Enam

Aluna terus mengaduk es jeruk yang telah ia pesan sebelumnya. Sudah hampir 15 menit ia menunggu Nate di kantin Juilliard School. Setelah kejadian di taman beberapa hari lalu, tiba-tiba saja hari ini Nate mengajaknya bertemu. Dan, Aluna dengan senang hati menyetujui permintaan pemuda itu.
Entah kenapa Aluna merasa lebih begitu nyaman dan merasakan sensasi berbeda saat ia tengah bersama dengan pemuda itu. Namun, Aluna tak berani menelaah lebih jauh rasa yang tengah bersemayam dihatinya ini. Ia selalu menegaskan pada dirinya bahwa kedatangannya ke kota ini semata-mata untuk mengejar mimpinya bukan untuk mencari sosok pendamping.
Sesekali Aluna melempar pandangannya keseluruh penjuru kantin guna memastikan kedatangan Nate. Sedetik kemudian bibirnya tertarik membentuk lekungan manis diwajahnya saat melihat sosok yang telah ia nanti. Aluna melambaikan tangannya memberi tanda kepada Nate yang kini juga tengah tersenyum menatapnya.
“Maaf, membuatmu menunggu lama.” Ucap Nate dengan nada penyesalan seraya menjatuhkan bokongnya dikursi tepat di depan Aluna.
Gadis itu menggeleng, “Tidak. Tidak apa-apa.” Lalu dengan perlahan ia meraih gelas milkshakenya dan meminumannya. “Ada apa?” Tanya Aluna saat Nate tak kunjung mengeluarkan suaranya.
Nate menggeleng, “Tidak. Hanya saja—” Ia megantungkan sejenak ucapannya, memperhatikan raut wajah gadis di hadapannya, sebelum akhirnya melanjutkan. “Aku merasa ingin melihat wajahmu. Setelah beberapa hari ini aku tidak melihatmu.”
Aluna merasa darahnya mengalir begitu cepat, membuat wajahnya terasa mendidih. Ia yakin bahwa saat ini kedua pipinya sudah memerah, apalagi pemuda itu terus menatapnya dengan lekat.
Nate mengamati perubahan raut wajah gadis itu, “Al? Kamu demam? Wajahmu memerah.” Ucap Nate seraya menempelkan punggung tangannya tepat di dahi Aluna, berniat memeriksa suhu tubuh gadis itu. Namun, tanpa Nate sadari sikapnya itu malah membuat wajah Aluna semakin memerah. Dan, debaran jantung Aluna semakin terdengar keras, sampai-sampai Aluna takut Nate dapat mendengarnya.
Aluna menurunkan lengan pemuda itu dengan pelan, “Aku tidak apa-apa.”
“Baiklah.”
Sejenak suasana diantara merekapun berubah menjadi canggung. Aluna bergerak-gerak gelisah. Ia tak begitu nyaman dengan suasana seperti ini. Dan, Nate yang menyadari sikap Aluna pun berdeham sejenak, berusaha mencairkan suasana canggung diantara mereka. “Al..?”
Aluna mengangkat alisnya seraya memandang Nate, “Ya?”
“Boleh aku meminta suatu hal kepadamu?”
“Suatu hal? Apa itu?”
“Aku ingin melihatmu memainkan sebuah lagu untukku.”
****
Sebuah alunan nada mengalun merdu dari ruang latihan musik khusus piano. Seorang gadis terus menekan tuts-tuts piano dengan lincahnya. Sesekali ia menutup matanya untuk menghayati lagu yang tengah ia mainkan.
Tak lama Aluna mengakhiri lagu itu diiringi dengan sebuah tepuk tangan yang meriah dari sosok pemuda yang sedari tadi berdiri disisi grand piano. Aluna tersenyum, seakan mengisyaratkan terimakasih atas keantusiasan pemuda itu saat mendengarkannya bermain piano, membuat pemuda itu mau tak mau ikut mengembangkan senyuman menawannya.
“Permainanmu hebat sekali.”
“Jangan memujiku seperti itu.”
Pemuda itu mengernyit tak mengerti. “Kenapa? Bukankah itu memang benar adanya, permainanmu sangat hebat.”
Aluna menggeleng. “Seorang makhluk, hanya boleh memuji sang penciptanya. Kalau kamu memujiku, nanti ada kalanya aku bersikap sombong atas pujian itu.” Jelasnya, membuat pemuda itu menganggukan kepalanya tanda mengerti.
“Baiklah.”
Seketika suasana menjadi hening. Hanya tarikan dan hembusan nafas serta dentingan jam yang memenuhi ruangan tersebut. Namun, hal itu tak berlangsung lama saat tiba-tiba Aluna kembali membuka suaranya. “Emm.. Nate?”
Nate menoleh, ia menatap Aluna tepat dikedua manik mata gadis itu. Setelah kejadian di taman itu, entah kenapa Nate merasa ingin selalu berada didekat Aluna karena itu membuatnya merasa nyaman. “Ya?”
Aluna tak langsung menjawab. Sebaliknya, yang ia lakukan memilin-milin ujung baju yang tengah ia kenakan, membuat Nate yang melihatnya mengernyit bingung.
“Kamu kenapa, Al?”
Aluna hendak membuka mulutnya, namun seketika ia menutupnya kembali. Otaknya terus-menerus berpikir, bagaimana cara mengungkapkan hal yang ingin ia utarakan.
“Ayolah, Al. Bicara saja. Kamu kenapa?” Nate terus mendesak Aluna. Ia merasa penasaran dengan apa yang ingin Aluna bicarakan, sampai membuat gadis itu terlihat gugup sekali.
“Aku—kamu kan sudah melihatku bermain.” Aluna menjeda sejenak ucapannya, membuat Nate yang sudah kepalang penasaran menghela napas panjang. “Emm—sekarang boleh aku melihamu menari?” Tanya Aluna yang seketika membuat Nate melongo ditempatnya.
“Jadi, sedari tadi kamu merasa gugup itu hanya untuk berbicara hal ini?” Tanyanya tak percaya.
Aluna mengangguk-ngaggukan kepalanya dengan lucu membuat Nate gemas melihatnya. “Ya…”
“Astaga Aluna—” Nate mendesah. “Kenapa kamu tidak membicarakannya sedari tadi?”
“Aku kan malu, Nat.”
“Kenapa harus malu, Al? Kita ini teman, bukan?”
Aluna yang mendengar hal itu segera mendongak, ia menatap Nate dengan tatapan yang sulit untuk diartikan. Rasanya, jauh di dalam lubuk hatinya, ada ketidakrelaan saat Nate mengucapkan kata ‘teman’ kepadanya. Namun, Aluna tak mengerti apa arti dari rasa tersebut. Tapi, tak urung ia pun menganggukan kepalanya pertanda setuju dengan sebuah pertemanan.
“Nah, kalau kita memang berteman. Kamu tidak perlu merasa malu untuk mengatakan apapun yang kamu mau kepadaku. Selagi aku bisa, pasti akan aku penuhi.” Ucap Nate disertai dengan sebuah senyuman keyakinan, membuat Aluna mau tak mau tertular senyuman itu.
“Terimakasih, Nate.”
Nate tak menjawab, ia hanya menganggukan kepalanya. Lalu kemudian, ia meminta Aluna untuk kembali memainkan satu buah lagu untuknya.
Dan, tanpa mereka sadari. Sedari awal permainan piano yang Aluna lakukan, seseorang berdiri tepat di depan pintu ruangan. Ia mendengarkan dengan jelas permainan indah dari Aluna, membuatnya seketika tersenyum bahagia.
****
Aluna menundukan kepalanya. Demi apapun, ia tak berani mendongakan kepalanya, menatap sepasang mata yang sedari tadi terus menatapanya dengan tatapan membunuh. Setelah tadi ia selesai bermain piano bersama Nate, ia dipanggil oleh kepala sekolah tempatnya mengeyam pendidikan. Saat sampai diruangan kepala sekolah itu, ternyata ada seorang pemuda juga yang tengah menghadap wanita paruh baya tersebut.
“Emm—ada keperluan apa hingga Mrs.Emily memanggil saya kemari?” Tanya Aluna dengan gugup. Ia memilin-milin ujung bajunya, kebiasannya saat tengah mengalami kegugupan.
Pemuda yang duduk didepan sofa tempatnya duduk itu terus menatap tajam kearahnya. Aluna tak mengerti, apa yang membuat pemuda itu terlihat seperti membenci dirinya. Padahal, Aluna merasa ia hanya baru bertemu dengan pemuda itu dua kali. Di caffe dan di tengah jalan.
“Jadi begini, saya sengaja memanggil anda Mrs.Shakila dan Mr.Albert untuk membicarakan mengenai perlombaan musik tingkat internasional yang akan diadakan tiga bulan lagi.” Ucap Mrs.Emily, membuat Aluna yang mendengarnya menyernyit tak mengerti. “Maksud anda Mrs?”
“Saya melihat di diri kalian, terdapat sebuah bakat. Tapi, sulit bagi saya untuk menentukan salah satu dari kalian. Oleh karena itu, saya meminta kalian untuk berlatih piano setiap hari. Siapa yang paling bagus dalam permainannya, ia akan dipilih untuk mewakili lomba tersebut. Karena setiap sekolah, hanya boleh mewakilkan satu perserta saja. Bagimana?”
Aluna terdiam mendengar penjelasan dari wanita paruh baya itu. Rasanya sulit untuk dipercaya. Ia baru saja memasuki sekolah internasional ini, namun dengan tiba-tiba ia diminta untuk berlatih guna mempersiapkan diri sebagai perwakilan dalam sebuah perlombaan musik. Saat Aluna hendak membuka mulutnya untuk menolak tawaran tersebut, tapi seketika ia kembali menutupnya saat sebuah sahutan terdengar dari wanita paruh bayah itu.
“Saya harap kalian setuju dengan tawaran saya. Karena, saya tidak akan menawarkan ini untuk kedua kalianya apabila kalian menolak.” Ancamnya yang seketika membuat Aluna bergidik ngeri. Merasa tak ada pilihan lain, Aluna pun dengan terpaksa menganggukan kepalanya pertanda setuju.
Mrs.Emily yang melihatnya langsung tersenyum senang. Tatapannya beralih menatap pemuda yang sedari tadi hanya berdiam diri saja. “Lalu, bagaimana dengan kamu, Jo? Selama ini memang kamu yang selalu mewakili sekolah kita, tapi untuk kali ini kamu memiliki pesaing yang akan mewakilkan sekolah ini.”
Jo yang memang dari awal bersekolah ditempat milik ayahnya itu. Biasanya disetiap perlombaan mengenai alat musik piano, selalu Jo yang akan menjadi perwakilannya. Namun, ia tak pernah memiliki saingan. Dan, ini untuk pertama kalianya, Jo merasa tersaingi. Tapi, demi meneruskan impian sang mama, Jo dengan mantap menganggukan kepalanya.
“Ya, saya setuju.”
****

Quotes:
“Saat cinta mulai bersemi. Haruskah ia mati karena sebuah perbedaan?”


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top