°Satu°
Aluna Shakila terus memandang sekeliling tempatnya berdiri saat ini, di bandara internasional John F Kennedy. Pandangannya tak lepas mengawasi setiap gerak-gerik orang yang berlalu lalang dihadapannya. Tepat 5 menit yang lalu, ia baru saja sampai di kota yang dulu sangat diimpi-impikannya, kota yang tak pernah tidur, dan kota yang diharapkan dapat mewujudkan keinginannya.
Aluna tak pernah menyangka ia dapat menginjakan kakinya di kota impiannya ini, tanpa sadar kedua ujung sudut bibirnya tertarik membentuk lengkungan manis diwajahnya.
Ia melepaskan genggaman kopernya, lalu merentangkan kedua tangannya seraya memejamkan mata. Aluna menghirup sebanyak-banyaknya udara New York yang terasa sangat menyejukkan.
“Jadi, seperti inikah udara di New York?” Tanya Aluna kepada dirinya sendiri yang diiringi dengan kekehannya seraya kembali membuka matanya.
Sekali lagi ia menghirup udara lalu menghelanya secara perlahan, sebelum kembali membuka bibirnya dan berkata, “New York I’m Coming.”
***
Aluna membuka pintu apartemennya, yang telah disewa oleh ayahnya selama ia berada di New York. Ia mengamati sekeliling apartemennya, tak lama ia menganggukan kepalanya saat dirasa bahwa apartemen itu nyaman untuk ia tinggali. Aluna melangkahkan kakinya memasuki apartemennya semakin dalam. Ia membuka pintu kamarnya dan tak sadar tubuhnya membeku ditempatnya berdiri. Pemandangan di depannya sungguh sangat memukau. Aluna berjalan cepat menuju balkon kamarnya. Ia menatap pemandangan kota New York yang terpampang jelas di depan matanya. Sungguh, Aluna tak pernah menyangka bahwa ayahnya akan memilihkan tempat seindah ini untuknya, membuat Aluna semakin yakin bahwa ia akan kerasan tinggal di apartemennya.
“Ma syaa Allah, betapa indahnya ciptaan-Mu ini, Ya Allah.” Gumamnya masih dengan tatapan terpesona akan keindahan kota New York, hingga sebuah suara dering handphone menyadarkannya kembali. Aluna memutar tubuhnya, lalu melangkah menuju ranjangnya dimana tadi ia sempat meletakkan tasnya. Ia merogoh handphone di dalam tasnya, nama sang bundalah yang terpampang dilayar handphonenya. Ia menarik tombol berwana hijau, lalu menempelkan benda canggih itu ke indera pendengarannya.
“Assalamualaikum.” Sapanya seraya membuka sepatu yang ia kenakan. Ia menjepit handphone nya diantara telinga dan pundaknya. Aluna mulai mengelurkan pakaian-pakaiannya untuk ia pindahkan ke dalam lemari.
“Waalaikumsalam. Al, kamu sudah sampai, nak?”
“Alhamdulillah, Al sudah sampai, Bu.” Terdengar helaan nafas lega disebarang sana, dan Aluna sadar ibundanya tengah mengkhawatirkannya sejak ia memutuskan untuk menerima beasiswa di New York.
“Syukurlah, nak. Ibu sangat mencemaskanmu, jaga dirimu baik-baik disana ya, nak? Jangan kecewakan bunda dan ayahmu.”
“Inshaa Allah, Bu. Al tidak akan mengecewakan kalian.”
“Yasudah, Ibu tutup telponnya, ya? Assalammualaikum.”
Aluna mengangguk pelan, “Waalaikumsalam.” Jawabnya. Ia menjauhkan benda canggih itu dari indera pendengarnya, lalu ia membanting tubuhnya ke atas ranjang, membiarkan beberapa pakaiannya masih berserakan disekitarnya.
Aluna menatap langit-langit kamarnya dalam diam. Ia merasa ini masih seperti mimpi. Saat ini, detik ini, ia tengah berada di New York, benarkah? Betapa beruntungnya ia dapat menginjakkan kakinya di kota megapolitan ini. Dulu, Aluna hanya dapat bermimpi untuk mengunjungi kota New York, tetapi tidak untuk kali ini. Hei, lihatlah? Ia sekarang tengah berada di kota New York dan itu semua dapat dipastikannya bukanlah sebuah mimpi.
Perlahan rasa kantuk mulai menghampirinya, Aluna memejamkan matanya masih dengan senyuman manis yang terukir diwajahnya.
***
Sore ini, Aluna berniat untuk berjalan-jalan disekitar apartemennya. Ia memasuki sebuah coffee shop yang terletak tak jauh dari tempat tinggalnya. Aluna mengangkat tangannya guna memanggil seorang waiter. Ia membuka buku menu yang disodorkan oleh waiter tersebut.
“Mmm.. I want a cup of cappucino.”
“Please wait a minute, Ms.” Balas waiter tersebut seraya membungkuk sopan lalu beranjak meninggalkan Aluna yang balas tersenyum kepadanya.
Aluna menatap sekeliling coffee shop. Terdapat sofa klasik berwarna orange, karpet merah. Ia mengalihkan pandangannya saat seorang waiter datang mengantarkan pesanannya, “This is your order, Ms.”
Aluna mengangguk, “Thank you, emm—” Ia tidak melanjutkan ucapannya, saat menyadari ia tak mengetahui nama waiter tersebut. Aluna melirik nametag waiter itu, namun ia tidak dapat melihatnya dengan jelas karena tertutupi nampan.
“Sam. Samuel.” Sahut waiter bernama Samuel itu saat mengetahui kebingungan Aluna.
“Ahh.. Thank you, Sam.” Pelayan itu mengangguk sebelum akhirnya beranjak meninggalkan Aluna.
Gadis itu menyesap sedikit demi sedikit minumannya. Menikmati rasa dari cappucino tersebut. Pandangannya kembali menjelajahi pemandangan coffee shop. Tetapi, seketika pandangannya terhenti saat melihat dua orang berbeda gender - yang sepertinya sepasang kekasih itu - tengah bercumbu, tanpa menghiraukan keadaan sekitarnya.
Aluna bergidik jijik melihat hal itu. Ia tahu, kehidupan di dunia barat itu seperti apa. Namun, saat melihatnya langsung, tetap saja itu membuatnya merasa jijik. Aluna terkesiap saat tak sengaja lelaki yang sedari tadi diamatinya tengah bercumbu itu menoleh kearahnya. Dan bodohnya, ia tak sempat mengalihkan pandangannya. Aluna merasa sekujur tubuhnya gemetar saat menatap manik mata berwarna biru itu menatapnya dengan lekat. Gadis itu semakin membeku ditempatnya saat ia melihat seringaian muncul diwajah lelaki tersebut.
****
Aluna mempercepat langkah kakinya menerobos jalanan menuju apartemennnya. kejadian di coffee shop tadi masih membayang dibenaknya, adegan yang sangat menjijikan yang mampu merusak pikirannya karena memang selama ini ia tak pernah menyaksikan adegan seperti itu di depan matanya secara langsung, terlebih saat laki-laki itu menatapnya dengat tatapan yang tak wajar membuatnya enggan untuk bertemu dengan orang seperti laki-laki tadi.
Saat Aluna sampai di apartemenya, ia langsung memasukinya dan kembali mengunci pintu apartemennya. Degupan kencang jantungnya serta gemetar ditubuhnya masih terasa hingga saat ini, kala mengingat kembali tatapan dari lelaki itu.
Kehidupan disini memang sangat bebas, bertindak sesukanya tanpa ada siapapun yang melarang. Aluna menghela nafas panjang sembari memejamkan matanya saat mendengar irama merdu yang melantun dari hanphonenya. Gema adzan pertanda waktu sholat yang telah ia atur, karena memang disini ia tidak akan penah mendengar waktu tanda panggilan sholat. Di kota impiannya ini, sedikit sekali keberadaan tempat ibadah bagi umat muslim. Tanpa diperintah dua kali, Aluna melangkahkan kakinya menuju kamar mandi untuk berwhudu dan melaksanakan sholat magrib.
***
Qoutes:
“Cinta bukan hanya sekedar memiliki. Tapi, cinta adalah memahami.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top