Part 23 - Tertuduh
Amanda menatap bandana pink bermotif volkadot putih yang ada di kepalanya. Amanda tersenyum tidak jelas di depan cermin rias. Hari ini ia juga memoles lip cream di bibirnya. Amanda ingin tampil cantik seperti adik kelas yang kemarin merayu Afgan.
Senyuman tidak jelas dan tidak berfaedah di bibir Amanda semakin menggembang. Dengan penuh percaya diri Amanda keluar dari dalam kamar menuju halaman depan, di sana Afgan sudah menunggu.
"Bu Asih, aku berangkat ke sekolah," pamit Amanda dengan berteriak.
"Iya, Nak."
Amanda membayangkan Afgan akan terpesona melihat dirinya yang memakai bandana. Bibir Afgan akan mengaga lebar melihat kecantikan Amanda. Dan Afgan akan enggan untuk berkedip. Setidaknya itu yang Amanda pikirkan saat ini.
Namun pada kenyataannya, realita tidak seindah ekspetasi.
"Hahahaha," Afgan tertawa dengan mulut terbuka lebar.
Ugh, rasanya Amanda ingin menyumpal mulut Afgan dengan sepatu sekolahnya.
"Hahahaha," tawa Afgan semakin kuat.
"Ish, jangan ketawa deh!" pintah Amanda.
"Apa itu yang ada di kepala kamu?" tanya Afgan di sela tawanya.
Amanda berdesis. Langsung saja bandana pink tersebut Amanda singkirkan dari atas kepalanya. Bukan terpesona Afgan justru menertawakan dirinya.
"Eh, kok dicopot?" tanya Afgan jail.
"Berisik! Suka-suka gue lah!" sahut Amanda kesal.
"Pakai lagi, cantik kok," suruh Afgan dengan tawa yang masih terdengar.
"Ogah!" jawab Amanda tajam.
Afgan meraih bandana pink tersebut. Lalu memasangkan kembali di kepala Amanda.
"Kamu cantik kok pakai ini," puji Afgan.
Amanda diam tak menjawab. Ia biarkan saja Afgan merapikan rambutnya.
"Maaf tadi aku ketawain kamu. Habisnya bandana pink ini bukan gaya kamu banget," ujar Afgan. Di cubitnya pipi Amanda dengan gemas, membuat perempuan itu meringis.
"Aku suka kamu pakai bandana pink ini. Keliatan imut. Tapi aku lebih suka kalau kamu jadi dirimu yang biasa. Apa adanya," tutur Afgan halus.
"Jangan merubah diri kamu karena aku. Jadi Amanda yang memang kamu inginkan. Aku nyaman dengan karakter, gaya, dan semua ada yang pada kamu. Kamu paham, kan?" tanya Afgan.
Amanda mengangguk. Matanya berbinar senang. Afgan memperlakukan dirinya dengan begitu tulus dan lembut. Siapa yang tidak akan tersentuh jika begini?
"Kamu dapat ide dari mana sih pakai bandana pink ini?" tanya Afgan penasaran.
"Dari adik kelas yang kamarin."
Afgan kembali tertanya renyah, namun tidak seheboh yang tadi. "Dih, sama adik kelas sendiri takut kalah saing."
"Ih, nggak ya. Gue cuma mau coba aja pakai bandana. Eh, taunya cocok. Maklum sih, pakai apa aja sebenarnya gue tetap cantik," cetus Amanda.
"Over PD-nya kambuh lagi," Afgan geleng-geleng. "Yuk berangkat, entar kita kemalaman."
Amanda memutar bola matanya malas. "Ya kali kemalaman!"
Afgan tertawa, lagi. Entah sudah berapa kali ia tertawa pagi ini karena Amanda. "Makanya ayo."
_o0o_
"Nanti aku datang jam istirahat pertama. Kita ke perpus," kata Afgan sebelum melangkah meninggalkan kelas Amanda.
Amanda duduk di kursinya. Ia letakkan tas ransel dan dirinya sendiri di atas kursi. Lila tampak sibuk dengan ponsel, mengabaikan Amanda yang baru saja tiba.
"Sok main hp, kayak ada yang nge-chat lo aja," nyinyir Amanda.
"Tau nggak sih, beberapa hari terakhir si Ridho sering nge-chat gue dari instagram. Sok perhatian banget deh tuh anak, kan gue jadi baper," curhat Lila.
Amanda menatap Lila penuh minat. Lalu mata Amanda mengerling jail. "Katarak kali mata si Ridho mengedekatin lo. Ridho belum tau aja mulut lo tajam kek nitijen."
"Dasar teman kampret, harusnya lo senang gue ada yang dekatin," ujar Lila sinis.
"Nggak senang gue! Entar gue tinggal sendiri lagi yang jadi jomblo. Ogah," cetus Amanda dengan enteng.
"Lo kan udah punya Afgan."
"Lah, kami kan belum jadian," Amanda mendebat Lila.
"Biar aja lo sendiri yang jomblo. Nggak peduli gue." Lila kembali sibuk dengan ponselnya. Mengabaikan Amanda yang mendelik sebal.
"Pengkhianat jomblo lo!" Bibir Amanda monyong sejauh lima senti.
Benak Amanda membayangkan hari-harinya yang miris jika Lila memiliki pacar. Pasti nanti Lila akan sibuk dengan pacarnya. Sementara Amanda meratapi kesendirian yang sepi dan sunyi.
Haruskah Amanda segera meminta Afgan untuk menembaknya? Ah, mati dong Amanda kalau ditembak.
"Uang kas hilang lagi. Dasar tangan-tangan pencuri di kelas ini!" Suara ribut-ribut terdengar dari kursi barisan depan.
Perhatian Amanda dan Lila tertarik ke arah kegaduhan. Tampak Winda si bendahara kelas mereka sedang mengomel. Bendahara kelas itu mengaku kehilangan uang kas untuk kali ketiganya.
"Winda kenapa lagi tuh? Pagi-pagi udah ribut," tanya Amanda.
Lila mengangkat bahunya acuh. "Uang kas hilang lagi kali. Nggak tahu deh," jawab Lila.
"Ya ampun, Ridho minta nomor WA gue! Nggak nyangka cogan kayak dia mau ngedekatin gue yang biasa ini," Lila memekik senang sambil membaca balasan chat dari Ridho berulang kali. Bahkan Lila hampir melompat dari kursinya.
"Lebay deh," bisik Amanda. Well, sepertinya Lila sudah tertular kelebayan Amanda.
_o0o_
Hari ini kelas Amanda belajar bahasa Indonesia di perpustakaan sekolah. Mereka ditugaskan oleh guru bahasa untuk meresensi novel. Harusnya tugas meresensi menjadi PR minggu lalu, hanya saja karena banyak yang tidak selesai jadilah mereka disuruh ke perpustakaan untuk menyelesaikannya hari ini juga.
Amanda patut berbangga hati kerena ia sudah selesai. Hei, Amanda itu calon juara umum jadi harus rajin. Berkat bantuan Afgan juga Amanda menyelesaikan tugasnya.
Teman-teman yang lain menghabiskan waktu di pustakaan, sementara Amanda jajan di kantin. Saat ini Amanda berjalan di lorong kelas 11 sambil menenteng jajanannya yang akan dimakan di kelas.
"Retno," ujar Amanda terkejut melihat Retno berada di kelas. Bukankah seharusnya Retno ada di perpustakaan?
"Lo lagi apa? Lo apakan tas Winda?" tanya Amanda beruntun.
Retno gelegapan. Buru-buru Retno tutup tas Winda -bendahara kelas mereka-. Di tangan Retno ada beberapa lembar uang.
"Lo yang ngambil uang kas?" tanya Amanda, bukan bermaksud menuduh.
Wajah Retno berubah pias. Di letakkannya lembaran uang itu di atas meja.
"Tolong jangan beritahu siapa pun tentang ini, Manda. Gue butuh uang. Orangtua bangkrut," mohon Retno.
"Tapi yang lo lakukan ini salah!" tegas Amanda.
"Gue nggak peduli," balas Retno. Diambilnya uang kas itu separuh, separuhnya lagi ia tinggalkan di atas meja. Lalu Retno berlari pergi.
"Retno! Retno," panggilan Amanda dihiraukan Retno.
"Gue nggak nyangka anak itu nyolong uang," ujar Amanda sambil geleng-geleng. Diambilnya sisa uang kas tersebut, bermaksud untuk menyimpan kembali di tas Winda.
Sial. Hidup Amanda memang selalu sial. Bertepatan dengan Amanda yang membuka tas Winda, saat itu juga si pemilik tas datang.
"Ternyata lo yang selalu nyolong kas!" tuduhnya.
_o0o_
"Bukan saya yang ambil, Bu," berulang kali Amanda mengatakan hal itu pada guru BK.
"Lalu siapa yang ambil, Amanda? Kamu ada di tempat kejadian saat itu. Membongkar tas Winda dan mengambil uang. Dan uang itu jelas-jelas ada di tangan kamu," si guru BK bercerita sesuai dengan kejadian yang dijelaskan Winda.
"Bukan saya, Bu," ulang Amanda.
"Lalu, siapa? Siapa, hah?" tanya guru BK itu geram.
Amanda ingin menyebut nama Retno. Namun Amanda urungkan mengingat ia tidak punya bukti apa pun. Amanda tidak mau dituduh pencuri, dan akan bertambah gelarnya menjadi tukang fitnah jika mengatakan nama Retno tanpa bukti.
Serba salah memang.
"Besok orangtua kamu harus datang ke sekolah. Jangan hadir ke sokolah tanpa orangtua kamu! Ini surat panggilannya!" Si guru BK memberikan amplop putih pada Amanda.
Amanda menatap nanar amplop tersebut. Sumpah, Amanda tidak bersalah. Kenapa ia yang harus dihukum?
"Bukan saya yang mencurinya, Bu. Tapi Retno!" Akhirnya Amanda mengatakan kebenaran yang sebenar-benarnya.
Guru BK itu menatap Amanda dengan pandangan sulit diartikan. Satu alisnya terangkat tinggi, seolah meremehkan.
"Jangan fitnah orang lain, Amanda Sayang. Sekarang keluar dari ruangan saya! Jangan datang ke sekolah besok jika tidak bersama orangtuamu!"
Benar, orang-orang pasti tidak akan percaya jika tanpa bukti.
"Saya bukan pencuri, Bu!" tekan Amanda sebelum keluar dari ruangan itu.
Amanda keluar dengan wajah tertunduk dalam. Dia ingin menangis, namun tidak mampu. Dada Amanda terasa sesak dan penuh. Menggebu-gebu emosi dalam diri Amanda yang tidak mampu tersempaikan.
"Puas lo! Puas lo, hah?! Gara-gara lo gue sering dituduh korupsi uang kas sama wali kelas," makian dari Winda ada hal yang pertama kali Amanda dapatkan ketika dirinya menapakkan kaki di dalam kelas mereka.
Saat itu pula Afgan, Arsen berserta Ridho dan Bayu memasuki kelas. Keempat murid kelas tentangga itu menatap bingung sekitar. Sementara Amanda berdiri dengan wajah tertunduk, dan orang-orang menatap dengan pandangan menghakimi.
"Gue sampai nggak punya muka di depan wali kelas setiap kali ditanya masalah uang kas. Wali kelas kira gue yang korupsi, nyatanya lo yang nyuri. Dasar sialan," Winda lanjut memaki.
Karena terlampau emosi Winda memukul kepala Amanda dengan kepalan tangan kanannya. Membuat Amanda meringis. Ingin melawan, namun posisi Amanda sudah terpojok.
Amanda mengangkat kepalanya. Hal yang pertama kali ia dapati adalah wajah emosi milik Winda. Lalu Amanda absen orang-orang sekitar. Pandangan Amanda berakhir pada Arsen dan Afgan. Kedua laki-laki itu tampak terkejut dengan kejadian ini.
Dengan sisa harga diri yang Amanda miliki ia pergi meninggalkan kelas.
Tbc
Makasih udah mampir 😊
Lagi hilang mood buat nulis nih 😢
Btw entar aku mau buat cerita baru yg judulnya BERONDONG
nanti mampir ya 😁😁
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top