Lima
Gadis itu melangkahkan kaki mulusnya, meninggalkan perkarangan Juilliard School saat pelajaran telah berakhir. Beberapa detik kemudian langkahnya terhenti saat sebuah suara meneriaki namanya, suara yang sepertinya ia kenal. Segera Aluna memutar tubuhnya guna melihat siapa yang telah memanggil namanya. Bibir Aluna tertarik membentuk lekungan manis diwajahnya saat melihat orang tersebut.
“Kenapa kamu berada disini?” Tanya Aluna dengan dahi mengernyit.
“Seharusnya aku yang bertanya seperti itu. Karena aku bersekolah disini.” Jelas pemuda itu yang sukses membuat Aluna membuka mulutnya tak percaya.
“Ja-jadi, kamu seorang pemusik?”
Pemuda itu menggeleng, “Bukan. Aku seorang penari.” Dan, sekali lagi jawaban pemuda itu membuat Aluna kembali membuka mulutnya. “Lalu, kamu sendiri sedang apa disini?” Kali ini pemuda itu yang bertanya. Aluna segera mengatupkan kembali mulutnya yang membuka. “Aku juga bersekolah disini.”
“Wow. Ini benar-benar kejutan.”
Aluna mengangguk, “Yah, sangat-sangat mengejutkan.”
Keduanya pun kembali melanjutkan langkah mereka yang sempat terhenti. Mendadak suasana menjadi sunyi. Tak ada diantara keduanya yang berniat membuka kembali pembicaraan, hingga akhirnya pemuda itu pun kembali bersuara.
“Apa kamu tinggal bersama dengan orang tuamu disini?”
Aluna menggeleng, “Tidak.” Jawabnya pelan. “Aku sendiri disini. Ayah dan Ibuku berada di Indonesia.” Lanjut Aluna yang membuat pemuda itu membulatkan matanya. Bagaimana mungkin gadis seperti Aluna bisa tinggal disini sendiri tanpa kedua orang tuanya?
“Sendiri?” Ulangnya yang mendapat anggukan pelan dari Aluna. “Apa kamu tidak merasa takut?”
Salah satu alis Aluna terangkat, “Kenapa aku harus takut?”
“Karena ini New York. Kota yang penuh dengan kejahatan.” Pemuda itu mengangkat bahunya dengan acuh.
“Aku tidak takut. Karena aku percaya Allah akan selalu melindungiku.” Jawab Aluna dengan mantap.
“Allah?” Ulang pemuda dengan lirih. Sementara Aluna kebingungan, bagaimana harus menjelaskan ucapannya beberapa detik yang lalu? Aluna berpikir jika pemuda itu bukanlah seorang muslim.
“Ma-maksudku. Allah itu Tuhanku.”
“Tuhan?” Pemuda itu kembali mengulangi ucapan Aluna yang dibalas gadis itu dengan anggukan pelan. “Dari dulu aku tidak pernah percaya dengan adanya Tuhan.” Lanjutnya seraya menghela napas lelah. Berbagai kenangan buruk seketika berkelibat di dalam pikirannya.
Aluna mengernyit, “Kenapa?”
“Karena jika Tuhan memang ada, seharusnya aku—” Tak pernah kehilangan mereka. Pemuda itu tak sanggup mengucapkannya secara gamblang. Ia hanya mampu melanjutkannya di dalam hati yang jelas tak akan pernah terdengar oleh Aluna.
“Aku?” Ulang Aluna saat Nate hanya terdiam tak melanjutkan ucapannya. “Nate, ada apa?”
Nate tersadar dari khayalan akan masa lalunya. Ia berusaha menampilkan sebuah senyuman yang terlihat jelas sangat dipaksakan. “Tidak. Tidak ada apa-apa, Al.”
Aluna menghela nafasnya, “Baiklah, aku akan menjelaskan sesuatu kepadamu.” Lalu ia pun mengajak Nate untuk duduk dibangku yang tersedia di sekitar taman kampus. Aluna mengeluarkan sebuah buku dan pulpen dari dalam tasnya. Gadis itu pun memutar duduknya untuk menghadap kearah Nate.
“Kamu lihat buku ini?” Tanya Aluna yang dijawab dengan anggukan kepala oleh Nate. “Kamu pasti tahu bukan, yang menciptakan buku ini adalah manusia? Begitupun dengan pulpen ini.”
Nate mendengus mendengar penjelasan gadis disebelahnya itu. “Ya, aku tahu itu, dan kamu tidak perlu menjelaskannya karena aku bukan orang bodoh.”
Aluna terkekeh mendengar gerutuan pemuda itu. “Oke Oke.” Aluna beranjak dari tempat duduknya lalu ia mengambil sehelai daun yang berceceran di atas tanah. Selanjutnya Aluna kembali duduk di sebelah pemuda yang tengah menatapnya itu. “Dan kamu lihat daun Ini?” Aluna menunjukkan daun yang tadi diambilnya kehadapan Nate. “Ini adalah salah satu ciptaan Tuhan. Coba kamu pikir. Apa manusia mampu menciptakan daun ini? Tidak bukan?” Tanyanya yang dibalas dengan anggukan kepala dari Nate.
“Lalu, siapa yang menciptakannya?
“Tuhan.” Jawab Aluna dengan mantap seraya memandangi langit kota New York.
“Tuhan?” Nate kembali mengulangi ucapan Aluna.
Aluna mengangguk, “Ya, Tuhan. Tuhan yang menciptakan daun, pohon, kita, bahkan seluruh jagad raya ini.” Jelasnya seraya kembali menatap pemuda disebelahnya. Sedangkan Nate mendadak terdiam. Pikirannya sibuk mencerna semua ucapan yang dilontarkan oleh Aluna.
“Nate..” Panggil Aluna pelan yang membuat Nate menoleh kearahnya. “Aku harap kamu akan percaya. Mungkin kamu memang tidak dapat melihatnya. Tapi, percayalah bahwa Tuhan selalu dekat denganmu.” Lanjut Aluna seraya membereskan barang-barangnya.
“Jika kamu memerlukan bantuan untuk menemukan Tuhan-mu, aku bersedia membantumu.” Lalu, ia beranjak dari duduknya. “Kamu dapat menghubungiku kapanpun kamu mau.” Aluna memberikan secarik kertas yang berisikan nama, alamat dan nomor teleponnya kepada pemuda itu, dan menepuk pelan pundak Nate sebelum akhirnya pergi meninggalkan Nate yang masih terdiam ditempatnya.
****
Quotes:
“Aku akan berdiri disini. Bertahan menantimu. Hingga takdir merasa lelah, lalu membawamu berjalan kearahku.”
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top