Part 31 - You don't understand
"Kita perlu bicara." Afgan menyusul Arsen yang sedang berjalan di koridor kelas 11. Kemudian Afgan mengambil langkah lebar, menuntun Arsen ke tempat yang lebih sepi.
Arsen menghela napas. Menatap datar pada punggung Afgan yang berjalan di depannya. Terkadang Arsen bertanya-tanya dalam hati, kenapa dulu ia bisa berteman akrab dengan orang seperti Afgan? Jika dilihat dari pribadi, jelas mereka sangat bertolak belakang.
"Apa mau lo?" tanya Arsen sesampainya mereka di taman belakang laboratorium kimia. Taman ini jarang di kunjungi para murid, sebab letaknnya yang jauh ke belakang, dan sedikit tidak terurus.
"Lo mau mempermalukan gue di depan Ridho sama Bayu?!" tanya Afgan to the point.
Arsen mendecih. "Lo masih punya malu ternyata."
"Jangan macam-macam sama gue, Arsen! Gue nggak sepolos yang ada dibayangan lo. Gue anak dari seorang napi, bokap gue sekarang ada di penjara. Lo pernah dengar istilah bahwa buah tidak akan jauh jatuh dari pohonnya, bukan?"
Arsen menatap pada Afgan dengan pandangan curiga. "Siapa lo sebenarnya?!" tanya Arsen.
"Lo nggak perlu tahu! Yang pasti jangan macam-macam sama gue. Jangan permalukan gue. Dan jangan dekati Amanda!" ancam Afgan.
"Lo manusia berbahaya! Nggak akan gue biarkan orang-orang terdekat gue sakit hati karena lo," balas Arsen tak mau kalah.
Tatapan Afgan menajam. Satu ujung bibirnya tertarik ke atas. "Apa orang-orang itu termasuk Amanda? Lo suka sama pacar gue?!"
"Iya!" lugas Arsen dengan spontan.
"Kurang ajar!" amuk Afgan. Kaki kirinya mengayun untuk menendang perut Arsen.
"Ahh," desah Arsen kesakitan. Ia terpantal ke belakang. Perutnya terasa keram.
Napas Afgan memburu. Inilah diri Afgan yang sesungguhnya. Afgan bukan tipe orang yang suka miliknya diusik. Dia keras. Seorang petarung sejati.
"Lo udah gue kasih peringatan!" Afgan mengulurkan tangan pada Arsen, bermaksud membantu. "Maaf, gue kelepasan nendang lo," ujarnya dengan wajah menyesal.
"Lo teman gue. Tetap teman gue," tambah Afgan lagi.
Arsen coba berdiri sendiri. Tangan Afgan yang sedang terulur ia abaikan begitu saja. Harga dirinya akan terluka jika menerima pertolongan Afgan, sekecil apa pun itu.
Sejenak keduanya saling tatap. Coba menyelami apa yang dipikirkan satu sama lain.
"Sebaiknya lo pura-pura nggak tau tentang Luna," tutur Afgan datar.
"Cih. Ini untuk Amanda!" Arsen meninju pipi kiri Afgan dengan tiba-tiba.
Sudut bibir Afgan berdarah. Tak ada balasan tinju dari Afgan, sebab jika alasan tinju yang dilayangkan Arsen untuk Amanda maka tak mengapa. Karena Afgan akui ia salah jika menyangkut Amanda.
"Ini untuk kebohongan lo!" Arsen menendang perut Afgan.
"Ini untuk kepura-puraan lo!" Arsen kembali menendang perut Afgan, berkali-kali.
Lalu selanjutnya terdengar suara tinju yang keras. Arsen menghajar Afgan dengan semua kekuatan yang ia miliki. Seolah Arsen sedang menyalurkan kekesalan pada temannya itu.
Afgan tak melawan, ia terkapar tidak berdaya di atas rumput taman. Arsen tepat berada di atasnya menghajar dengan tinju. Wajah Arsen tampak emosi.
Afgan tatap langit biru dari tempatnya tergolek. Tinju terus menghantam wajahnya. Afgan menyadari betapa rendah dirinya. Untuk semua dosa yang Afgan lakukan, ia biarkan Arsen meninjunya habis-habisan. Afgan bukan orang bodoh yang tidak tahu akan kesalahannya. Ia terpaksa dan keadaan memaksa.
"Uhuk," Afgan terbatuk di antara rasa sakit. Sudut matanya mengeluarkan air mata. Afgan teringat hidupnya yang tenang sewaktu dulu.
"Lo manusia kurang ajar," maki Arsen. Ia tinju pipi Afgan untuk kesekian kali.
Mata Afgan setengah tertutup. Samar-samar ia melihat. Pandangannya mulai gelap, terasa nyeri di pipi.
"Arsen!" teriak seseorang, diiringi langkah kaki yang berlari dan semakin dekat.
"Arsen! Cukup!"
Arsen merasakan tubuhnya ditarik ke belakang. Mau tak mau ia lepaskan Afgan begitu saja.
"Apa yang lo lakukan, hah?"
Amanda ternyata. Yang menarik Arsen ternyata Amanda. Arsen tatap perempuan itu dengan datar.
"Lo nggak punya otak! Kenapa lo hajar Afgan?! Nggak punya hati lo!" maki Amanda.
Arsen diam tidak memberi pembelaan atas dirinya.
"Gue benci sama lo!"
Dan dunia Arsen hancur. Padahal dia menghajar Afgan untuk perempuan di hadapannya saat ini.
"Pergi lo dari sini!" Amanda mendorong bahu kiri Arsen. "Pergi!" ulang Amanda.
Arsen tetap diam. Hanya tatapan datar yang ia berikan pada Amanda. Oh ayolah, Amanda tidak akan mengerti jika Arsen tidak menjelaskan. Tatapan datar saja tidak cukup untuk menyelesaikan masalah.
Amanda beralih pada Afgan. Ia hampiri laki-laki yang kini tergolek lemah. Afgan setengah sadar.
"Afgan," isak Amanda sambil mengusap darah yang keluar dari hidung Afgan. Dengan isakan tersendu Amanda menangisi keadaan sang pacar.
Arsen frustasi melihat pemandangan yang ada di hadapannya. Bukan ini yang Arsen harapkan.
_o0o_
"Afgan?"
Afgan mengerjabkan mata menyesuaikan cahaya yang masuk. Hal yang pertama kali ia dapati adalah wajah khawatir milik Amanda. Wajah perempuan itu sembab.
"Mana yang sakit?" tanya Amanda.
Afgan berusaha mengumpulkan kembali nyawanya. Terasa sakit di sekitar wajah, dan perutnya yang terasa nyeri. Afgan merasa tubuhnya remuk.
"Badanku sakit semua," lirih Afgan sambil berusaha duduk. Dengan cepat Amanda membantu, lalu Afgan bersandar pada kepala ranjang UKS.
"Apa yang terjadi? Kenapa Arsen mukuli lo sampai kayak gini? Kalian berantem karena apa?" tanya Amanda beruntun.
"Arsen?" Afgan coba mengingat apa yang terjadi sebelum ia pingsan. "Di mana Arsen sekarang?" tanya Afgan.
"Dia di ruang BK. Gue yang laporin," jawab Amanda dengan nada emosi.
"Apa?!" Mata Afgan membola, ia terkejut. "Kamu laporin Arsen ke BK? Gimana kalau dia kena sanksi? Ini bukan sepenuhnya salah Arsen. Dia ketua OSIS, Arsen nggak boleh terlibat masalah seperti ini."
Amanda mengangkat bahu pertanda tidak peduli. "Biarin aja. Biar Arsen tahu kalau tindakannya salah. Seberat apa pun pertengkaran kalian, nggak sepantasnya dia mukul lo sampai pingsan."
"Kamu khawatir sama aku?" tanya Afgan.
"Iya lah!"
"Lebih besar dari rasa khawatir kamu ke Arsen?" tanya Afgan, lagi.
Amanda mengangguk. "Gue lebih peduli sama lo."
"Aku senang mendengarnya, Amanda. Setidaknya ini membuktikan kalau kamu udah benar-benar move on dari dia," ujar Afgan dengan senyuman.
"Saat seperti ini perasaan gue bukan hal yang penting. Lo harus cepat pulih. Gue udah izin ke guru piket, katanya selepas siuman lo boleh pulang. Mau gue antar pulang? Gue bakal antar lo pulang naik taksi, motor lo di tinggal di parkiran aja."
"Nggak perlu." Afgan menggeleng cepat, tanpa berpikir.
Alis Amanda terangkat satu. Afgan menolaknya tanpa pertimbangan. Apa Afgan tidak suka di antar olehnya?
"Maksud aku, sebaiknya kamu balik ke kelas. Nggak baik bolos jam pelajaran. Aku nggak apa-apa. Jangan khawatir. Biar aku pulang sendiri," jelas Afgan. Wajahnya kembali tenang.
"Lo yakin? Takutnya entar lo di culik sama tante-tante kalau pulang sendiri," Amanda coba mancairkan suasana yang kurang enak.
Afgan tertawa. "Jadi orang ganteng nggak mudah, ya. Tante-tante aja doyan."
"Pede gila," nyinyir Amanda sok sebal. "Ayo, biar gue antar lo sampai gerbang. Nanti pulang sekolah gue bakal mampir ke rumah lo --"
"Nggak perlu!" potong Afgan dengan cepat. Kali ini Afgan tidak dapat menyembunyikan ekspresi paniknya.
Amanda jelas bingung dong dengan respon Afgan. Kenapa Afgan tidak suka?
Tbc
Makasih udah mampir 😘😍
.
.
.
🛇 Gk bosen2 buat ngingetin, yang suka baca webcomics mampir ya ke ceritaku THE GREATEST DADDY 😊😊
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top