya ingin permasalah pemukulan ini tidak diperpanjang. Bagaimana pun Arsen memukul saya karena kesal pada candaan saya yang terlalu kelewatan. Semua ini juga salah saya," jelas Afgan lugas.

Arsen melirik pada Afgan yang kini duduk di sampingnya. Sedikit terkejut karena Afgan tidak ingin memperpanjang masalah ini.

"Sebenarnya apa yang kalian ributkan? Sejak tadi Arsen tidak ingin mengatakannya pada saya," tanya guru dengan kerudung ungu itu.

"Hanya candaan khas anak muda, Bu. Dan tadi saya kelewatan karena menyinggung harga diri dan privasi Arsen," jawab Afgan. Sudut bibirnya yang terluka sedikit nyeri kala berbicara.

Guru BK itu mengehala napas. "Sejujurnya, Ibu juga tidak percaya Arsen memukul seseorang tanpa alasan yang jelas. Ibu tarik kesimpulan di sini kalian berdua memang salah. Besok bawa orangtua kalian berdua untuk mengahadap saya."

"Tapi, Bu --" Arsen coba protes.

"Tidak ada alasan! Ini surat panggilannya," si guru BK mengeluarkan dua amplop putih dari laci meja.

Arsen dan Afgan pasrah. Mereka ambil amplop putih tersebut dengan berat hati. Lalu pergi meninggalkan ruangan BK atau yang lebih pantas disebut ruang sidang.

Amanda yang menunggu di depan langsung mengahampiri keduanya, atau mungkin menghampiri Afgan lebih tepatnya. Ditatapnya sang pacar dengan pandangan lembut.

"Gimana?" tanya Amanda.

"Besok aku panggilan orangtua," jawab Afgan lesu.

"Udah jangan sedih. Semua pasti baik-baik aja. Sebaik lo pulang sekarang," Amanda coba menenangkan.

"Dasar munafik," desis Arsen. Kontan saja Amanda merasa tersinggung.

"Harusnya lo bersyukur Afgan nggak memperpanjang masalah ini. Gue kecewa sama lo, Arsen!" ujar Amanda.

"Gue lebih kecewa sama lo yang menjadikan Afgan sebagai pengganti gue," sahut Arsen dengan raut wajah dingin.

Alis Amanda saling menyatu. "Pengganti apa?" tanyanya.

"Pengganti gue di hati lo. Harusnya lo cari cowok yang lebih baik," tegas Arsen. Raut wajah dinginnya berubah kecewa.

"A-apa maksud lo?" Amanda menuntut penjelasan.

Arsen tidak memberi jawaban setelah itu. Arsen tipe manusia yang tidak pandai menjelaskan. Ia lakukan semua sendiri tanpa komunikasi. Membuat orang-orang sering kali salah paham padanya.

Kaki Arsen bergerak pergi. Meninggalkan Amanda dengan seribu tanya.

"Akhir-akhir ini sikapnya bikin gue kesal," lirih Amanda sambil menatap punggung Arsen yang semakin menjauh.

"Arsen memang begitu. Jangan diambil pusing," sahut Afgan.

Amanda mengangkat bahu. Seolah tidak peduli. "Ayo, biar gue cari taksi buat lo. Oh iya, ini tas lo. Tadi gue ambil dari kelas." Amanda menyodorkan tas ransel milik Afgan.

"Pacar aku perhatian banget sih. Makasih," Afgan tersenyum kecil.

"Nanti sampai di rumah lukanya diobati lagi," suruh Amanda.

Mereka mulai melangkah menuju gerbang sekolah. Amanda mengandeng tangan Afgan. Eitts, jangan salah paham dulu. Amanda bukan mau cari kesempatan dalam kesempitan. Ia hanya ingin membantu Afgan yang kesakitan saat berjalan.

"Jangan lupa minum obat," tambah Amanda.

"Iya."

"Sampai di rumah langsung istirahat."

"Iya."

"Masalah yang ada di sekolah nggak perlu lo pikirkan."

"Iya."

"Uluuuh-uluuuh, pacar gue penurut banget sih," kekeh Amanda gemas. Afgan mengiyakan semua perktaannya.

_o0o_

Untuk kedua kalinya Amanda datang ke rumah Afgan. Tidak seperti kedatangannya yang pertama, kali ini Amanda lebih berani untuk meminta satpam rumah Afgan membukakan pintu untuknya. Bahkan Amanda mengenalkan diri sebagai pacar Afgan. Dan tentu saja si satpam tidak percaya.

"Amanda," ujur Retno terkejut melihat Amanda duduk manis di ruang tamu rumah keluarga majikannya.

Retno segera menghampiri. Sapu rumah yang sedang ia bawa di letakkan terlebih dahulu di sudut ruangan.

"Lo kok bisa ada di sini?" tanya Retno. Wajahnya tampak bingung.

"Tadi pak satpam nyuruh gue masuk," jawab Amanda dengan senyuman polos.

Amanda melihat sekitar. Semua perabotan rumah Afgan tampak mewah dan berkelas. Wah, selera ibu Afgan pasti sangat bagus sehingga mampu menata rumah sebagus ini.

"Di mana Afgan? Tadi di sekolah dia berantem sama Arsen, gue khawatir makanya gue datang ke sini," Amanda bertanya sambil menjelaskan.

"Di-dia," Retno terlihat ragu mengungkapkan kata-kata. "Dia ke rumah sakit."

"Ke rumah sakit?" ulang Amanda.

"Iya, untuk ngobatin lukanya."

"Kenapa Afgan nggak ngabarin gue? Dia pergi sama siapa?"

Pertanya Amanda sontak membuat Retno terbatuk. Ia tersedak ludahnya sendiri. Apa Retno harus mengatakan bahwa Afgan pergi dengan Luna?

"Anu ... dia pergi sama --" Retno ragu.

"Sama siapa?" tanya Amanda dengan nada mendesak.

"Sama supir. Dia di antar supir." Retno tidak berbohong. Afgan dan Luna memang pergi di antar supir.

Amanda mengangguk. "Gue tunggu aja kalau gitu."

Retno semakin pusing. Bukan hal bagus jika Amanda menunggu di sini. Afgan sudah memberi titah pada Retno agar menyembunyikan segalanya dari Amanda, terutama tentang Luna.

"Kayaknya Afgan bakal pulang lama deh," Retno beralasan.

"Nggak apa," sahut Amanda. "Buatin gue minum dong. Kalau bisa es jeruk ya. Haus nih," sikap tidak tahu malu Amanda mulai muncul.

Retno menatap pasrah. Di saat seperti ini masih saja Amanda sempat bercanda.

"Sebaiknya lo pulang!" suruh Retno.

"Nggak mau, ah," tolak Amanda keras kepala. "Retno, haus nih."

Retno mendelik kesal. "Tamu yang nggak diharapkan lo!" sahut Retno sebal. Namun dia tetap bergerak menuju dapur untuk membuatkan Amanda minum.

Senyuman jenaka Amanda lenyap kala Retno hilang dari pandangan. Ia mengehela napas kuat, coba membuang kegelisahan hati yang sedang dirasakannya. Berbagai pikiran mengganjal memenuhi otak Amanda.

"Perasaan gue nggak nyaman," ujar Amanda pada dirinya sendiri.

Tak berapa lama Retno kembali dengan nampan. Jus jeruk pesanan Amanda nampak segar.

"Ini buruan minum. Habis itu lo pulang," suruh Retno.

Amanda raih gelas berisi jus jeruk tersebut. Ia teguk sebanya dua kali. "Yang gratis memang yang terbaik," komentar Amanda.

"Buruan habisin! Nggak usah tunggu Afgan pulang. Dia bakal lama," sahut Retno.

"Lo ngusir gue? Gue tamu di sini," Amanda mendelik sebal.

"Bodo amat! Buruan minum," paksa Retno lagi.

"Gue mau nunggu Afgan," ujar Amanda keras kepala.

Retno memutar bola matanya malas. Padahal yang ia minta ini untuk kebaikan Amanda.

"Balik nggak lo?!" ujar Retno galak.

Amanda cemberut, namun juga merasa senang. Dulu ia sering kena omel Retno karena tidak piket kelas, setelah Retno berhenti sekolah tidak ada lagi yang membuat telinga Amanda berdengung. Kini ia mendapatkan momen itu kembali.

"Tapi --"

"Pulang!" Retno menarik tangan Amanda. Memaksa Amanda untuk bangun dari duduknya dan segera pergi.

"Ih, Retno. Gue masih mau di sini," protes Amanda.

"Pulang, Amanda!" Retno memaksa Amanda melangkah.

"Nggak mau!"

"Pulang!"

"Nggak!"

"Lo harus pergi sekarang!"

"Nggg --"

"Hahahaha." Ini bukan suara tawa Amanda atau pun Retno. Perdebatan keduanya terhenti ketika suara tawa perempuan terdengar dari luar pintu utama.

Ada orang datang.

"Suara siapa itu?" tanya Amanda dengan kening berkerut.

Sial, Afgan sama Luna udah balik, gerutu Retno dalam hati.

"Itu tetangga sebelah. Lo pulang lewat pintu belakang aja." Retno menarik paksa tangan Amanda menuju pintu belakang.

"Tapi," Amanda coba protes.

"Ih Afgan, katanya sakit tapi masih aja bisa ngelawak." Suara tersebut tertangkap indra pendengaran Amanda dengan jelas.

Amanda mendadak kaku di tempat.

Tbc

Makasih udah mampir 😍❤

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top