°Dua°


Pemuda tampan berkulit putih itu melangkahkan kakinya dengan gontai. Menjelajahi ribuan onggokan tanah yang berjajar. Satu persatu onggokan itu ia lalui guna sampai pada tempat tujuannya. Tempat dimana ia akan mencurahkan seluruh isi hatinya. Hingga sampailah ia pada sebuah pemakaman yang di desain mewah oleh keramik yang didominasi warna hitam.

Joshua menjatuhkan tubuhnya secara kasar, berlutut disisi gundukan tanah itu. “Mom..” Jo berujar lirih seraya mengusap lembut pigura sang mama yang memang terpajang disana.  Seketika, sekelebat memori indahnya bersama Mommy-nya berputar-putar dalam benaknya.
Jo kecil berlari dengan riang, sesekali ia menoleh ke belakang guna melihat jarak antara ia dan sang mama. Ia berteriak nyaring seraya melambai kearah wanita yang dikasihinya itu. “Mom.. Ayo kejar, Jo.”

Sang mama hanya tersenyum dan tak bergerak ditempatnya untuk mengejar jagoan kecilnya itu. Jo yang melihat hal itu segera menghentikan larinya, ia berbalik, berjalan mendekati sang mama yang masih terfokus menatapnya dengan senyuman kecil diwajahnya.

“Mom, kenapa Mom tidak mengejarku?”

Sandra berlutut, menyamakan tingginya dengan jagoan kecilnya. “Sayang, hidup itu pilihan.” Ujarnya lembut seraya mengusap pipi jagoannya. “Semua hal yang kita lakukan di dunia ini, pasti berdasarkan sebuah pilihan.” Jo terdiam mendengarkan ucapan sang mama, keningnya berkerut tak mengerti. “Mom, sengaja tidak mengejarmu. Karena itu pilihan, Mom.” Lanjut Sandra yang masih membuat Jo tak mengerti. Dengan sabar, Sandra berusaha menjelaskan maksudnya kepada buah hatinya itu, mengingat usia Jo baru menginjak 5 tahun. “Mom, tidak mau mengejarmu. Karena Mom ingin kamu mengejar bukan dikejar.”
Jo menggelengkan kepalanya dengan pelan. “Aku tidak mengerti maksudmu, Mom.”
Mendengar jawaban Jo membuat senyum Sandra semakin mengembang. “Suatu saat nanti, kamu pasti akan mengerti, nak.”
Tanpa sadar, setetes air mata berhasil lolos membasahi pipi pemuda itu, kala sebuah kenangan tentangnya dan sang mama terputar jelas diingatannya. Dengan cepat ia menghapus jejak-jejak air mata itu, berusaha menyamarkannya dengan sebuah senyuman.
“Jo merindukanmu, Mom.” Jo mengatur nafasnya perlahan saat ia mulai merasa sesak didadanya. Pertahanannya sebagai seorang laki-laki runtuh bila ia sudah bersangkutan dengan sang mama. Perempuan yang sangat ia kasihi sepanjang hidupnya. Wanita berjasa dalam hidupnya dan pahlawan bagi dunianya.
Joshua memang terkenal sebagai lelaki brengsek. Sering bergonta-ganti pasangan jika ia sudah bosan. Tabiatnya sangat buruk. Namun, dibalik itu semua masih tersisa sedikit kebajikan dalam hatinya. Karena Jo hanya membutuhkan seseorang untuk disampingnya, menggenggam erat tangannya, lalu berjalan berdampingan bersamanya dalam keadaan apapun.
Perlahan Jo memejamkan matanya, merapalkan sebait doa untuk sang mama. Setelah selesai, ia membungkukan sedikit tubuhnya guna mencium batu nisan yang bertuliskan nama wanita yang sangat dicintainya itu. Setelah puas, Jo bangkit dari bersimpuhnya, lalu melangkahkan kakinya meninggalkan tempat peristirahatan sang mama.
****
Jo melangkahkan kakinya memasuki gedung apartemennya. Ia memutuskan untuk pulang ke apartemennya, setelah tadi pergi ke makam sang mama. Jo menunggu beberapa saat di depan pintu lift, setelah pintu terbuka, ia bergegas memasukinya. Jo memencet angka 12 untuk menuju lantai dimana tempat tinggalnya berada.
Tak berapa lama terdengar bunyi ting menandakan ia telah sampai dilantai yang ia tuju. Jo segera keluar dari lift dan melangkah menuju pintu apartemennya. Namun, tiba-tiba langkahnya terhenti saat tak sengaja matanya menatap pintu berwarna putih disebelah apartemennya.
Lelaki itu merasa ada yang berbeda dari apartemen disebelahnya, karena tidak biasanya apartemen tersebut terlihat terang. Setahu Jo, apartemen disebelahnya itu tak berpenghuni. Pemiliknya tengah berada diluar negeri, sekalipun mereka berada di New York, mereka tak pernah menempati kembali apartemen tersebut.
Merasa tersadar, Jo mengedikkan bahunya tak peduli. “Mungkin sudah ada penghuni baru.” Gumamnya seraya memasuki apartemennya.

****
Aluna keluar dari apartemennya bertepatan dengan tertutupnya pintu apartemen disebelahnya. Setelah selesai melaksanakan ibadah shalat ashar, Aluna berencana untuk pergi ke supermarket terdekat. Ia baru sadar bahwa lemari es di apartemennya tidak terisi apapun. Maka dari itu, kini ia ingin berbelanja keperluannya selama berada di New York.
Aluna segera meraih keranjang belanjaan saat ia telah sampai disebuah minimarket yang tak jauh dari apartemennya. Gadis itu memilih beberapa makanan yang tersedia, baik makanan ringan maupun makanan berat.
Hampir seluruh rak makanan telah ia telusuri, namun makanan yang ia cari masih belum ditemukan. Aluna mendesah pelan, ia membalikkan tubuhnya menuju kasir. Setelah beberapa langkah, tiba-tiba langkahnya terhenti saat tak sengaja matanya menatap deretan rak makanan dipojok atas. Itu makanan yang ia cari. Dengan terburu-buru, Aluna segera melangkah menuju rak tersebut karena yang ia lihat makanan itu hanya tinggal 1 buah saja. Aluna menjulurkan tangannya guna meraih makanan tersebut. Namun, karena memang ia tidak terlalu tinggi, makanan tersebut terasa sulit ia raih. Aluna menatap sekelilingnya, berharap ada seseorang yang dapat membantunya, tetapi untuk kesekian kalinya ia mendesah, tidak ada seorang pun dipojokan rak itu.
Menghembuskan napasnya pelan, Aluna kembali melompat-lompat kecil. Sudah beberapa kali lompatan, tapi tetap saja makanan itu terasa tinggi baginya.
Tiba-tiba Aluna mengerjapkan matanya saat tak sengaja ia melihat sebuah tangan meraih makanan yang sedari tadi ia incar. Aluna segera membalikkan tubuhnya, ia siap memprotes kepada siapa saja yang berani mengambil makanan kesukaannya itu. Namun, saat ia sudah membalikkan tubuhnya, semua sumpah serapah yang telah ia susun hilang seketika. Ia menelan ludahnya dengan susah payah ketika matanya bersirobok dengan manik mata berwarna hazel dihadapannya. Bahkan, Aluna hampir tak sadarkan diri saat melihat sebuah senyuman menghiasi wajah lelaki dihadapannya.
“Hey!” Sapa lelaki tersebut, masih dengan senyuman manisnya.
“Astaga, dia tampan sekali.” Gumam Aluna dengan suara pelan yang tetap saja terdengar oleh lelaki dihadapannya karena dekatnya jarak mereka.
“Ahh.. Kamu orang Indonesia rupanya.” Seru lelaki tersebut yang membuat Aluna kembali mengerjapkan matanya. “Ka-kamu bisa berbicara bahasa Indonesia?” Tanya Aluna takjub. Ia tak menyangka dapat menjumpai orang Indonesia, seperti dirinya.
Lelaki dihadapannya itu menganggukan kepalanya pelan sebagai jawaban. Lalu, ia menyodorkan makanan yang tadi diraihnya ke arah gadis itu. “Ini..”
“Hah?”
Lelaki itu semakin mengembangkan senyumnya saat melihat kebingungan Aluna. “Iya, tadi kamu ingin mengambil makanan ini, bukan? Dan, ini aku ambilkan.”
Aluna lagi-lagi mengerjapkan matanya, dengan menahan debaran jantungnya yang semakin menggila, ia mengulurkan tangannya untuk mengambil makanan tersebut. “Te-terimakasih.” Ucapnya terbata yang kembali dijawab dengan sebuah anggukan kepala.
“Oh, iya. Kita belum sempat berkenalan.” Lelaki itu mengulurkan tangannya ke hadapan Aluna yang langsung dijabat oleh gadis itu. “Perkenalkan, namaku Nathaniel Grissham. Kamu bisa memanggilku Nate.”
“Aku Aluna—Aluna Shakila.”
****

Quotes:
“Karena cinta bukan hanya sekedar kata. Tetapi, cinta adalah sebuah rasa. Rasa yang tak bisa diungkapkan oleh kata.”




Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top