Part 10 - Afgan

Hari pertama sekolah setelah libur semester. Senin pagi yang cerah. Amanda dengan bahagia menelusuri koridor kelas 11. Menyapa orang-orang dengan senyuman ramah sekali pun orang-orang itu tidak menyapa Amanda, dia kelewat ramah.

"Amanda." Suara Lila terdengar heboh menyambut kedatangan Amanda.

Dengan setengah Amanda berlari menghampiri Lila. Amanda menghempaskan  diri di kursi yang sudah ia tinggalkan dua minggu lamanya. Senang rasanya bisa kembali ke sekolah.

"Manda, lo gapapa kan?" tanya Lila memastikan.

Amanda mengangkat satu alisnya. "Memangnya gue kenapa?"

"Soal Arsen. Dia kan udah punya pacar."

Amanda tertawa renyah. "Santai aja kali. Gue gapapa. Awalnya memang sakit, tapi sejauh ini gue masih bisa bertahan. Tanpa dia gue masih bisa hidup dan bernapas."

Amanda coba mengukir senyuman semenyakinkan mungkin bahwa dia baik-baik saja. Walau tidak dapat Amanda pungkiri bahwa hatinya sedang tidak baik saat ini. Terasa nyeri di sudut hati Amanda  ketika mengingat tentang Sarah dan Arsen.

Pura-pura bahagia itu sangat mudah. Cukup tarik kedua sudut bibir untuk menciptakan senyuman palsu.

"Move on nggak semudah itu, Manda. Gue tau lo hanya pura-pura," tuding Lila. Ya, itu betul sekali.

Amanda melepas tas ranselnya. Mata perempuan itu mendadak redup. "Gue bisa apa lagi, La? Dia udah punya pacar."

"Akhirnya lo nyerah," desah Lila lega. Ini yang ia tunggu sejak lama, Amanda akhirnya berhenti untuk menyakiti dirinya sendiri.

"Siapa bilang gue nyerah?" sahut Amanda dengan cepat.

"Laaah?" Lila mengangkat satu alisnya.

"Selama janur kuning belum melengkung siapa saja berhak jadi jodoh Arsen, termasuk gue. Tapi selama mereka masih pacaran gue bakal rehat dulu ngejar Arsen. Ogah kali gue jadi PHO. Setelah mereka nanti putus, baru deh gue tancap gas." Amanda memamerkan senyuman lebar.

Lila ternganga mendengar penjelasan dari sahabatnya itu. Dia berpikir bahwa Amanda akan menyerah. Daebak, semangat Amanda patut diacungi jempol.

"Dasar bucin! Gue nyerah nasehatin lo." Lila mengangkat kedua tangan menirukan gerakan orang menyerah.

"Gue gapapa, jangan khwatir."

"Selama lo rehat ngejar Arsen, mau gak gue kenali sama cowok ganteng?" tawar Lila.

"Cogan? Mau, dong!" Cepat sekali mulut Amanda menjawab. Antena penditeksi cogan Amanda langsung on.

"Giliran cowok aja jaringan lo langsung nyambung. Masalah pelajaran jaringan otak lo lelet," sindir Lila.

Amanda tersenyum polos. "Dedek masih polos, Kak. Cowok itu apa, ya? Sejenis makan?"

Lila mencibir. "Lo mau cowok model gimana? Biar gue carikan. Yang ganteng? Yang pintar? Yang lucu? Humoris?"

"Harus lebih ganteng dari Arsen. Minimal kayak Suho Exo atau kalau bisa Suho-nya langsung juga gapapa."

Lila mencibir. "Gue gak jadi nolong lo! Maaf, gue sibuk!" Lila lebih memilih memainkan ponsel daripada   mengajak Amanda ngobrol.

Temannya itu tidak waras!

---

Amanda berdiri di depan pintu kelasnya. Hari pertama sekolah setelah libur sangat mengasikan. Proses belajar dan mengajar belum berjalan seperti biasa. Para murid dan guru sibuk membersihkan sekolah yang ditinggal selama libur semester.

Amanda  melirik kelas yang berada tepat di samping kelasnya. Mungkin saja di sana ada Arsen. Isssh, Arsen lagi! Ayolah, Amanda lagi berusaha untuk menjauhi laki-laki itu.

Pokoknya gue harus bisa jauh dari Arsen, batin Amanda penuh keyakinan.

"Boleh nanya, ruang kesiswaan di mana?"

Seseorang menghampiri Amanda dan bertanya padanya. Amanda menoleh. Dengan gerakan perlahan dia menarik pandangan dari kelas Arsen ke arah cowok tampan yang kini berdiri di hadapannya. Tunggu dulu! Cowok tampan? Cogan?

Ulalala ye~

Jodoh gue, kah? tanya Amanda dalam hati.

Matanya berbinar menatap wajah tampan itu. Tapi, masih lebih tampan Arsen. Isssh, kok Arsen lagi?!

"Hei," tegur cowok itu.

Amanda tersadar dari lamunannya yang konyol. Buru-buru ia memasang wajah polos yang sangat tidak cocok untuk karakternya yang tidak tahu malu.

"Maaf, tadi lo nanya apa?" tanya Amanda sambil menyelipkan anak rambutnya di belakang telinga. Dia lagi tebar pesona.

Laki-laki tampan itu tersenyum formal. "Ruang kesiswaan di mana?"

Amanda tersenyum girang. Merasa ini adalah jawaban dari masalah yang menimpanya. Amanda yakin, lelaki ini adalah orang yang dikirim Tuhan padanya untuk melupakan Arsen. Mungkin.

"Ayo, biar gue antar ke ruang kesiswaan," ujar Amanda penuh semangat.

"Gak perlu. Cukup kasih tau arahnya saja," balasnya sopan.

"Gak usah jual mahal. Biar gue antar lo ke ruang kesiswaan. Oh iya, kenalin nama gue Selena Gomez."

Pandangan laki-laki itu berubah aneh. Satu alisnya terangkat. Selena Gomez?

"Becanda kali." Amanda tertawa sendiri. Harus ia akui itu candaan yang garing. "Nama gue Amanda. Cewek paling tenar di sekolah ini. Selain tenar gue juga cantik, seperti yang lo liat. Dan yang paling penting gue masih jomblo."

Apa harus diperjelas bagian jomblonya?

Dan ya, pandangan aneh dari laki-laki itu pada Amanda semakin menjadi. Perempuan sarap, pikirnya.

"Jadi nama lo siapa?" Nada suara Amanda menyatakan bahwa ia dan laki-laki itu adalah sahabat baik bagai kepompong. Keramahan Amanda memang tidak perlu diragukan lagi.

"Nama gue Afgan."

"Woooaaa," Amanda bersorak. "Jadi lo Afgan penyanyi terkenal itu?"

Lelaki yang mengaku bernama Afgan itu tertawa kecil atas respon Amanda. "Becanda kali." Dia menirukan Amanda.

"Gue udah tahu. Gak mungkin nama lo Afgan." Amanda bersikap biasa seolah dia sudah menebak bahwa itu adalah candaan, walau sebenarnya tadi dia hampir saja percaya. Jaga gengsi.

"Harusnya tadi gue ngaku sebagai Maria Jola," bisik Amanda pada dirinya sendiri

"Marion Jola, bukan Maria Jola," koreksi laki-laki itu.

"Salah ya?" Amanda terkekeh. "Jadi nama lo yang sebenarnya siapa?"

"Nama gue Afgan," jawabnya.

"Apa sekarang lo juga lagi becanda?" Amanda tak percaya.

"Kali ini gue serius. Nama gue memang Afgan," jawabnya yakin.

Amanda mendelik, ia masih tak percaya. "Oke, nama lo boleh Afgan. Kalau gitu gue jadi Maudy Ayunda."

"Sebenarnya lo Selena Gomez, Marion Jola atau Maudy Ayunda?" tanya laki-laki itu dengan ekspresi polos.

"Gue juga gak tau nama gue siapa. Yang penting gue tetap cantik," jawab Amanda dengan percaya diri sambil mengibaskan rambutnya ke belakang. "Yuk, gue antar ke ruang kesiswaan."

"Kalau lo maksa ngantar, gue gak bisa nolak."

Kedua anak muda itu berjalan beriringan menuju ruang kesiswaan. Para siswa yang melihat keduanya berdecak ingin tahu siapa cowok ganteng yang ada di samping Amanda.

Bukan hal baru lagi jika setiap awal semester ada murid baru di SMA Panca Dharma. Apalagi kali ini cowok ganteng yang menambah pundi-pundi cogan di SMA elit tersebut. Lumayan untuk cuci mata.

"Pagi, Pak." Amanda memasuki ruang kesiswaan terlebih dahulu.

"Ruang BK ada di samping, Amanda," ujar guru dengan kepala plontos itu.

"Ih, Bapak. Saya ke sini mau ngantar murid baru yang nyasar. Lagipula saya ini kan murid baik-baik, mana mungkin mau ke ruangan BK." Amanda memasang wajah tanpa dosa.

"Semester kemarin berapa kali kamu masuk BK?"

"Cuma lima kali, Pak. Semua karena kesalahapahaman semata kok, Pak." Amanda membela dirinya sendiri.

"Mecahin kaca jendela apa sebuah kelasahapahaman? Jelas-jelas kamu sengaja melempar penghapus papan tulis ke arah jendela buat menarik perhatian Arsen," tuduh guru itu.

Harus Amanda akui dia memang sering keluar-masuk ruang BK. Namun bukan berarti dia seorang berandalan kelas atas jebolan SMA Panca Dharma. Semua kenakalan Amanda adalah imbas dari kehebohan yang ia ciptakan sendiri untuk menarik perhatian Arsen.

Ingat, Amanda itu bukan manusia biasa. Urat malunya sudah putus.

Amanda cemberut. "Murid baru semester  ini ganteng banget, Pak. Cocok buat jadi jodoh saya," candanya.

"Balik ke kelas kamu sana! Makasih sudah membantu si murid baru," usir sang guru.

"Iya, Pak! Iya." Amanda memutar tubuhnya. "Gue duluan," pamit Amanda pada si murid baru sebelum meninggalkan ruang BK.

Laki-laki itu balas tersenyum pada Amanda. Pribadi yang unik, batinnya.

TBC

Makasih udah mampir ❤

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top