Preview 4

Inuyasha belong to Rumiko Takahashi

Note: belum masuk ke dalam tahap Edit. Kemungkinan ada yang berubah di dalam buku.

.

.

.

INDEFINITE

.

.

Menjadi salah satu biksu bukan hal yang Inuyasha tentukan sejak lahir. Tentu saja. Jika bukan karena ia yatim piatu dan ditaruh di dekat Kuil Shikonotama saat masih bayi, mungkin langkahnya tidak akan terkungkung sebagai biksu.

Tapi, setelah mengetahui betapa kerasnya pandangan para biksu terhadap bangsa siluman, membuatnya berpikir ulang.

Ia yang seharusnya menjalani ritual menjadi biksu suci justru memilih kabur. Meninggalkan jalan yang sudah dipilihkan untuknya.

Bukan berarti Inuyasha tidak merasa berhutang budi pada Biksu Suci Shoin yang sudah membesarkannya. Namun, selepas kepergian penjaganya itu barulah ia merasa tidak kerasan.

Berapa banyak yokai yang tidak bersalah harus mati.

Bagi para Biksu utama, yokai adalah musuh manusia. Mereka monster yang harus dimusnahkan sebelum berbuat kekacauan pada seluruh dunia.

Bayi yokai ataupun hanyou, tidak diberi pengampunan. Dibunuh tanpa mengenal babibu.

Ini sudah lima tahun sejak Inuyasha memilih keluar dari ajaran kuil Shikonotama. Ia menjadi musuh, tapi bukan berarti ia menyesal. Dalam perjalanan tanpa henti, ia banyak menolong yokai.

Kini, ia tengah menginap di salah satu desa yang lumayan tertinggal. Tanpa hiruk pikuk orang-orang kerajaan serta kuil, ia melihat berbagai yokai yang menyamar dan berbaur dengan manusia di sini.

Yang membuatnya tertarik adalah keberadaan sesuatu yang disebut sebagai Dewa.

Hal seperti ini bisa menjadi masalah jika pihak kuil mendengarnya. Apalagi gosip yang santer tersebut berasal dari sebuah desa kecil di mana yokai dan manusia berbaur. Konflik akan muncul dengan pastinya.

Inuyasha membuka pintu penginapannya. Seharian menghabiskan waktu untuk mengenal Dewa yang menjaga desa ini. Mereka memanggilnya Lord Inushiro. Dari belasan orang yang membuka mulut mereka mengenai legenda tersebut, mengatakan bahwa desa ini memang lahir dari berkat Dewa Inushiro.

Jantung Inuyasha seakan berhenti berdetak begitu pandangan mata tertuju pada ranjang.

Ada orang asing yang duduk di sana.

"Kau tidak salah masuk ruangan," orang itu berkata dengan nada yang seakan mengatakan sikap blank Inuyasha adalah lucu.

Inuyasha mengerutkan dahi, ia membuka mulut, "Lalu untuk, um apa kau ada di sini, tuan?"

Orang itu sangat tampan. Ada aura yang membuatnya sangat memikat. Rambut perak terikat tinggi. Wajah dengan dagu lancip, hidung mancung, serta mata yang tegas, sangat aristokrat.

Yokai.

Meski cara berpakaiannya sangat manusiawi, namun perawakan serta auranya jauh melebihi manusia.

"Aku perhatikan kau banyak bertanya mengenai Dewa Inushiro, kenapa?" Orang itu bertanya sembari mengambil alih ranjang. Membaringkan diri seenaknya, lalu memiringkan posisi agar bisa menatap langsung Inuyasha. Mata emas berkilat.

Inuyasha dapat mendeteksi betapa berbahayanya orang yang ada di ranjang. Meski sikapnya sangat santai, namun kekuatan yang tersembunyi itu tidak sepenuhnya tertutupi. "Aku hanya ingin memastikan apakah Dewa memang ada di sini. Apakah Dewa Inushiro menjamin seluruh yang hidup di desa ini."

Orang itu terdiam. Menatap Inuyasha dengan sangat lekat. Ada kecurigaan yang terlihat di pandangan mata dari pria tampan yang berbaring di ranjang. "Untuk apa kau mencari tahu hal ini?"

Inuyasha melangkah lebih masuk, bersikap seolah tadi ia tidak merasa terintimidasi sama sekali. Ia membuka vest cokelat yang membalut di atas kemeja merah yang dikenakannya. Ia berjalan mendekati kursi yang ada di dekat meja. Pemuda berumur dua puluh lima itu duduk dengan tenang. Mata cokelat madu melirik, lalu dia menjawab, "Karena aku juga ingin tahu bagaimana caranya melindungi mereka. Terlalu banyak orang tak bersalah yang terbawa akan konflik antara kerajaan, kuil, dan yokai. Tidak peduli apa ras seseorang, jika mereka tidak berbuat kejahatan, maka mereka tidak berhak untuk mendapatkan siksaan atau deskriminasi."

Entah kenapa Inuyasha menjelaskan apa yang dipikirkannya. Namun, mungkin ini salah satu cara mendapat informasi yang diinginkan. Tidak ada yokai dewasa yang mau membuka mulut dan berbagi informasi dengannya.

Yokai sangat awas dengan manusia. Begitupun manusia terhadap yokai.

Kedua ras mengalami salah paham yang terlalu lama berlarut. Ia ingin mengubahnya walau sedikit.

Mata emas terus mempelajari segala reaksi yang digunakan Inuyasha. Keseriusan di wajah tampan tampak jelas, namun perlahan bibir yang semula membentuk garis lurus kini naik. "Baiklah."

Inuyasha tidak mengerti apa yang baik?

Tiba-tiba pria di atas ranjang bangkit dan berjalan mendekati Inuyasha. Ia berhenti saat jarak mereka sangat dekat. Ibu jari dan telunjuk mengangkat dagu sang pemuda bermata cokelat.

"Aku mempercayaimu. Kau akan bisa melakukan hal yang sama denganku nanti," pria itu berucap dengan senyum tulus. Ia menundukkan diri. Tanpa kata-kata lagi mencium bibir Inuyasha.

Ini pertama kali Inuyasha mencium pria. Setelah keluar dari kuil bukan berarti ia benar-benar suci. Ada hal-hal yang membuatnya penasaran. Ia tidak virgin. Tapi, tetap pria ini akan menjadi yang pertama untuk 'hubungan bengkok'-nya.

Entah bagaimana Inuyasha terbuai dengan kata-kata halus dan manis, ia dibawa ke ranjang. Dicumbu, disentuh, serta diperhatikan secara lebih. Melebihi pasangan yang selama ini pernah dimilikinya.

"Namaku Toga. Ingatlah, Inuyasha."

.

.

.

Inuyasha bangun dengan rasa sakit di kepala dan tubuh bagian bawah. "Aw."

Ia langsung tertidur kembali ke ranjang. Kenapa rasa sakitnya berlebihan begini?

Tubuh telanjangnya disertai bekas gigitan serta cumbuan. Selimut menutupi bagian perut ke bawah. Tapi, dari rasa lengket yang ada di paha, bisa ia bayangkan betapa parahnya intimasi semalam.

Yokai bernama Toga itu sudah menghilang. Tanpa kata-kata perpisahan atau apapun.

Sedikitnya Inuyasha merasa sangat kecewa. Ia seperti pacar gelap yang hanya digunakan sekali lalu dibuang.

Mengerang pelan, ia merasa malu karena memang malam peraduannya dengan Toga sangat berkesan. Bahkan sampai sekarang residu dari pergumulan mereka masih membuatnya bersemu malu.

Terbatuk pelan untuk menyadarkan diri, Inuyasha berniat kembali ke alam mimpi, namun suara tangisan pelan mengejutkan bukan main.

Mata cokelat membesar. Ia menatap sekitar bingung. Suara tangisan itu terdengar kembali.

Kebingungan dengan menahan rasa sakit, Inuyasha mengedarkan pandangan.

Akhirnya ia menemukan sesuatu yang aneh. Di balik selimut yang menutupi tubuh bagian bawahnya, ada yang bergerak-gerak.

Tangan Inuyasha bergetar saat mencoba menyibak selimut yang menutupi. Tarikan napas terkejut, pandangan iris cokelat terpaku pada benda—bukan bayi.

Bayi kecil dengan tubuh kemerahan dan berkerut tengah bergerak tak nyaman. Mulut kecil membuka dalam tangisan. Sejumput rambut keperakan dapat terlihat di puncak kepalanya. Kelopak mata masih menutup, namun ekspresi sedih terlihat jelas.

Inuyasha tertegun bodoh selama beberapa saat. Ia meneliti kembali, mendapati darah menggenang di antara dua pahanya. Dengan sebuah benda yang menghubungkan pusar sang bayi hingga ke bagian dubur Inuyasha.

Pantas saja ia merasa sangat sakit. Rupanya ia melahirkan. Dalam. Semalam.

".........."

Tidak ada kata-kata yang bisa ia ucapkan untuk menjelaskan apa yang terjadi. Bahkan akal sehatnya tidak bisa membuat hal rasional.

Bayi itu masih menangis.

Kepalan tangan kecil bergerak memukul udara dengan pelan. Wajah yang merah kini makin memerah karena tidak diladeni.

Inuyasha panik!

Ia melihat ke kanan-kiri mencari sesuatu yang bisa digunakan untuk membalut bayinya. Sebelum itu ia melihat sebuah gunting yang seharusnya tak ada di samping meja. Warnanya keemasan terang. Tanpa pikir panjang, ia memotong plasenta yang menghubungkannya dengan sang bayi.

Ia berkedip begitu terputus, baik plasenta dan gunting menghilang begitu saja.

Apa yang terjadi?

Gonggongan membuat Inuyasha makin kaget. Ia bergerak untuk melindungi bayinya. Mata mendelik ke arah bawah ranjang. Meski perut dan dubur terasa sangat panas, ia masih bergerak demi bayi yang masih menangis.

Menarik napas panjang, ia mencoba menenangkan diri. Ada makhluk kecil yang bergantung padanya. Gonggongan kembali terdengar. Tak ingin kamar sebelah mengetuk pintunya, Inuyasha melihat apa sebenarnya yang diinginkan sesuatu di bawah ranjang.

Anjing. Ada anjing berbulu tebal dengan warna putih tengah menarik kain di moncongnya. Seperti mengerti dengan kesulitan yang dirasakan Inuyasha, anjing itu melompat ke kasur. Memberikan kain yang menggantung di antara gigi taring ke samping sang manusia.

Tertegun sesaat, Inuyasha kemudian mengambil kain halus yang diberikan padanya. Pada bagian bawah jahitan tertera nama 'Sesshomaru'.

Anjing itu lantas duduk diam. Memperhatikan sekaligus menunggu.

Inuyasha dengan hati-hati membersihkan sisa darah yang menempel pada bayi tersebut. Lagi-lagi ia terkejut saat kain itu tidak kotor sama sekali. Bagai sihir, setiap sentuhan menggunakan kain ajaib itu, tubuh sang bayi pun bersih.

Keanehan demi keanehan terjadi. Inuyasha hanya berkedip dan mencoba menerima begitu saja. Ia tahu bagaimana sihir bisa dimanipulasi oleh kaum yokai. Namun, tetap saja ini jauh di atas level yang pernah ditemuinya.

Ini bukan kali pertama Inuyasha menyentuh bayi. Selama perjalanan lima tahunnya, entah berapa banyak bayi hanyou dan yokai yang pernah ia bantu.

Bayi yang semula menangis kini terdiam begitu Inuyasha menutupi tubuhnya dan membawa ke dalam dekapan.

Anjing itu masih diam, hanya ekor putih yang menepuk-nepuk kasur.

Bibir mungil membuka kembali, dua kepalan tangan bergerak-gerak seakan ingin menggapai sesuatu. Entah karena kesal atau bukan, bayi itu menangis lagi.

"Ssh, ssh," Inuyasha bergumam tak jelas. Mencoba menenangkan bayi tersebut. Ia membawa buntalan putih itu ke dada.

Tak berapa lama wajah mungil seakan menengok, mencari kehangatan yang terpancar dari tubuh Inuyasha.

Bibir kecil tiba-tiba menemukan sesuatu. Puting yang polos di dada Inuyasha menempel di mulut sang bayi.

Bibir sang manusia berkedut.

'Kau tidak akan bisa mendapatkan air susu dari sana. Aku ini laki-laki.'

Harusnya Inuyasha jauh lebih pintar dari itu. Jika sihir bisa membuatnya melahirkan bayi dalam satu malam, maka ada kemungkinan juga ia dapat berlaktasi.

'Oh.'

Bibir Inuyasha membuka dalam kekaguman, mulut kecil yang sejak tadi menutup di putingnya dan perlahan menghisap, kini berhasil. Sesuatu yang hangat seolah mengalir dari dadanya.

Senyum sayang mengembang di bibirnya. Satu tangan kecil yang mengepal bergerak girang. Inuyasha berucap sayang, "Hey bayi kecil."

Seperti mengerti, kelopak mata yang sejak tadi menutup kini membuka pelan-pelan. Mata bundar berwarna keemasan terlihat.

Jantung Inuyasha berdetak. Ada perasaan aneh melihat bayi itu. Bahagia, senang, girang. Emosi positif bergumul dalam hatinya.

Inuyasha mengusap helaian perak yang hanya ada di puncak kepala sang bayi. Mirip dengan yokai yang semalam menidurinya.

Ia menyamankan posisi sang bayi di dadanya. Membiarkan meminum air susu yang secara ajaib muncul. Kepalan tangan kecil masih bergerak, sampai Inuyasha mengusapnya dengan jari telunjuk. Kepalan itu membuka dan menangkap telunjuknya.

Tawa pelan penuh perasaan senang dan gemas mengisi hatinya.

Mulut kecil itu membuka. Melepaskan puting yang mengeras dan sisa putih susu yang masih nampak di ujung. Wajah tembam putih menggusap di dada Inuyasha. Telunjuk yang tertangkap makin erat digenggam dalam tangan mungil.

Inuyasha merasakan rasa sayang yang tinggi.

Dapat dikatakan bahwa bayi ini adalah putranya. Ia yang melahirkannya—terbukti dari bekas ari-ari yang dipotongnya tadi.

Mata cokelat memandang pada bayi yang kembali menutup mata, diam dalam pelukan hangat sang ibu.

"Sesshomaru. Mulai hari ini aku adalah ibumu."

.

.

"Ma!" Sesshomaru berteriak kencang. Inuyasha merasakan reaksi berlebihan seakan perutnya ditendang kuat. Ketakutan menyelimuti mendengar jeritan putranya memanggil tadi. Ia buru-buru bangun dari membantu seorang hanyou yang tengah berbaring terluka.

Ia baru akan berlari keluar dari ruangan di mana beberapa yokai dan hanyou beristirahat, namun bocah kecil sudah lebih dulu menabraknya. Wajah mungil langsung mengusap pada bagian paha Inuyasha. Tubuh Sesshomaru bergetar.

Perasaan takut yang dirasakan Inuyasha makin kerasa. Ia mengusap puncak kepala dengan rambut perak. Perlahan ia melepaskan pelukan kencang putranya. Ia pun duduk jongkok.

Kedua tangan menangkup wajah yang disertai air mata dari Sesshomaru. Mata cokelat madu meneliti, memastikan tak adanya luka di tubuh putranya.

Sesshomaru membuka kedua tangan. Ukuran tubuhnya seakan ia adalah bayi berumur tiga tahun, padahal dari melahirkan hingga sekarang, waktu hanya berlalu selama tiga bulan.

Inuyasha bangkit dan mengangkat Sesshomaru ke dalam gendongan. Wajah kecil berurai air mata.

"Ssh, katakan padaku apa yang terjadi?" Inuyasha memegang pinggang Sesshomaru dengan satu tangan, satu lagi ia gunakan untuk mengusap air mata yang keluar.

Sesshomaru berkembang terlalu cepat. Inuyasha lama bergaul dengan yokai, namun tidak pernah melihat adanya pertumbuhan yang sepesat anaknya. Tiga bulan tampak seperti tiga tahun. Belum lagi kemampuan memahami Sesshomaru jauh melebihi anak-anak lain.

"Jakotsu—tuan Jakotsu, aku menyentuhnya."

Artikulasi yang digunakan Sesshomaru jauh lebih jelas untuk umur tiga tahun.

Inuyasha memeluk Sesshomaru. Membagi kehangatan agar putranya berhenti merasakan ketakutan.

Dalam tiga bulan ini, ia banyak memahami mengenai putranya. Bagaimana Sesshomaru memiliki kepekaan empati yang sangat mengerikan. Segala sesuatu yang disentuhnya dapat menyalurkan emosi.

Seperti tadi, Jakotsu adalah salah satu yokai yang ditangani dalam klan empat raja. Klan yang tengah mengalami perang dengan pihak kuil.

Jakotsu merupakan yokai yang terluka parah dan dalam kondisi kritis. Cairan silver yang memasuki darah sang yokai membuatnya sulit untuk sembuh. Ditambah kedua tangannya patah. Luka bakar dari kertas suci masih belum sembuh di sekujur dadanya.

Segala kesakitan dan ketidakberdayaan yang dirasakan oleh Jakotsu akan tersalurkan ketika Sesshomaru menyentuhnya.

Karena itu Inuyasha sudah berulang kali memberikan peringatan pada putranya untuk tidak menyentuh apapun tanpa izinnya.

"Sssh, semua akan baik-baik saja. Tuan Jakotsu akan sadar sebentar lagi," bujuk Inuyasha sembari terus menggendong dan menepuk-nepuk pelan punggung Sesshomaru. Ia menyalurkan perasaan sayang pada putranya. Ingin menggantikan kesakitan dari Jakotsu.

Sesshomaru menenggelamkan wajah di pundak sang ibu. Perasaan hangat dan sayang perlahan memasukinya. Menggantikan kengerian dari luka yang diderita oleh Tuan Jakotsu.

"Di mana Bakusai?" Inuyasha membopong Sesshomaru menuju keluar kamar rawat. Ia tidak ingin anaknya yang masih belum bisa mengendalikan kekuatan untuk bersentuhan dengan yang lain.

Sesshomaru memeluk leher sang ibu. Wajahnya diusap-usapkan ke pundak berbalut baju. Hangat pelukan menutupi sensor empati yang telah membuatnya kesakitan. Ia menjawab setengah merajuk, "Bakusai keluar."

Inuyasha mengerutkan kening. Bakusai adalah spirit penjaga milik Sesshomaru. Terlihat dari bagaimana dia terus mengikutinya sejak pertama Sesshomaru lahir. Setelah mencari informasi sebisanya, ia mengira jika anjing putih itu adalah spirit penjaga. Dan untuk status putranya—ia pikir dia adalah dewa.

Percakapan dengan Toga tiga bulan lalu masih ia ingat. Bagaimana pria tampan itu bertanya kenapa ia terus-menerus mencari tahu mengenai Dewa Inushiro. Ada kemungkinan bahwa Toga sendiri merupakan Dewa Inushiro yang dimaksud.

Jika iya, maka Sesshomaru yang sangat ajaib itu kini lebih masuk akal. Kemampuan luar biasa yang dimiliki putranya tidak lain merupakan warisan dewa.

"Bakusai," panggil Inuyasha dengan nada yang setengah kesal. Anjing putih itu berlari dan mengerem mendadak, menabrak kaki seorang perawat hanyou.

Sesshomaru menyembunyikan senyum di balik baju sang ibu. Mata emas mendelik senang mendengar Bakusai dimarahi.

Inuyasha tentu sadar dengan kenakalan putranya sendiri. Tapi, apa boleh buat. Ia tahu bahwa rasa sayang terhadap Sesshomaru sudah sangat besar.

Inuyasha rasa Sesshomaru masih kesal karena Bakusai mengambil jatah apel miliknya. Sehingga dia merasa senang sekarang melihat spirit penjaga itu dimarahi.

.

.

End preview 4

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top