°Tiga°
Lelaki itu menggenggam erat kedua tangan Aluna. Ia tersenyum, menatap wajah cantik di depannya itu. Namun, sayang Aluna tak mampu menatap balik wajah di depannya, karena wajah itu sangat bersinar terang.
“Aku menyayangimu, Al.” Lelaki itu mengecup buku-buku jari lentik Aluna dengan lembut. Aluna mengangguk. “Aku pun begitu. Sangat menyayangimu.”
“Kamu mau berjanji untukku?”
“Apa itu?”
“Tetaplah bersamaku, apapun yang akan terjadi nanti, aku mohon tetaplah disisiku.” Pinta Lelaki itu sarat dengan nada memohon, membuat Aluna mau tak mau menganggukan kepalanya. “Ya, aku berjanji.”
Lelaki itu semakin mengembangkan senyumannya, ia merengkuh tubuh mungil Aluna. Memeluknya dengan erat, seakan tak ingin kehilangan. Namun, tiba-tiba sebuah cahaya datang, memisahkan keduanya. Aluna memekik histeris saat cahaya itu membawa lelaki di depannya, ia tak ingin ditinggalkan. Ini tidak boleh terjadi. Tidak..
“Tidak…”
****
“Tidak…”
Aluna terbangun dari tidurnya dengan napas tersengal-sengal. Ia menatap ke segala penjuru kamarnya. Mimpi itu terasa aneh. Siapa sebenarnya laki-laki itu? Apa hubungan lelaki itu dengannya? Dan—kenapa mereka harus dipisahkan?
Berbagai pertanyaan berkecamuk di dalam pikirannya, dan satu pun tak ada jawaban yang ia dapatkan. Aluna mendesah pelan. Ia melirik nakas di sebelah tempat tidurnya. Tenggorokannya terasa kering. Ia butuh air, dan sialnya air di gelas yang selalu ia siapkan di nakasnya sudah habis.
Kembali, Aluna mendesah pelan. Ia bangkit dari tempat tidurnya dan melangkahkan tungkainya menuju dapur. Aluna membuka pintu lemari es nya, meraih sebuah botol minuman lalu menuangkannya ke dalam gelas. Gadis itu mendesah lega, saat cairan itu membasahi kerongkongannya. Setelah merasa lebih baik, Aluna kembali melangkahkan tungkainya menuju kamar Saat ia hampir sampai di depan pintu kamarnya, tiba-tiba langkahnya terhenti. Ia mengernyit bingung saat samar-samar mendengar sebuah suara, yang sepertinya berasal dari apartemen sebelah.
Entah dorongan dari mana, Aluna melangkah mendekati suara tersebut. Ia menempelkan indera pendengarnya ke dinding di sampingnya, hingga ia dapat mendengar suara itu lebih jelas.
Dan, seketika Aluna bergidik jijik, setelah tahu suara apa yang didengarnya. Itu.. Suara desahan!
****
Segera Aluna menjauhkan indra pendengarnya dari dinding itu. Dengan cepat ia melangkahkan tungkainya memasuki kamar berharap ia tak lagi mendengar suara menjijikan itu. Namun, beberapa saat suara itu semakin mengeras membuat Aluna menggeram kesal.
Gadis itu langsung berbaring menutup seluruh tubuh mungilnya dengan bad cover tebal. Tak hanya itu ia juga menutup indra pendengarnya menjepit kepalanya antara bantal dengan ranjang. Namun, sayang usaha yang ia lakukan sia-sia, ia masih saja dapat mendengarnya walau samar-samar.
“Argh!” Geram Aluna. Ia mendudukkan tubuhnya membanting bantal begitu saja, Aluna mengusap kasar wajahnya. Kesal dengan sebuah gangguan suara menjijikan yang telah merusak rencana tidur indahnya. Jika saat ini ia berada di Indonesia ia pasti sudah melaporkan kejadian yang tak senonoh ini.
“Ya Tuhan.” Desah Aluna. Ia kembali melangkahkan kakinya guna mengambil bantal yang ia lempar tadi. Selanjutnya Aluna kembali keranjang untuk beristirahat tenang. Aluna mencoba mendengarkan suara yang lebih baik dari pada suara yang tak penting itu. Ia menggapai hanphone dan memasang headset lalu memutar daftar lagu yang telah tersedia di handphonenya, ia menghabiskan volume di handphonenya berharap tak lagi mendengar suara itu. Saat dirasa cukup nyaman barulah Aluna kembali memulai tidurnya yang diawali dengan membaca doa dihatinya.
****
Setelah merasa cukup terpuaskan, Jo memberikan beberapa lembar uang kepada wanita dihadapannya. Dengan penuh ambisi wanita itu mengambil uang yang diberikan Jo.
“Sebaiknya kamu cepat pergi dari apartemenku.”
“Tapi, Jo—” Wanita itu memasang wajah memelasnya agar diperbolehkan tinggal lebih lama di apartemen lelaki tersebut. Tubuhnya serasa lemas sehabis percintaan mereka. Bukan. Mereka bukan bercinta tetapi melakukan sex lebih tepatnya.
“Saat ini aku hanya ingin beristirahat, kamu bisa kembali nanti saat aku membutuhkanmu.” Lalu Jo mendorong wanita itu untuk keluar dari apartemennya, dan kembali menutup rapat pintu apartemennya setelah wanita itu jauh meninggalkan kediamannya tanpa memikirkan bagaimana perasaan wanita itu. Dengan posisi yang masih sama, Jo menyandarkan punggungnya dibalik pintu dan perlahan Jo terduduk lemah di atas dinginnya lantai apartemennya. Bahkan hingga saat ini setelah mendapatkan apapun keinginanya Jo tetap saja tak merasa puas, ia tak merasa nyaman dan ia tak merasa kebahagiaan sedikitpun. Baginya percuma bisa mendapatkan itu namun kebahagiaan yang ia dapat bukanlah kebahagiaan yang sesungguhnya melainkan hanya nafsu sesaat.
Jo menghirup udara sebanyak-banyaknya lalu menghembuskannya secara perlahan, ia bangkit lalu melangkahkan tungkainya menuju sebuah meja yang telah tersedia beberapa botol wine. Tangannya mulai meraih sebotol minuman itu dan berlanjut mengambil sebuah gelas guna untuk meminum minuman keras yang ada digenggaman tangannya. Ia mulai menuangkan minuman tersebut kedalam gelas dan mulai meminumnya. Namun, baru saja ia mulai meneguk air itu Jo membantingnya begitu saja botol wine itu hingga habis tanpa tersisa. Jo semakin larut dalam keputusasaan dan kesendiriannya.
****
Suasana sepi yang menyelimuti kediaman orang tua Aluna di Jakarta. Terlihat rumah itu hampir seperti tak berpenghuni karena memang semenjak kepergian Aluna ke New York membuat suasana rumah itu berubah drastis. Biasanya rumah itu terlihat tempat berlalu lalang Aluna yang bisanya menyiram bunga setiap pagi dan sore, bahkan Aluna juga sering duduk diteras rumah untuk melakukan salah satu hobinya, yaitu memotret sekeliling tempatnya berada. Karena bagi Aluna, photo itu abadi. Photo bisa merekam suatu hal yang tak bisa terulang kembali.
“Ibu itu rindu sama Aluna Ayah, anak kita.”
“Iya, Ayah tahu, Bu. Tapi tidak mungkin untuk kita saat ini menelpon Aluna.” Ridwan menghela napas lelah saat melihat istrinya itu akan memotong kalimatnya. “Disana pasti sudah larut malam. Bagaimana kalau Aluna sedang tertidur? Lalu ia terganggu? Apa Ibu tidak merasa kasihan?”
“Ayah tahu, kan? Bagaimana perasaan aku sebagai Ibu? Aku hanya takut terjadi sesuatu dengannya.” Tutur Sarah khawatir karna mendapat firasat tak baik akan anaknya.
“Aluna sudah besar, Bu. Dia tahu mana yang baik dan mana yang bukan.” Ridwan kembali mencoba menenangkan kegelisahan hati istrinya itu. Karena memang sejak awal, Sarah enggan memberikan izin kepada Aluna untuk pergi ke negeri Paman Sam itu. “Ayah yakin Aluna akan baik-baik saja. Lebih baik Ibu doakan saja yang terbaik untuk dia.”
“Tapi, Yah..”
“Percaya sama Ayah, Bu. Inshaa Allah dia akan baik-baik saja.”
Pada akhirnya, Sarah hanya mampu mendesah pasrah. Demi Aluna, ia akan berusaha mempercayai ucapan suaminya. Ya, semoga anaknya selalu dalam keadaan baik-baik saja disana.
****
Quotes:
“Kita bagaikan Bulan dan Matahari. Aku datang, engkau pergi. Engkau datang, aku pergi.”
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top