Part 24 - Tentang kita

Awas typo
Selamat malam minggu mblo 😊
####

"Lo yang ambil uang kas?" Pertanyaan pertama yang Amanda dengar dari bibir Arsen. Laki-laki itu mengampiri Amanda di taman belakang sekolah, menatap Amanda penuh selidik.

Amanda tersinggung dengan cara Arsen menatap. Jelas sekali Arsen menuduh Amanda.

"Memangnya kenapa kalau gue yang curi?!" ujar Amanda sebal.

Arsen diam tak menyahut. Otaknya dipenuhi berbagai teori tentang kata apa yang selanjutnya akan Arsen ucapkan pada Amanda. Apa Arsen harus mengatakan bahwa dia percaya pada Amanda? Atau Arsen harus memberi kelimat dukungan?

Oh, Arsen sungguh tak paham bagaimama cara untuk bersikap di hadapan perempuan ini.

"Sebaiknya lo pergi, gue butuh waktu sendiri," usir Amanda.

Biar gue temani, batin Arsen.

"Pergi sana!" usir Amanda lagi.

Bibir Arsen terdenger menghela napas kasar. Dengan gaya sok cool Arsen bangun dari duduknya dengan perasaan berkecambuk. Arsen ingin lebih lama duduk di samping Amanda, namun nyatanya kaki Arsen justru melangkah pergi.

Tak bisa duduk di sisi Amanda untuk menemani, setidaknya Arsen bisa menjaga Amanda dari balik pohon mangga besar yang tumbuh tak jauh dari tempat Amanda duduk. Kini Arsen berdiri di sana, menyampingkan tubuhnya agar persembunyian Arsen tidak terlihat. Lima menit Arsen berjaga di sana, hingga Afgan datang menghampiri Amanda.

Arsen melihat Amanda ditenangkan oleh Afgan. Lihat, bahkan Amanda menangis terseduh-seduh di hadapan Afgan. Sangat berbeda dengan sikap yang Amanda tunjukkan di hadapannya.

"Bukan, gue yang ambil uang itu," adu Amanda sambil menangis sendu.

Afgan meraih tangan Amanda. Digenggamannya erat. "Aku percaya. Siapa pelakunya? Siapa yang ngambil uang itu?"

"Retno! Retno yang ngambil," jawab Amanda. Isakannya terus terdengar, sesekali Amanda menarik ingusnya agar tidak jatuh keluar.

"Aku nggak punya sapu tangan atau tisu. Pakai lengan kemeja aku," tawar Afgan sambil menaik turunkan bahunya.

Amanda menarik kuat ingusnya, kemudian bertanya, "buat apa lengan kemeja lo?"

"Buat lap ingus. Tuh liat, sampai tumpeh-tumpeh ingus kamu," jawab Afgan.

Amanda tercengang. "Serius nih?"

Afgan mengangguk.

Hati Amanda menghangat. Sikap manis Afgan membuat kesedihannya sedikit leyap. Afgan pintar sekali membuat Amanda terbuai hingga lupa diri.

"Ayo hapus aja ingus kamu pakai kemejaku," suruh Afgan.

Amanda sedikit menunduk. Ia dekatkan wajahnya di bahu Afgan. Wangi parfum yang digunakan Afgan memenuhi rongga hidung Amanda. Menenangkan dan Amanda suka wangi ini.

Tangan Amanda meraih lengan kemeja Afgan. Amanda membersihkan hidungnya, dan Amanda masih punya perasaan untuk tidak benar-benar ngeluarkan ingusnya di seragam Afgan. Kemudian Amanda bersihkan air mata yang tersisa di pipinya.

"Makasih," ucap Amanda tulus. Ia menunduk dalam, enggan untuk menatap seragam Afgan, tindakan Afgan terlalu manis. Amanda malu.

"Hei." Afgan menyenggol bahu Amanda. Gemes melihat tingkah Amanda yang malu-malu kucing, miaw.

"Seorang Amanda bisa malu-malu kucing ternyata, biasanya malu-maluin" goda Afgan.

"Apaan sih?!" sahut Amanda.

Afgan melirik lengan kemejanya yang sedikit basah karena ulah Amanda. "Kok basah banget sih jadinya seragam aku? Kamu lap ences juga, ya?" tuding Afgan.

Sontak saja perasaan malu-malu kucing yang Amanda rasakan buyar dalam hitungan detik. Berganti dengan rasa kesal hingga ke rusuk terdalam. Amanda tatap Afgan dengan tajam dan pandangan mematikan.

"Nggak usah ngeledek deh!" sinis Amanda. Bibirnya mengerucut sebal.

"Seragam aku jadi bau jigong." Afgan mengendus-endus lengan kemejanya.

"Masa?" Dengan bodoh Amanda bertanya. Ia ikut mengendus seragam Afgan.

"Ih, nggak bau kok!" lanjut Amanda. Dipukulnya lengan Afgan dengan gerakan ala-ala perempuan anggun. Namun jika Amanda yang melakukan tidak terlihat anggun sama sekali.

Afgan mengusap bahunya yang dipukul Amanda sambil merintih-rintih lebay sok kesakitan. "Amanda, jangan sedih lagi ya. Aku bakal bantu untuk menyelesaikan masalah ini. Kalau memang Retno ya salah, maka dia yang harus dihukum. Bukan kamu."

Amanda dapat merasakan aura positif yang coba disebarkan Afgan. Membuat ia tenang. Tak mengapa orang-orang tidak mempercayai Amanda. Ia masih punya Afgan, itu saja sudah cukup.

"Hari ini juga aku akan bebaskan kamu dari semua tuduhan. Aku janji!" tegas Afgan. Dan dibalas Amanda dengan anggukan.

Sementara Arsen yang melihat kejadian itu hanya dapat mendesah pasrah. Amanda sudah semakin jauh darinya. Bahkan perempuan itu sangat bahagia berada di sisi Afgan, membuat eksistensi Arsen semakin memudar.

Arsen ikhlas Amanda melupakannya jika memang itu mampu membuat Amanda bahagia. Tidak apa-apa.

_o0o_

Amanda melamun di sudut perpustakaan tempat dia biasa membaca bersama Afgan. Sebuah buku terbuka lebar di hadapan Amanda, tak ada minatnya untuk memahami isi buku tersebut. Amanda biarkan terbuka begitu saja.

Afgan meminta Amanda untuk tidak masuk ke kelas. Laki-laki itu berjanji akan menyelesaikan masalah Amanda dengan meminta Retno mengaku. Entah bagaimana caranya, Amanda tak paham. Ia hanya diminta untuk menunggu dan duduk manis di sini.

"Beres," bisik seseorang di telinga Amanda.

Tanpa menoleh Amanda tahu itu adalah suara Afgan. Kedua bibir Amanda tertarik ke atas.

"Retno udah ngaku kalau dia yang ambil uang kas itu. Sekarang dia sedang diproses di ruang BK. Setelah selesai memproses Retno, kamu diminta untuk ke ruang BK. Mereka akan meluruskan semuanya," jelas Afgan.

Mata Amanda berkaca-kaca. Dada Amanda bergemuruh bahagia. Dia bersyukur Tuhan mengirimkan Afgan dalam hidupnya yang menyedihkan. Boleh Amanda memeluk Afgan sekarang? Ah, tentu saja tidak boleh!

"Makasih. Terima kasih banyak, Afgan. Gue senang memiliki lo dalam hidup gue," bisik Amanda. Air matanya jatuh, itu air mata bahagia.

"Jangan nangis." Afgan membersihkan air mata Amanda. Ia usap pelan dengan ibu jarinya.

Amanda mengangguk. "Gue nggak nangis. Gue bahagia," sahut Amanda.

"Gimana cara lo bujuk Retno buat ngaku?" tanya Amanda.

"Dengan modal ketampananku ini Retno luluh," jawab Afgan.

"Ih, gue serius!"

"Aku lebih serius," balas Afgan. "Entahlah, aku cuma minta Retno untuk ngaku. Kami bahkan belum bicara sampai lima menit, kemudian dia langsung setuju untuk mengaku," jelas Afgan.

"Mungkin karena ketampananku jadinya Retno luluh begitu saja," tambah Afgan.

"Pede banget." Amanda memukul lengan Afgan.

"Sekarang semua sudah kembali normal. Kamu bisa balik ke kelas dan belajar seperti biasa. Dan temuin juga Lila, dari tadi dia neror aku tanya kamu ada di mana. Lila benar-benar khawatir."

Amanda mengangguk menjawab semua perkataan Afgan.

"Ayo kita ke kelas," ajak Afgan. Dia bersiap untuk melangkah terlebih dahulu, namun suara Amanda menghentikan langkahnya.

"Afgan," panggil Amanda lembut.

Afgan menoleh, ditatapnya Amanda dengan dalam. "Apa? Apa masih ada yang mengganjal di hati kamu?"

Amanda menggeleng. "Bukan itu."

"Jadi?"

"Lo mau nggak jadi pacar gue?"

Hah?

Pertanyaan konyol dari Amanda membuat kesadaran Afgan seperti melayang. Ughh, Afgan ditembak.

Tbc
.
.
.
.

Kasih kritik dan saran 😁

Ini sedikit penggalan dari cerita baru ku yg bentar lagi bakal di publish

Icha Glori Andrameda, gadis yang biasa disapa Chaca ini adalah mahasiswa semester 6 di salah satu universitas ternama. Di usianya yang ke-21 tahun ia disibukkan dengan mengerjakan tugas kuliah dan juga mengurus ... pacar berondongnya.

Nanti mampir ya 😚😚
.
.
Yg suka baca webcomics mampir ke ceritaku THE GREATEST DADDY ya.. vote juga
👇
👇
👇

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top