Part 30 - Sandiwara

"Pura-pura lewat dari depan rumah Amanda. Terus bilang kalau aku udah berangkat duluan. Basa-basi sebentar, habis itu ajak Amanda berangkat bareng."

Kurang lebih seperti itu lah wejangan yang diberikan Sarah pada Arsen. Sudah tiga menit lebih Arsen berdiri di depan pagar rumah Amanda untuk mengawasi. Sementara mobilnya di parkir tak jauh dari sini.

Arsen kembali melihat pintu rumah Amanda. Menunggu perempuan itu keluar dari sana. Namun pintu kayu tersebut tak kunjung terbuka. Apa Amanda sudah berangkat sekolah?

"Arsen, lo lagi apa di sini?"

Arsen menoleh ke belakang, telinganya menangkap suara Amanda.

"Lo kenapa ada di luar?" tanya Arsen bingung.

"Gue udah berangkat dari tadi. Cuma kerena ada yang ketinggalan jadi gue balik lagi," jelas Amanda apa adanya.

"Oh gitu. Ya udah, kita barengan aja," tawar Arsen. Dia berujar dalam satu tarikan napas. Terburu-buru.

Amanda menatap bingung. "Tapi --"

"Tapi dia berangkat bareng gue." Sosok Afgan muncul dari balik punggung Amanda.

Wajah Arsen terpahat semakin datar akan kehadiran Afgan. Rasa sukanya melambung pada titik teratas. Wajah bersahaja milik Afgan penuh kepalsuan menurut Arsen. Lihat saja senyum tak berdosa yang Afgan suguhkan, seolah dia adalah manusia paling baik di muka bumi ini.

Jika tidak memikirkan sakit hati Amanda. Arsen tidak akan  berpikir dua kali untuk membongkar kebusukan laki-laki itu.

"Amanda berangkat bareng gue," ujar Afgan. Pribadi Afgan tampak ramah seperti biasa, tidak seperti sosok yang kemarin Arsen temui di depan butik.

"Gue kira lo meliburkan diri lagi," suara Arsen terdengar dalam, terkesan menyindir.

"Gue kangen sama Amanda makanya gue masuk hari ini," jawab Afgan santai.

Arsen menatap tanpa minat. Sifat busuk Afgan membuat tangannya gatal ingin meninju wajah laki-laki itu. Afgan terlalu buruk untuk Amanda yang terlampau polos.

"Gue ke dalam sebentar ngambil buku," pamit Amanda seraya berlari kecil memasuki pekarangan rumahnya.

Tinggal Arsen dan Afgan dalam keheningan. Afgan tampak biasa saja, dia menunjukkan ekspresi bersahaja. Wajahnya selalu terlihat baik dan ramah, berbanding terbalik dengan Arsen yang tampak datar.

"Jangan lo sakiti Amanda!" Arsen berdesis.

Afgan tersenyum santai. Ia rangkul bahu Arsen seolah menunjukkan bahwa mereka berteman baik. "Gue nggak mungkin menyakiti hati orang yang gue sayang."

Arsen melirik sinis sambil melepaskan rangkulan Afgan. "Gue nggak paham sama jalan pikiran lo."

"Jangan pusing mikirin hidup gue, Arsen! Ngomong-ngomong semakin gue perhatikan lo sepertinya peduli banget sama Amanda. Jangan bilang lo suka pacar gue," tuding Afgan.

Arsen diam tak menyahut. Menurutnya tidak penting memberitahu Afgan mengenai perasaannya. Afgan tidak pantas untuk tahu rasa cinta milik Arsen pada Amanda. Bahkan Amanda sendiri tidak tahu tentang rasa cinta Arsen, jadi mengapa Afgan harus tahu?

"Gue tahu lo nggak tertarik sama cewek seperti Amanda mengingat gimana dulu lo menolak cinta dia. Jangan sampai lo nyesel ke depannya dan merebut Amanda dari gue. Karena gue nggak akan biarkan itu terjadi," ujar Afgan.

"Urus hidup lo sendiri, Afgan! Semoga lo dapat karma atas setiap tindakan buruk lo!" sahut Arsen tajam. Kemudian ia berlalu pergi.

Afgan menatap mobil Arsen yang melaju kencang. Mobil itu pergi, menyisakan angin di jalanan komplek yang sepi. Selepas kepergian Arsen bahu Afgan melemas. Tentu saja sejak tadi Afgan merasa tegang saat seseorang yang mengetahui rahasia terbesar hidupnya berada dalam radius dekat.

"Arsen udah pergi?" Amanda kembali ke depan pagar rumah.

"Hmmm," gumam Afgan. "Arsen buru-buru karena takut terlambat. Ketua OSIS mana boleh datang terlambat," tambahnya.

Amanda mengangguk dengan semangat. "Yuk, kita berangkat," ajak Amanda.

Keduanya berjalang beriringan menuju halte terdekat. Hari ini Afgan tidak membawa kendaraan, namun ia masih menyempatkan diri untuk menjemput Amanda. Bukankah Afgan sangat so sweet?

Amanda tersenyum. Amanda merasa senang melihat Afgan kembali sekolah setelah meliburkan diri. Tanpa takut Amanda menyelipkan jari-jemarinya di antara jari Afgan, mereka bergandengan.

"Gue senang lo balik lagi sekolah," bisik Amanda sambil melirik tautan tangan mereka.

"Maaf nggak kasih kabar selama aku libur. Aku benar-benar sibuk kemarin," Afgan tersenyum.

Dan Amanda mengangguk, walau Afgan sama sekali tidak memberitahunya kesibukan apa yang membuat Afgan meliburkan diri sehingga tidak masuk sekolah. Amanda hanya dapat memaklumi sikap tertutup Afgan. Mungkin laki-laki itu butuh waktu untuk berbagi cerita.

"Kapan lo bolos lagi?" tanya Amanda. "Lain kali ajak gue."

Mereka berjalan sambil bergandengan menuju halte terdekat. Menelusuri jalanan komplek perumahan dengan dada berdenyut-denyut indah.

"Eh jangan, calon juara umum nggak boleh bolos. Kamu harus jadi murid baik yang bisa bikin bangga bangsa dan negara," sahut Afgan.

Amanda terkekeh. "Lo kira gue pejuang apa?"

"Kamu kan masa depan bangsa. Masa depan aku juga," gombal Afgan.

"Ih, gombal!"

Langit pagi menjadi saksi kebersamaan mereka yang sederhana.

_o0o_

"Maaf gue nggak bisa ikut ke kantin bareng kalian," ujar Afgan saat jam istirahat pertama. Rombongan temannya bersiap pergi ke kantin.

Ridho menoleh. "Lo mau ke kelas Amanda? Gue ikut! Gue mau ngapelin Lila."

"Aku mah apa atuh? Jomblo karatan," sindir Bayu.

"Bujang lapuk lo," hina Ridho. Membuat Bayu benar-benar merasa terhina.

"Lo ngajak duel? Ayuk, gue ladenin. Rasakan, nih!" balas Bayu sambil memukul lengan Ridho dengan gerakan mendayu.

"Ih, atittt," Ridho sok kesakitan.

"Mimpi apa gue punya teman kayak kalian? Makanya pas Tuhan bagi otak datang, kan jadi sedeng dah lu pada." Afgan geleng-geleng kepala.

"Lo ngehina gue?!" tanya Batu dan Ridho serentak. Mereka menghujat Afgan dengan tatapan tajam.

"Arsen, tolongin gue," rajuk Afgan pada Arsen. Tak lupa Afgan memasang wajah memelas minta pertolongan.

"Gue nggak sudi nolongin lo!" Sinis dan lugas. Tidak ada kesan bercanda. Arsen berkata-kata dengan nada tajam.

Candaan tersebut berubah kaku. Ketiga teman Arsen langsung bungkam. Mereka sudah paham pribadi Arsen yang dingin, namun kali ini terasa berbeda.

Afgan tertawa canggung. "Candaan lo benar-benar payah, Sobat."

"Gue nggak sedang bercanda!" Arsen tatap Afgan dengan dalam. "Gue nggak sudi nolongin lo dalam keadaan apa pun!"

"Hei, hei, kenapa suasana jadi seram begini? Kalian berdua ada masalah?" sela Ridho. Ia membaca ada yang tak beres antara Arsen dan Afgan.

Afgan menghela napas. Ia coba membentengi diri agar tidak terbawa emosi. "Nggak ada masalah apa pun. Mungkin Arsen lagi PMS."

Semantara Arsen berdecih mendengar pernyataan Afgan. Laki-laki itu seolah ingin menempatkan Arsen pada posisi si salah. Afgan seolah menyatakan bahwa perkataan Arsen telah menyinggung perasaannya namun Afgan maafkan dengan mudah.

"Lo benar-benar pandai bersandiwara," gumam Arsen tajam. Ia melangkah pergi meninggalkan kelas. Menyisakan tanya pada benak Ridho dan Bayu akan sikapnya yang sangat kasar.

"Ridho, gue nggak jadi ke kelas Amanda. Gue perlu bica sama Arsen." Afgan bagun dari duduknya dan mengejar Arsen.

Tbc

Makasih udah mampir 😍😘

.
..
...
👉 Yg suka bawa webcomics jgn lupa mampir ke ceritaku THE GREATEST DADDY ya

Saru 1 vote kalian sgt berharga buat aku 😊😊

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top