Preview 2
Inuyasha belong to Rumiko Takahashi
.
.
.
Sadis
.
.
"Berengsek, aku ini laki-laki!"
Inuyasha langsung menutup mulut begitu kata-kata kasar tadi keluar. Impulsnya dalam menanggapi hal negatif selalu lebih dulu memaki ketimbang berpikir. Kini ia menyesal telah lancang mengumpat keturunan utama keluarga InuShiro. Dua pria berpenampilan menarik tengah memandang ke arahnya. Dua Yokai murni yang banyak dibicarakan karena kemampuan yang luar biasa.
Satu di antaranya dapat membuat Inuyasha diusir dari keluarga besar InuShiro. Apalagi status dirinya hanya Hanyou, yang sejak awal tidak berarti banyak. Yang ia miliki hanya seorang ibu.
Bagus sekali, Inuyasha.
Bagaimana caranya agar ia tidak terusir dari keluarga Inushiro? Ibunya susah payah meminta izin dari keluarga cabang utama agar membiarkannya melihat kediaman besar InuShiro. Di sini justru ia berbuat konyol.
Pria tampan dengan rambut cokelat ikal tersenyum padanya. Terkesan akan ucapan kilat yang dikeluarkan tadi. "Lalu kenapa kau berada di sini berpenampilan bagai wanita?"
Inuyasha menipiskan bibir. Dadanya kembang kempis menahan emosi. Mata masih menunjukkan bara pembangkangan, namun ia masih sadar diri dan memilih menatap ke samping. "Dengan segala hormat, saya ini laki-laki."
Memalukan sekali. Wajah Inuyasha memerah karena terhina.
Semua berawal dari keinginannya mengunjungi kediaman utama InuShiro. Sebagai anak dari golongan cabang, Inuyasha sulit sekali bertemu dengan satu rasnya. Apalagi dengan status Hanyou yang disandang. Ia sudah terasingkan, namun ia merasakan dirinya rendah. Jika malu, sama saja ia mencoreng ibunya yang masih menahan ejekan dari keluarga mereka.
Ibunya memadu kasih dengan seorang manusia. Melarikan diri demi bersama kekasihnya, namun saat Inuyasha berusia tiga tahun, sang ayah justru meninggal. Tidak adanya ikatan lain di dunia Nigen, membuat mereka harus kembali ke alam Yokai.
Tentu kembali saja masih belum cukup. Ibunya seorang keturunan utama, namun karena pembangkangan ini ia diturunkan derajat menjadi anggota keluarga cabang. Sebab itu sejak kecil Inuyasha diperlakukan kasar.
Inuyasha tidak peduli pendapat yang lain, selama ia masih memiliki ibunya, lalu yang lain tidak berarti apapun. Ia hanya penasaran pada tempat di mana sang ibu, Izayoi, dibesarkan. Pada orang-orang yang sering memberinya hadiah melalui perantara.
Setelah susah payah, ibu Izayoi berhasil mendapatkan izin agar Inuyasha melihat kediaman utama. Dengan syarat tidak mempermalukan mereka atau dilihat oleh anggota utama yang lain.
Ia datang sendiri ke sini. Ibu Izayoi harus menjalankan misi dari pihak keluarga sebagai ganti dari hak istimewa yang didapatkan Inuyasha hari ini.
Inuyasha yang masih muda, di ambang kedewasaan, merasa ia dapat menjalankan perintah ibunya tanpa hambatan. Tapi, siapa sangka ia justru dibodohi dengan seseorang. Seorang yang bernama Koga, yang mengaku jika dirinya merupakan tamu agung di kediaman ini.
Inuyasha panik begitu mendengar ada banyak anggota utama InuShiro hari ini. Jika ketahuan maka bukan hanya dirinya yang mendapat hukuman, melainkan sang ibu juga akan terseret masalah. Karena itu ia menurut ketika Yokai murni bernama Koga itu memintanya menyamar menjadi wanita dan menyuruhnya bersembunyi.
Saat ia panik, maka ia melakukan apa yang disuruh. Tapi, Inuyasha justru dijebak. Ia diikat di ruangan dari paviliun terujung kediaman InuShiro.
Saat itu siapa yang menyangka jika yang menemukannya justru dua orang Yokai ternama di dataran ini.
"Kau menyambutku dengan baik, Sesshomaru. Kau bahkan menyiapkan wanita penghibur."
Saat mendengar kata wanita penghibur, secara refleks Inuyasha membuka mulut untuk membantah.
"Aku tidak berpakaian seperti ini karena keinginanku," Inuyasha menjawab dengan gigi yang bergesekan. Tangan mengepal di belakang ikatan. Ia bergerak tak nyaman, pakaian yang dikenakan memang tampak seperti wanita penghibur. Bagian serupa rok hanya mencapai di atas lutut. Obi yang mengikat mulai kendur akibat ia yang berusaha lepas sejak tadi.
Dengan dua pasang mata tajam yang mengintai setiap gerak-geriknya, Inuyasha jadi ingin menarik ke bawah rok yang terangkat dan tidak beratur.
Inuyasha tentu mengagumi Sesshomaru. Siapa yang tidak tahu akan kejeniusan keturunan utama dari keluarga InuShiro. Selain itu dengan wajah tampan dan ekspresi pasifnya, pasti mudah memikat siapa saja.
Sesshomaru memandang datar, manik emas naik untuk menatap langsung wajah yang memerah. "Kau melanggar aturan. Ini wilayah privat keluarga InuShiro."
Inuyasha makin panik. Tentu saja Sesshomaru tidak akan mengenalinya. Ini kali pertama mereka bertemu, ditambah telinga bagai anjing miliknya sudah meneriaki kata Hanyou. Banyak Yokai yang membenci Hanyou, ia takut hal ini akan membawa masalah. Buru-buru pemuda berambut putih itu menjelaskan. "Aku anggota keluarga cabang InuShiro, tuan."
Ia bahkan menambahkan kata tuan sebagai bentuk tunduk. Inuyasha tidak boleh membangkang pada Sesshomaru yang memiliki status lebih tinggi darinya. "Aku datang kemari dengan izin, aku hanya tidak boleh ketahuan oleh keluarga utama. Tapi ..... Tadi seseorang bernama Koga menjebakku di sini!"
"Siapa namamu?" Sesshomaru masih mengintrogasi. Ia sudah dapat menebak dari aroma setengah InuYokai yang ada di sekitar pemuda berambut putih panjang ini jika dia adalah keluarga.
Inuyasha menunduk pasrah. "Inuyasha."
"Sesshomaru, kau tidak perlu terlalu tegas dengannya." Naraku sedikit membungkuk, meratakan tingginya agar dapat memandang langsung wajah Inuyasha. Mereka terlalu dekat, nyaris kedua hidung saling menyentuh.
"Tapi, setelah kupikir, Sesshomaru bersikap skeptis pun aku dapat memahami. Bagaimana jika kau adalah mata-mata yang ingin melukai kami?"
Iris cokelat madu membelalak. "Mana mungkin ada yang waras ingin menyerang dua Yokai terkenal seperti kalian!"
Naraku tertawa lepas. Ia makin mendekat. Satu tangan mengusap wajah sang Hanyou. Satu lagi tanpa diduga menggores paha bagian dalam menyibak lebih lebar rok Inuyasha.
"Apa yang kaulakukan?!" Inuyasha memundurkan diri, namun ia lupa jika dirinya terikat di pilar ruangan tersebut. Ia panik dan mencari pandangan dari Sesshomaru. Bagaimanapun InuYokai murni itu adalah sepupunya. Di saat genting, Hanyou ini pasti mencari bantuan dari orang terdekat.
Sesshomaru justru menatap intens. Wajah tanpa ekspresi sangat fokus mengamati gerak-gerik sahabatnya dengan Inuyasha. Pipi sang Hanyou makin memerah.
Tangan dari Naraku naik ke atas, ibu jari dan telunjuk mempermainkan pinggiran dari pakaian yang dikenakan Inuyasha.
"Aku bukan .... Apa yang .... Tunggu."
Naraku makin terpikat dengan wajah ketakutan sang Hanyou, ia melirik pada sahabatnya yang masih mengamati dari samping. Dengan satu jari ia memberi isyarat. Keduanya sejak kecil selalu bermain bersama, tentu kode yang dibuat oleh tuan muda dari keturunan Yokai laba-laba itu dapat dimengerti dengan mudah.
Sesshomaru mendekat. Melangkah memutar hingga berada di pilar bagian belakang sang Hanyou.
"Inuyasha," cara mengucap Naraku yang disertai nada dalam membuat sang Hanyou bergidik. "Santapan di depan mata, apakah orang kelaparan akan mengabaikannya begitu saja?"
Inuyasha tidak dapat mencerna saat dua Yokai kuat itu mengukungnya. Aura mereka begitu kuat, membuai sang Hanyou dengan keamanan sekaligus ketakutan.
Wajah tampan Naraku mendekat, helaian ikal menggelitik. Bibir panas mengores pelan pada permukaan kulit leher yang tidak tertutup rambut putih. Secara baik hati Sesshomaru menyisir surai sang sepupu, menyatukan, lalu mengangkatnya. Memberikan akses mudah bagi sang Yokai laba-laba.
"Apa—"
"!!"
Secara refleks kaki Inuyasha ingin menendang, namun taring tajam lebih dulu menancap. Cairan hangat mengalir masuk ke dalam peredaran darah. Dalam hitungan detik pergerakan sang Hanyou melemas.
Sesshomaru melepaskan rambut Inuyasha. Membiarkan surai putih itu tergerai indah. Ia dalam diam mengusap bekas darah yang keluar dari gigitan Naraku.
"Tenang saja, racun yang kuberi hanya membekukan syaraf motorikmu. Hal ini tidak akan membahayakan nyawamu, Inuyasha," Naraku berbisik dekat telinga sang Hanyou. Ia menangkup wajah sang hanyou dan untuk kali pertama menciumnya.
Inuyasha tidak dapat berkata-kata. Bahkan saat ikatan di tangan telah dilepaskan.
Dengan mudah Naraku membopong tubuh Inuyasha di pelukan. Kedua tangan mengitari pinggang sang Hanyou dengan erat.
Inuyasha tidak tahu, ruangan yang ia tempati merupakan ruang istirahat Sesshomaru saat tuan muda itu berkunjung ke kediaman utama InuShiro.
"Apa menurutmu dia benar seorang laki-laki?" Naraku bergumam pelan.
Inuyasha ingin memaki jika dirinya memang laki-laki.
"Dia dapat berbohong," sahut Sesshomaru halus.
"Ah, kau benar."
Dengan hati-hati Naraku menurunkan Inuyasha di ranjang. Ia pun secara sengaja membuka kedua kaki sang Hanyou.
Siapa yang menduga jika Sesshomaru mengizinkan sahabatnya sendiri berbuat seenaknya? Ia justru duduk di ujung ranjang, dengan kedua tangan terlipat di depan dada. Manik emas ikut mengobservasi.
Naraku mendengus pelan. Ia menjalarkan tangan menyentuh paha halus. "Dia belum mencapai kedewasaan. Apa menurutmu dia masih polos?"
Wajah Inuyasha makin memerah karena terhina dan malu. Apa yang kedua Yokai ini akan lakukan padanya?
Sesshomaru tidak menjawab. Naraku pun mengerti tanpa harus mendengar respons sang sahabat.
Jemari Naraku mulai naik. Mengusap kelamin yang berbalut dalaman. Ia ber-hum pelan menikmati apa yang dipegang.
"Tampak meyakinkan. Tapi bisa saja ini ilusi. Kaum rubah terkenal akan ilusi mereka yang terlalu nyata," ucap Naraku sembari masih meremas serta menekan apa yang disentuh.
Sesshomaru menggerakkan satu tangan untuk menyibak keseluruhan bagian rok tersebut, lalu dengan cakar tajam ia juga merobek obi yang menyatukan pakaian Inuyasha. Terpampang jelas tubuh yang menunjukkan jika Hanyou ini adalah lelaki tulen.
Inuyasha tidak bisa melakukan protes, tapi mata sang Hanyou sudah melotot garang.
"Sangat meyakinkan," gumam Sesshomaru. Naraku merespons dengan tawa.
Lagi-lagi tuan muda berambut ikal itu menunduk dan mencuri ciuman dari Inuyasha.
*
Inuyasha tidak dapat berpikir jernih.
Terbuai akan sensasi yang menyerang. Berapa lama ia berada di antara kedua Yokai kuat ini?
Penawar telah diberikan oleh Naraku, namun tubuh Inuyasha masih merasakan lemas sebagai efek samping. Atau mungkin karena posisi tubuhnya yang sangat sensual?
Berada di pangkuan Sesshomaru dengan kedua kaki mengangkang. Dada mencondong ke depan saat tangan Naraku mengusap dan memilin puting di dadanya.
Inuyasha dapat merasakan kejantanan sang InuYokai menekan pada belahan pantatnya. Tangan Sesshomaru memaksa ia untuk menengok ke samping. Bibir keduanya bercumbu kasar.
Naraku memandang dengan pongah. Baru kali ini ia melihat ekspresi liar di wajah sahabatnya. Ia tidak tahu jika si pangeran es justru memiliki selera untuk meniduri anggota sedarahnya sendiri.
Tapi siapa Naraku untuk memprotes? Ia justru senang dapat menikmati ini bersama Sesshomaru. Melihat wajah merah sang keturunan InuShiro adalah kepuasan tersendiri.
Naraku ber-hum pelan. Tangannya masih mencoba melonggarkan rektum Inuyasha untuk rencana yang ia buat.
"Apa dia sudah siap?" Tiba-tiba Sesshomaru bertanya.
Tubuh mereka bertiga telah dipenuhi keringat.
Dada Inuyasha berhias warna merah. Rambut putihnya berbaur dengan surai keperakan Sesshomaru.
"Kurasa sudah siap."
Inuyasha tidak paham apa yang diucapkan di antara keduanya.
"Untuk jaga-jaga," gumam Naraku. Ia mengangkat jari telunjuk di mana warna kehijauan tengah menetes. Kemudian mengarahkan pada area di bawah kejantanan Inuyasha.
"Apa yang akan kaulakukan?" tanya Inuyasha panik.
Sesshomaru menarik wajah Inuyasha dan kembali menciumnya.
Rasa nyeri menghampiri sang Hanyou untuk sesaat, sebelum menghilang sekejap kemudian.
"Untuk membuatmu lebih rileks," sahut Naraku akhirnya menjelaskan sedikit. Ia menepis tangan Sesshomaru dan beralih mendominasi bibir Inuyasha.
Sesshomaru tidak tersinggung, ia mengangkat pinggul Inuyasha dan secara hati-hati mengarahkan kepala kejantanannya pada permukaan rektum sang Hanyou. Tanpa memberi jeda segera menenggelamkannya dalam tubuh Inuyasha.
Tentu dengan bantuan racun Naraku, tidak banyak rasa sakit yang dapat dirasakan Inuyasha. Namun, sensasi menggelitik tetap tersisa. Manik cokelat madu melebar.
Naraku melebarkan senyum. Dengan sengaja ia menangkap tangan sang Hanyou dan mengarahkan pada posisi di mana Sesshomaru tengah bersatu dengannya. "Kau bisa merasakannya?"
Tangan Inuyasha bergetar. Ia menengok tak percaya pada tuan muda yang tengah memangkunya.
"Selamat, kau sudah kehilangan kepolosanmu pada Sesshomaru," Naraku berbisik menggoda.
Inuyasha ingin lari, namun tangan kekar Sesshomaru justru mengangkat kedua paha sang Hanyou ke atas. Sehingga tubuh kurus itu bersender di dada bidangnya.
"Tunggu .... Tunggu." Inuyasha berusaha melepaskan tangan Sesshomaru dan menurunkan posisi kaki, namun tidak berhasil.
Sesshomaru mengeluarkan sedikit kejantanannya ketika Naraku telah bersiap.
Inuyasha tidak merasakan bagaimana ada benda lain yang ingin ikut memasuki rektumnya. Yang ada hanya sensasi menggelitik. Tapi, karena posisi mereka yang berdempet satu sama lain, tentu Hanyou ini sudah menebak apa yang akan dilakukan.
"Tunggu, tuan ... Tuan... Tuan."
Apa yang harus Inuyasha katakan pada ibunya nanti?
Sensasi intens akibat dua kejantanan yang ada di dalam tubuhnya membuat Inuyasha terseguk.
"Hey," Naraku memanggil. Ia bahkan mengusap pelan wajah berhias air mata sang Hanyou. "Ssst, wajah menangismu itu hanya akan membangkitkan sisi sadistik kami. Jangan menangis."
Sadis. Mereka berdua memang sadis.
*
Tubuh Inuyasha bergetar, tangan mencengkeram kuat. Jantung ikut berdetak lebih cepat dari normalnya. Ia takut, ia takut, ia takut.
Air mata kembali menitik di ujung, kedua kaki yang terangkat masih dipegang kuat oleh Tuan muda Inushiro. Rektumnya dipaksa menerima tekanan dari kejantanan Sesshomaru dan Naraku.
Naraku sekali lagi menghapus air mata Inuyasha, mendongakkan wajah ketakutan sang hanyou demi memberi ciuman. Tangan kiri membelai telinga anjing yang dimilikinya.
"Ini tidak akan terlalu sakit," ujar sang Yokai laba-laba dengan suara selembut sutra. Bibirnya mencumbu kembali, sementara ia makin bergerak memasuki tubuh Inuyasha.
Sesshomaru memiliki kontrol yang sungguh luar biasa, ia masih diam pasif meski dalam kondisi seperti ini. Jika bukan karena kejantanannya bersentuhan dengan milik Sesshomaru yang juga mengeras di dalam rektum Inuyasha, Naraku tidak akan tahu si pangeran es dapat meluluh juga.
Menarik belakang leher Inuyasha dan membawa bagian wajah sang hanyou ke dadanya, Naraku pun memberi senyum simpul pada sahabatnya. "Kau bisa bergerak Sesshomaru."
Keturunan utama Inushiro itu menggerakkan pinggulnya. Menggesekkan kejantanan mereka. Kedua tangan masih memegang kaki Inuyasha, ia pun merasakan bagaimana tubuh hanyou itu bergetar.
.
Inuyasha takut, ia benar-benar takut. Meski rasa sakit tidak seperti akan membunuhnya, tetap saja, ia merasa penuh. Terlalu penuh.
Ia lepas kontrol. Kedua yokai murni itu menggunakan tubuhnya. Memaksanya menerima mereka.
"Ssst, tidak ada yang perlu kau tangisi. Kami akan memperlakukanmu dengan baik," lagi-lagi Naraku berbisik lembut. Tangannya mengusap belakang kepala Inuyasha. Mengusap dan sesekali menarik pelan.
"Inuyasha," Sesshomaru berucap tak kalah halus. Yokai tampan itu mengendus belakang telinga sang hanyou. Tangan yang ada pada paha menggiring kaki Inuyasha ke pinggang Naraku.
Sesshomaru mendorong posisi mereka. Naraku terbaring dengan Inuyasha dalam pelukan dadanya.
Senyum simpul terhapus dengan tawa pelan Naraku. Ia menangkup kedua sisi wajah Inuyasha dan kembali menciumnya. "Kau baik-baik saja. Kau sangat memanjakan kami," bisik pria berambut cokelat tua itu.
Inuyasha masih merasa takut. Tidak pernah ia ingin kembali ke pangkuan ibu Izayoi seperti anak kecil, namun kali ini ia sangat ingin pulang.
Sesshomaru mengangkat pinggul Inuyasha menggerakkan diri di antara mereka.
Friksi itu sangat memabukkan.
Naraku sendiri sejak tadi tidak bergerak dalam rektum Inuyasha karena takut sang hanyou akan terluka. Namun, kelamaan ia tidak bisa lagi berdiam diri. Pinggulnya ikut bergerak menyesuaikan ritme Sesshomaru.
Hanyou itu diam, tidak ada suara yang keluar, namun mulutnya sedikit terbuka. Peluh membasahi tubuhnya yang bergetar.
Sesshomaru seperti menahan diri tadi, namun sekarang ia mulai membuas. Pergerakannya semakin cepat dan kasar.
Senyum pongah pada bibir Naraku membeku, ia mendesah pelan. Kedua tangan siluman laba-laba memeluk erat pundak Inuyasha. Menikmati pergerakan Sesshomaru.
****
Inuyasha terbangun dengan tubuh yang terasa panas. Ia merasa diperhatikan, mata cokelat madu berkedip, memfokuskan pada siluet samar yang memandangnya lekat.
"Kau sudah bangun, kukira kau akan tidur lebih lama lagi."
Rasa takut itu kembali. Mata membelalak, Inuyasha menggerakkan diri ketakutan.
"Hey," Naraku menahan Inuyasha hati-hati. Melihat ketakutan, tapi juga adanya kilatan pembangkang membuat keturunan siluman laba-laba itu makin ingin mempermaikan sang hanyou.
"Aku harus pulang," ujar Inuyasha terburu-buru. Matanya mendelik ke sana-kemari dengan resah. Ia mencoba melepaskan diri. Makin ia bergerak, maka bangsawan di atasnya akan makin mendekatkan diri.
"Sesshomaru sedang mengurus sesuatu. Kau tidak boleh pergi sebelum menemuinya lagi," balas Naraku yang memberi senyum kucing pada Inuyasha. Sudah jelas bahwa bangsawan satu ini membuat omong kosong demi menahan sang hanyou dari pergi.
"Tidak, aku tidak akan bilang pada siapapun. Aku mohon aku harus pulang," Inuyasha memelas. Rektumnya mulai terasa sangat panas dan tidak nyaman. Sifat pembangkangnya melemah karena perbuatan kedua yokai murni itu. Ia hanya ingin kabur saat ini.
Senyum Naraku menghilang, kerutan muncul di wajah tampan karismatiknya. "Apa kau menolakku, hanyou?"
Aura gelap seperti menguar, menakuti siapapun yang merasakannya. Tak terkecuali Inuyasha.
Seorang jenius keturunan siluman laba-laba yang setara dengan keturunan langsung Inushiro, tentu yokai manapun akan bergedik ngeri. Betapa berbahaya jika tidak menuruti, apa lagi dengan kondisi tubuh yang tak stabil seperti miliknya.
"Ketua akan menghukum kami jika aku tertangkap bertemu dengan salah satu tamu penting klan Inushiro," jawab Inuyasha jujur. Suaranya bagai menelan duri.
"Aku tidak peduli. Sesshomaru berkata kau tidak boleh pergi sebelum dia datang menemuimu lagi," Naraku berucap bagai raja. Memutuskan seenaknya.
Inuyasha menutup paha secara diam-diam. Takut jika yokai yang menahannya akan meminta bersetubuh kembali. Setelah racun menghilang, barulah rasa sakit terproses olehnya. Rektum malang sejak tadi berkedut nyeri. T
Pergerakan diam-diam tersebut tidak luput dari Naraku. Yokai murni itu kembali menyeringai senang. Kegelapan dari sifatnya sangat kentara.
"Aku tidak akan menyetubuhimu lagi. Bangunlah, aku ingin kau ikut denganku." Naraku menarik tangan Inuyasha, mendengar rintihan pelan, namun ia abaikan.
Ketika seekor serangga masuk dalam jerat sarang laba-laba, maka akan sulit lepas baginya.
.
.
.
Jantung Inuyasha berdetak lebih cepat, rasa amarah yang semula hilang kini muncul kembali. Ia untuk kedua kalinya didandani bak wanita.
Entah bagaimana Naraku bisa mendandaninya. Ia mengenakan kimono hitam dengan motif bunga berwarna emas. Obi merah melingkari perutnya dengan indah. Seluruh rambut putih tergerai, hanya saja ada topi aneh yang dipasangkan ke kepala Inuyasha. Terdapat kain serupa kelambu yang menutupi wajah sang hanyou, telinga anjing pun tertutup rapi.
Untuk ke sekian kali pula Inuyasha nyaris tersungkur karena ia memakai geta, biasanya ia memilih tidak memakai alas kaki.
Pakaian ini merupakan adat dunia manusia bukan?
Inuyasha ingat sewaktu ia masih kecil, sebelum sang ibu membawanya ke dunia yokai, ia melihat beberapa wanita manusia memakainya.
Meskipun ingatan tersebut samar-samar.
Naraku mengulurkan tangan, Inuyasha menatap ragu.
"Pegang tanganku," ucap Naraku tersenyum manis yang membuat sang hanyou bergedik kembali. Dalam sekali pertemuan saja, Inuyasha dapat menebak-nebak bagaimana sifat sang Yokai laba-laba ini. Ucapan manis yang mungkin mengandung racun. Selalu ada niatan di tiap perilakunya.
Sekali lagi manik hitam menyipit, seakan mendeteksi ketidaksukaan yang Inuyasha rasakan.
Dengan sangat terpaksa Inuyasha menggenggam telapak tangan Naraku. Namun, rupanya tangan sang hanyou justru dipindahkan ke lengan atas. Seperti yang biasa dilakukan manusia. Bangsa siluman tak pernah mementingkan hal-hal seperti ini, tata krama hanya bagi mereka yang berdarah sangat murni dan status yang tinggi.
Dalam sekejap ilusi selevel Daiyokai digunakannya. Rambut cokelat ikal berubah hitam pendek yang bagian samping tersisir rapi. Pakaian serupa hakama ungu pun hilang berganti sesuatu yang tidak pernah dilihat Inuyasha.
Namun, struktur wajah Naraku tidak berubah. Masih tegas yang membuat siapa yang memandang terpesona.
Pakaian di bagian dalam berwarna putih, dibalut kain hitam dengan potongan yang membentuk badan.
Tidak bisa menahan rasa penasaran, tangan kanan Inuyasha menyentuh dada Naraku. Merasakan tekstur kain yang terasa lembut bagai sutra, namun juga tampak kaku.
"Ini pakaian para nigen," jelas Naraku membiarkan tangan Inuyasha menyentuh dada bidangnya. Senyum main-main masih ada di bibirnya.
Wajah dibalik kelambu tipis itu tampak tengah terpesona.
"Pakaian mereka jauh lebih keren," gumam Inuyasha tanpa sadar.
Naraku ber-hm pelan, menangkup belakang tangan Inuyasha yang menyentuh dadanya. "Mungkin karena kau pernah hidup di dunia nigen, tapi bagiku pakaian ini sangat membuat sesak."
Inuyasha mendongak, ada senyum mengejek di bibirnya, namun menghilang begitu sadar yang ia ajak bicara ini tamu penting klan Inushiro.
Naraku sudah lebih dulu melihat senyum mengejek Inuyasha, ia justru tidak marah. "Tutup matamu."
Inuyasha menurut, lalu ia merasakan tekanan aura di kamar berubah. Kepalanya terasa pusing. Ia terhuyung, yang beruntungnya ditahan oleh kedua tangan Naraku.
Inuyasha terus memejamkan mata selama beberapa menit.
"Buka matamu."
Mata cokelat madu membuka perlahan. Ia langsung memandang takjub.
Dinding kokoh dengan warna hijau muda, lampu langit-langit yang megah, perabot yang tidak mungkin kau jumpai di dunia yokai, dan jendela besar yang terbuka mengarah pada balkon dengan pemandangan taman.
"Ini rumahku di dunia Nigen."
Rasa senang tidak tertahankan. Sudah lama sekali Inuyasha tidak berkunjung ke dunia ini. Ibunya pasti senang bisa kemari.
Inuyasha melepaskan pegangan pada dada Naraku. Ia ingin berjalan menuju balkon, namun lagi-lagi ia nyaris terjungkal.
Naraku menatap terkesan, ia menarik tangan kiri Inuyasha dan menaruhnya ke lengan atas. Yokai kelas atas itu membimbing sang hanyou menuju balkon.
Bibir Inuyasha menyungging senyum yang sangat lebar. Ia bahkan menepis kelambu yang sedikit menghalangi pandangan.
Taman di depannya sangat mengagumkan. Banyak jenis bunga mekar begitu lebat. Cahaya matahari menerangi dengan indah.
Naraku merubah posisi mereka. Ia melangkah di belakang sang hanyou. Menaruh kedua tangan di pinggang Inuyasha. Menghirup aroma bekas pergumulan mereka yang masih tersisa sedikit. Harum yang hanya bisa dicium oleh hidung sensitifnya.
"Jangan bergerak," bisik Naraku. Rambut hitam pendek bergerak tertiup angin. Ia masih senang menempelkan diri pada sang hanyou.
Tubuh InuHanyou ini kenapa nyaman sekali untuk dipeluk?
Naraku tertawa pelan ketika kelambu dari topi Inuyasha menyibak wajahnya berulang kali. Angin di sini mulai bermunculan.
"Kita akan menemui Sesshomaru nanti."
Jantung Inuyasha kembali berdetak lebih cepat. Entah karena takut atau karena tangan Naraku yang mengusap pinggangnya dengan lembut.
******
.
.
.
Tubuh Inuyasha bagai membeku. Sentuhan Naraku terasa menakutkan baginya. Sehangat apapun, selembut apapun, ia tetap tidak mau. Hanya karena ia terlena melihat dunia manusia, ia pun membiarkan yokai murni itu dekat dengannya.
Rasa takut dan kesal sang hanyou masih sangat baru. Di luar ia memang tampak sedikit bermasalah, namun hatinya sangat tak mau berdekatan dengan yokai berbahaya satua ini.
"Dongakkan kepalamu," Naraku memerintah dengan nada yang halus.
Inuyasha perlahan mengangkat kepala. Namun, itu belum cukup. Tangan kanan Naraku makin mendongakkan dagu sang hanyou.
Kelambu yang menutupi wajah tersibak sendiri karena sudut kepala yang terangkat. Bibir Naraku mencumbu semangat.
Setelah beberapa saat mereka berpisah. Pandangan Naraku tidak sedikit pun beralih. Matanya yang tajam tidak memancarkan emosi, sesuatu yang membuat Inuyasha resah. Saat kau tidak dapat membaca lawanmu, maka kau tidak bisa menebak langkah apa yang mereka ambil.
"Aku harus pulang," gumam Inuyasha. Ia menelan ludah. Tidak mengakui ketakutan ataupun penyerahan. Ia diajarkan sebagai individu yang terhormat, meski terlahir dan dicap sebagai terhina.
"Kita akan menemui Sesshomaru. Sekarang ikut denganku. Temani aku."
Suara dengan nada yang mengalun lembut. Sudah pasti mampu membuai siapapun, namun sebenarnya tak begitu berpengaruh bagi Inuyasha. Ia hanya tertekan karena kemampuan Naraku jauh di atasnya. Juga terbayang-bayang apa yang terjadi jika hal ini diketahui oleh tetua ketua cabang Inushiro. Ibunya bisa kena masalah.
Inuyasha menurut begitu Naraku mengarahkannya untuk berjalan.
Mata sang hanyou melirik ruangan sekitar dengan penasaran. Rasa ingin tahu menguasai hati. Ia tidak bisa menahan diri untuk menatap kagum pada bangunan yang dibangun para manusia.
Kokoh. Tinggi. Indah. Selera yang sudah jauh berkembang ketimbang para Yokai.
Ia ingin tinggal di tempat seperti ini dengan ibunya. Perasaan nostalgia bermunculan di hati sang hanyou.
"Apa yang kaulakukan saat berada di kamar, Sesshomaru?" mendadak Naraku membuka pembicaraan. Hanyou itu mendelik.
"Aku hanya penasaran dengan kehidupan klan Inushiro," jawab Inuyasha singkat.
Naraku mengawasi di sudut mata, namun ia tidak lagi bertanya lebih jauh.
"Hanyou memang masih dipandang rendah," ucap keturunan utama klan laba-laba itu, suara yang sangat pelan.
Inuyasha tidak menjawab, melainkan memandang terpesona pada salah satu lukisan yang terpajang di lorong.
"Kau tampak senang dengan dunia nigen," Naraku mengangkat topik lain. Tangannya masih memegang Inuyasha. Memastikan dia berjalan dengan baik, tanpa tersandung.
"Aku ingin hidup di sini dengan ibuku. Tempat di mana aku lahir. Suatu hari nanti kami pasti kemari," ucapan Inuyasha sangat yakin. Optimis dengan tiap kata yang dikeluarkan, tanpa sadar sudut bibir Naraku terangkat. Baru bertemu beberapa jam, namun hanyou ini sudah membuka hati dan berbicara mengenai impiannya. Sangat bodoh. Tapi, menggemaskan.
"Manusia lebih merepotkan ketimbang yokai," komentar Naraku. Langkahnya melambat begitu Inuyasha tampak ingin lebih lama menatap rumahnya.
"Manusia dan Yokai, apa perbedaan mereka? Hanya sikap perindividu yang membuat kita berbeda." Inuyasha sadar langkah mereka melambat. Ia ingin mempercepat, namun area di belakang tubuhnya masih merasa nyeri. Ia harus berhati-hati.
"Kau pintar," sanjung Naraku. Sudut bibir pria tampan itu makin terangkat tinggi. Nada yang ringan, namun menimbulkan kesan seperti cemooh.
Inuyasha tampak malu dengan ejekan barusan, ia menunduk. Membiarkan kelambu menutupi wajahnya.
Inuyasha tak mau diam saat dipermalukan, ia membela diri, "Ibuku mengajarkan banyak hal. Aku terlahir dari dua ras yang berbeda. Aku tidak bisa membenci yokai ataupun nigen. Mau bagaimanapun seseorang menilai status Hanyou-ku, aku tidak peduli. Aku bangga pada apa yang mengalir di darahku."
Naraku melihat langkah Inuyasha yang sedikit kaku, namun mendengar nada membangkang tadi ia hanya bisa tersenyum senang. Ia membalas, "Tak ada salahnya menjadi seorang Hanyou."
Mata cokelat madu membelalak. Tidak mengira tuan muda klan Onigumo itu mengonsolidasi dirinya.
Senyum senang berganti main-main saat melihat bagaimana sang Hanyou berjalan tidak seimbang. Bukan merasa malu, tuan muda itu justru merasa bangga bisa membuatnya seperti ini. Tanpa persetujuan ia mengangkat Inuyasha dalam pelukan. Satu tangan menahan di paha sang hanyou.
Kekuatan keturunan utama yokai laba-laba itu sungguh mengagumkan. Dengan mudah ia dapat mengangkat Inuyasha hingga sang Hanyou berdiri lebih tinggi. Wajah mereka bergantian memandang. Inuyasha menunduk sementara Naraku mendongak.
"Tidak perlu mengelak. Aku akan menurunkanmu begitu kita sampai di garasi."
Inuyasha menahan kedua tangan pada pundak Naraku. Ia diam. Tidak mengelak maupun menerima.
"Kau manis," ujar Naraku, ia bahkan tertawa pelan saat mata cokelat madu Inuyasha memicing tidak suka.
*****
Inuyasha malah tidak tenang. Ia merasa perhatian para nigen tertuju padanya. Sementara Naraku berdiri tegap dan pandangan ke depan, tanpa memperdulikan yang lain.
"Sesshomaru sudah menunggu di dalam." Naraku tersenyum dengan menawan. Inuyasha sadar sepenuhnya jika wanita di sekitar mereka tertarik pada sang keturunan klan onigumo itu.
Inuyasha tidak berani berkata-kata. Ia takut penyamaran yang diberikan Naraku terbongkar. Takut semua manusia ini mengejarnya dengan pandangan membunuh.
"Reservasi atas nama Kagewaki Hitomi."
Mereka diarahkan pada kotak besi. Inuyasha memegang kuat pergelangan Naraku. Tidak tahu tempat apa yang mereka masuki.
Naraku menepuk tangan sang hanyou meyakinkannya.
Setelah mereka keluar dari kotak besi tersebut, lalu diantar menuju ruangan berpintu megah.
Pelayan yang bersama mereka mengetuk dua kali sebelum pintu terbuka. Ia mempersilakan keduanya masuk.
Inuyasha melirik di balik topi kelambunya. Melihat tiga pria dengan dua wanita tengah berkumpul. Nyaris saja ia tidak mengenali Tuan Sesshomaru. Rambut perak panjang menghilang, terganti abu-abu indah yang pendek. Bulan sabit di dahi pun tak ada.
Penyamaran manusia yang sungguh menarik perhatian.
"Apa kami mengganggu?" Naraku mengalihkan genggaman di tangan Inuyasha untuk menaruh tangan kiri di belakang lekukan pinggang sang hanyou.
"Tuan Kagewaki, tentu saja tidak." Mereka memandang penasaran. Namun, Naraku tidak memberi celah sedikitpun bagi mereka untuk mengusik Inuyasha.
Naraku membawa Inuyasha untuk duduk. Memesankan makanan dan minuman, lalu ikut dalam perbincangan yang sempat tertunda.
Pikiran Inuyasha melayang-layang. Ketakutan jika penyamarannya terbongkar. Apa yang akan terjadi dengan ibu dan dirinya nanti?
Apa ibu sudah pulang dari misi?
Bagaimana ia bisa menjelaskan bahwa beberapa waktu lalu ia bukan hanya melanggar janji tidak membuat onar. Ia bahkan menemui keturunan utama Inushiro. Bukan itu saja, ia sudah meniduri dua Yokai penting sedataran sana.
Sudah jelas Inuyasha dan ibunya terancam diusir.
Wajah Inuyasha memucat. Tidak ada yang tidak diketahui oleh keluarga cabang. Mereka selalu menaruh mata-mata, untuk mengawasi pergolakan yang ada di keturunan utama.
Kabar mengenai Inuyasha, kemungkinan besar sudah terdengar. Membayangkan ibunya sekali lagi diusir sudah membuatnya mual.
"Inuyasha," suara pelan memanggil.
Ia mendongak tanpa sadar. Wajahnya masih tertutup kelambu. Namun, Naraku dapat menembus pandangan tersebut. Alis mata bertaut tak senang melihat kontras pucat yang tampak di wajahnya.
"Apa kau baik-baik saja?" Mengherankan ketika yang bertanya justru Sesshomaru. Pangeran es itu mendelik ke arah mereka. Empat manusia tadi mengikuti tingkahnya.
"Kurasa aku harus mengantarnya pulang." Naraku memberi senyum, lalu membimbing Inuyasha bangkit. Makan dan minuman tidak terjamah.
Sesshomaru memperhatikan sebentar, kemudian mengambil alih perhatian semuanya lagi.
Inuyasha dan Naraku berjalan keluar. Pria berambut hitam pendek itu lantas menghentikan langkah mereka. Ia menatap wajah pucat Inuyasha.
"Ada apa?"
Inuyasha menolak menjawab. Ia ingin pulang. Ingin memastikan bahwa ibunya baik-baik saja.
"Katakan sejujurnya padaku, Inuyasha." Naraku memojokkan sang hanyou. Menekan dengan aura yokai-nya.
Inuyasha bagai menelan duri. Tangannya bergetar. Ia menarik pakaian aneh yang dikenakan Naraku.
"Pulang .... Aku ingin pulang."
Ia sudah bertemu dengan Tuan Sesshomaru. Bukankah itu artinya ia bisa pergi.
Naraku tidak memiliki alasan lagi untuk menahannya.
Keturunan Onigumo itu menatap lekat. "Kembali ke kediaman Sesshomaru?"
Inuyasha menggeleng. "Kembali ke dunia yokai. Setelah itu aku akan pulang sendiri. Aku tidak seharusnya bertemu dengan Tuan Sesshomaru, aku tidak boleh terlihat oleh orang penting klan Inushiro."
Naraku melepaskan tangan Inuyasha. "Tutup matamu," ucapan yang keluar terdengar dingin.
Inuyasha tidak mau berpikir jauh. Ia menurut dengan menutup mata. Sekali lagi dunianya bagai berputar, tapi kali in tidak ada tangan Naraku yang menahannya. Ia terhuyung beberapa kali.
Begitu ia merasa lebih stabil, mata cokelat madu terbuka. Melihat Naraku memandangnya seperti orang asing.
"Pergilah."
Inuyasha melirik sekilas. Ia berada di luar wilayah kekuasaan klan utama Inushiro. Hanya beberapa jam berlari hingga sampai ke wilayah keluarganya.
Inuyasha menatap canggung pada Naraku.
Pria dengan ilusi manusia itu menatap apatis.
Menelan ludah kembali, Inuyasha melepaskan topi yang dipakaikan oleh Naraku. Ia lantas memberikannya pada sang keturunan Onigumo. "Terimakasih sudah membawaku melihat dunia Nigen, Naraku-sama."
Tidak. Inuyasha tidak bisa berterimakasih pada apa yang dilakukan kepadanya. Tapi, bukan berarti ia tidak merasa senang dapat sekali lagi menikmati dunia manusia. Dengan pengalaman itu ia sangat bersyukur.
Naraku tampak kesal akan sesuatu, namun ia masih diam. Ia melempar topi Inuyasha secara sembarang.
Hanyou itu melihatnya, sangat jelas bahwa Naraku tengah murka.
Tidak ingin menjadi bahan sasaran amarah sang yokai, Inuyasha mengangkat kimono-nya kemudian berlari cepat.
Ia ingin bertemu ibu Izayoi. Untuk menenangkan pikiran buruk yang sejak tadi membayanginya.
Baginya di dunia ini yang paling berharga adalah ibu Izayoi. Orang yang banyak berkorban untuknya. Yang menyayangi tanpa batas. Yang menerima status Hanyou-nya dengan sangat terbuka.
Bukan orang asing yang baru ditemuinya, meski orang tersebut menawarkan debaran jantung yang tidak biasa. Atau meski ia merasa malu dan hangat akan setiap sentuhan yang diberikan padanya.
Tidak.
Ibu, jauh lebih penting.
.
.
.
Dalam perjalanan pulang pun Inuyasha masih sangat resah. Diberitahu atau tidak, tetua cabang Inushiro pasti memahami dalam sekali pandang jika ia datang dari dunia manusia. Tidak sembarang Yokai dapat menembus dimensi yang membelah dua dunia tersebut.
Dengan kata lain ada Yokai hebat yang membawanya ke sana. Dengan pakaian khas manusia, dandanan, serta harum Nigen yang melekat di tubuhnya, sudah pasti para tetua sadar.
Langkah Inuyasha tergesa-gesa. Tidak peduli akan rasa nyeri masih terasa di antara selangkangan, ia tetap berlari.
Dua jam ia berlari—sungguh sulit dengan pakaian ini dan tubuh belakangnya yang malang.
Saat sampai, suasana kediaman keluarga cabang Inushiro tampak mencekam baginya. Inuyasha berlari memutar. Menggunakan jalur yang biasanya digunakan saat ia tengah kabur. Mengendap secara hati-hati untuk memasuki kamarnya. Ia menyelipkan kimono pemberian Naraku di antara tumpukan baju milik sang ibu. Demi membuyarkan aroma kental Onigumo.
Seluruh lorong kediaman yang luas itu sangat sepi. Jantung Inuyasha berpacu. Bagaimanakah jika apa yang ditakutkannya terjadi?
Inuyasha mencari ke ruang pertemuan. Tidak ada.
Lapangan tengah. Tidak ada.
Sampai tiga yokai datang mengejutkan dari belakang. Dua diantaranya mengunci pergerakan sang hanyou dengan gesit.
"Tuan menunggumu." Mereka tampak tegas. Urat kemarahan menghiasi wajah mereka bertiga.
"Tunggu!" Inuyasha meronta. Namun, kedua yokai yang menahannya bergeming. "Aku tidak melakukan apapun!"
"Diam kau hanyou!" Satu yokai meneriaki Inuyasha. Menarik keras tangan yang dipegang mereka.
Sejak dulu Inuyasha selalu diintimidasi, meski ibunya berusaha agar ia selalu kuat dan tegar, tetap saja ia bisa menciut nyalinya. Tiga yokai menyeretnya menuju tempat di mana pemberontak atau penyelinap disiksa.
Aroma ketakutan yang keluar dari feromon Inuyasha tercium ketiga yokai tersebut. Mereka menggeram makin kesal.
.
.
.
Napas Inuyasha tercekat. Ibunya tengah berlutut. Kimono putih dengan aksen merah yang biasa dikenakan telah kotor. Rambut rapi pun menjadi berantakan. Ada harum darah yang kental.
"Ibu," gumam Inuyasha sebelum ia disungkurkan di hadapan belasan yokai keluarga cabang Inushiro.
"Inuyasha," Izayoi memekik terkejut. Ia segera membangunkan sang anak. Pandangan wanita itu sungguh tajam dan berani.
"Inuyasha tidak berbuat apapun!" Izayoi berteriak pada yokai berambut putih panjang di depan mereka.
Inuyasha tidak mengerti. Apa yang sudah terjadi di sini?
"Dia melanggar peraturan di sini. Keluar batas wilayah, menemui keturunan utama Inushiro, bahkan berani menyelinap memasuki kamar pribadi Sesshomaru-sama." Pria berbadan besar memajukan diri. Menatap pongah dan merendahkan ke arah Inuyasha yang berada dalam lindungan ibunya.
Mendengar tuduhan yang diberikan padanya, Inuyasha lantas angkat bicara, "Aku tidak melakukan itu! Aku dijebak. Bukankah kalian mengizinkanku keluar wilayah? Jangan memutar balikkan fakta!"
"Kau sungguh lancang hanyou!"
Cabikan energi angin menggores lengan atas tangan kiri Inuyasha. Darah mulai keluar, namun lukanya tidak begitu parah. Hanya sebuah peringatan bahwa si hanyou perlu menjaga omongannya. Tetap saja, rasa sakit itu menjalar dari tangan hingga ke pundak.
"Kalian sengaja melakukan ini!" Tuduh balik Izayoi. Mata berkilat amarah melihat darah keluar dari tangan anaknya.
"Diam!" Pria dengan rambut putih terikat kuncir kuda maju. Mata merah memancarkan kekuatan. "Peraturan adalah peraturan. Izayoi kau tahu betul apa saja kesalahanmu sendiri. Kami sudah dengan baik mau menerimamu di sini, dan inikah caramu membalas kebaikan kami?"
"Kebaikan, keparat dewa!" serapah Izayoi murka melihat Inuyasha terluka.
"Jaga mulut kalian. Aku diam karena tidak ingin membuat keributan yang tidak perlu. Tapi, kalian terus saja menggangguku. Kami tidak akan tinggal di sini lagi!" Izayoi bangkit, membantu Inuyasha melakukan hal yang sama. Ia sudah memutuskan. Entah apa konsekuensi nantinya, yang penting pergi dari sini.
"Ibu kita tidak—"
Ucapan Inuyasha terpotong dengan tatapan tajam dari Izayoi. Jika mereka bisa pergi begitu saja, mungkin sejak dulu sudah dilakukan. Inuyasha tahu betul tanpa adanya perlindungan dari keluarga Inushiro, mereka akan mati dalam beberapa bulan saja. Kelaparan dan menjadi mangsa Yokai lain. Sekuat apapun ibunya, tetap saja tak akan bertahan cukup lama.
"Aku melakukan tugas kotor kalian. Memberikan kalian banyak sekali keuntungan selama puluhan tahun, tapi inikah cara kalian menghargai anggota klan kalian sendiri?" Izayoi masih membara dengan emosi. Tubuhnya memunculkan ciri-ciri perubahan wujud seorang keturunan utama Inushiro.
Bagaimanapun Izayoi merupakan salah satu bangsawan di sana, hanya karena ia menikahi manusia, statusnya turun. Namun, kekuatannya masih sama tinggi.
Melawan belasan Yokai di sini mungkin ia masih bertahan. Setidaknya sampai ia yakin Inuyasha bisa kabur dengan selamat dari kediaman Inushiro.
"Kau pikir bisa pergi begitu saja? Kami akan melaporkan hal ini pada ketua di klan utama!"
Izayoi menggertakkan gigi. Di hadapan Klan Utama, kekuatan Izayoi mungkin hanya sederhana. Ia adalah submisif dalam keluarganya, tidak bisa setangguh para dominan lain yang ada di keluarga Utama.
Inuyasha tak tahu alasan kenapa ibunya sungguh takut pada klan utama. Tapi, semua yang ada di sini pun demikian. Mereka tak akan bisa berbuat banyak jika berhadapan dengan kekuatan klan Utama.
"Hanyou itu akan dihukum, begitupun dirimu, Izayoi. Jangan kira karena apa yang sudah kaulakukan selama ini, bisa meringankan hukumanmu."
Inuyasha menggeser diri begitu belasan yokai itu mengepung mereka. Ia refleks ingin melindungi sang ibu.
Izayoi menaruh tangan kiri pada lengan Inuyasha yang terluka. Kembali menariknya ke belakang dengan protektif.
"Aku akan menanggung hukuman Inuyasha."
"Tidak!" Inuyasha akhirnya menyela. Tidak akan ia biarkan ibunya terus menerus melindunginya. Ia sudah dewasa. Ia bisa melakukannya sendiri.
"Kau punya hukumanmu sendiri Izayoi."
"Aku akan melaporkanmu jika kau berani melukai Inuyasha!"
"Berikan hukuman cambuk pada Izayoi."
Mata Inuyasha membuka lebar. Ia ingin membela, namun ibunya sudah diseret oleh tiga yokai berbadan besar.
Izayoi bisa melawan mereka, tapi di posisi lain seorang tetua telah berdiri di belakang Inuyasha. Sekali pukul saja, anaknya bisa mati. Kekuatan Inuyasha belum terbentuk seutuhnya, sangat rawan. Menelan harga diri, ia membiarkan mereka membawanya jauh.
Izayoi yakin mereka tak akan berani melanggar aturan klan Utama tanpa sebab. Kecuali, jika Izayoi menyerang lebih dulu, maka mereka bisa menggunakan alasan perlindungan diri untuk membunuh Inuyasha.
Inuyasha langsung memandang yokai angkuh di depannya. Tidak menyadari kekuatan lebih besar telah menunggu di belakang. Ia terlalu panik melihat ibunya pergi dengan ketiga Yokai tadi. "Kumohon, jangan sakiti ibuku. Biar aku yang menjalani hukumannya! Aku yang melanggar, bukan ibu!"
Yokai-yokai di depannya tampak sangat pongah. Mereka mulai berbagi senyum satu sama lain. Sangat terhibur dengan bagaimana makhluk hina itu memelas.
"Kau sadar atas apa yang kaukatakan?"
Inuyasha mengangguk kuat. "Aku akan menerima apapun hukuman ibu!"
"Bawa hanyou ini, pindahkan Izayoi pada kamar pengasingan. Jangan memberinya makan atau akses keluar selama tiga hari."
Sungguh lega dan puas saat Inuyasha mendengar perintah ketua Yashiro. Ibu Izayoi akan kuat tidak diberi makan seminggu sekalipun. Mereka telah mengalami kelaparan yang lebih lama saat masih di dunia manusia dulu. Ini bukan apa-apa.
.
.
.
Harum apek dan ruangan yang temaram, efek yang ditimbulkan akan menekan insting yokai untuk berhamburan. Ruang hukuman didesain dengan tujuan tersebut, kini Inuyasha harus berada di dalamnya. Dengan kedua tangan terikat tali dari benang racun laba-laba yang hanya ditemukan di gunung merapi kematian. Sekuat apapun Yokai yang terikat, mereka tidak akan bisa begitu saja melepaskan. Begitupun dengan tiap goresan luka yang timbul lalu bersentuhan dengan tali racun ini, akan membusukkan daging yang ada secara perlahan. Hingga menimbulkan siksaan yang pedih.
Beruntung yang terluka adalah lengan atasnya, jika di pergelangan. Ia tak dapat membayangkan bagaimana busuknya nanti.
"Aku akan memberimu keringanan karena berani mengambil hukuman ibumu. Cambuk tangannya sebanyak lima belas kali. Setelah itu, bawa dia ke ujung kamar pengasingan, jauhkan dari Izayoi. Jangan memberinya makan selama lima hari."
Inuyasha menahan amarah. Ia kuat, tapi ia pun lemah. Ia tahu mentalnya dapat bertahan dari siksaan yang akan diberikan padanya. Hanya saja jika menyangkut tubuhnya, ia tidak yakin.
Ia terikat di atas meja batu panjang. Kaki dan kedua tangan terbelenggu tali racun. Kain dalaman kimono berwarna putih polos ia kenakan.
Ia tidak tahu apa bisa melewati ini.
Yokai itu memegang cambuk khusus di tangan. Senyum kepuasan serta haus kekerasan terpasang di wajahnya.
Tanpa pemberitahuan cambukan pertama datang secara tiba-tiba. Mengenai belakang tangan Inuyasha.
Hanyou itu menjerit kuat, terkejut akan kesakitan yang luar biasa.
.
.
.
"Ada apa denganmu?" Sesshomaru menaruh gelas minuman kerasnya. Mata ilusi berwarna hitam menatap pada Naraku yang tampak dalam kondisi buruk. Setelah mengantarkan sang hanyou pulang, sifat main-main yang selalu ditunjukkan oleh tuan muda Onigumo itu menghilang. Aura dingin tak tersentuhnya hampir menyamai Sesshomaru.
Bahkan para wanita yang semula duduk berdempet mencari perhatian, kini menjauh karena takut memprovokasi kemarahan Tuan Kagewaki.
Senyum di bibir Naraku lebih kaku saat bertatapan dengan ilusi manusia yang dikenakan Sesshomaru. Wajah apatis sahabatnya meraba-raba psikologis yang ia alami. Memang sulit mengelabui tuan besar Inushiro itu. Melebarkan tangan untuk menarik seorang wanita ke pangkuannya, Naraku membalas dengan nada main-main kembali, "Apanya yang ada apa?"
Sesshomaru tidak meladeni. Ia melirik pada rekan bisnis yang setengah mabuk. Mereka sudah beberapa jam di klub mewah ini. Ia ingin istirahat dan berhenti melakukan sosialisasi dengan para manusia. Meski sudah melakukannya selama beberapa dekade, namun tetap saja tidak nyaman. "Kalau begitu aku akan pulang. Kau bisa mengurus mereka."
Nama manusia Sesshomaru tetaplah Sesshomaru. Ia merupakan pebisnis dengan latar belakang yang cukup kuat. Untuk bertahan di dunia manusia dan menyeimbangkan kepentingan klan Inushiro, ia sudah menjamah dimensi para Nigen. Berbaur dengan mereka seakan memang ia terlahir menjadi manusia.
Begitupun dengan beberapa klan Yokai lain. Mereka melebur demi kelestarian bangsanya.
Naraku menggertakkan gigi, tidak senang dengan sikap Sesshomaru yang selalu melimpahkan masalah ke arahnya. "Mereka bisa pulang sendiri."
Dengan arogan, tuan muda itu menawarkan senyum menawan pada wanita yang berada di pangkuannya. "Kau ingin pulang denganku?"
Pertanyaan singkat yang sudah cukup menjelaskan agitasi dari pikiran sang Onigumo. Sesshomaru tidak memberi komentar. Membiarkan Naraku berbuat seenaknya. Bahkan ketika wanita manusia itu menyemburat senang dan mencumbu dengan erotis.
Sesshomaru berjalan menuju salah satu penjaga pribadinya. Memberikan perintah agar pemilik Klub memastikan para klien di ruangan khusus itu pulang dengan selamat. Setelah itu dia pergi, tak lagi meladeni Naraku dan sifat flamboyannya.
.
Mata hitam yang kini bersinar keunguan tak dapat menutup mata. Dua wanita memeluknya dari dua sisi. Harum seksual tercium di ruangan tersebut, namun wajah Naraku tidak menampakkan kepuasan sama sekali.
Ia menggeser diri hingga turun dari ranjang. Mengambil jubah tidur secara sembarang, ia berjalan menuju balkon. Dengan tanpa takut, ia membuka portal dimensi. Menteleport dirinya sendiri ke tengah kamar tidur yang jauh lebih megah dari miliknya.
Sosok yang tertidur di ranjang tertutup selimut hingga di bawah pusar. Dada kekarnya yang putih terpampang jelas. Ilusi dari rambut abu-abu pendek menghilang, terganti perak panjang yang tergerai bebas di atas tumpukan bantal.
Naraku melangkah cepat menuju ranjang. Bertemu pandang dengan manik emas yang telah membuka, namun pemiliknya enggan bergerak.
"Sesshomaru," Naraku memanggil.
Mendesah pelan, tuan muda Inushiro bangkit untuk duduk. Tidak malu akan penampilan terbukanya, ia memandang langsung sang tamu tak diundang.
"Apa maumu?"
Naraku langsung duduk di samping ranjang. Tubuh mereka yang sama-sama terbuka kini berdekatan. Pria berambut ikal itu berucap pelan, "Aku menyelidiki asal-usulnya."
Sesshomaru tidak merespon.
Naraku melanjutkan, "Terlahir dari ayah manusia yang terbunuh saat ia masih kecil dan seorang ibu keturunan utama klan Inushiro."
Sesshomaru masih diam, lalu menjawab tenang, "Urusan dalam keluarga Inushiro, tuan muda Onigumo tidak perlu ikut campur."
Naraku menyeringai. "Apa maksud ucapanmu?"
Sesshomaru tak takut sama sekali, mata emas memandang pasif. Ia menyahut, "Dia hanya Hanyou. Kau bisa meniduri seratus hanyou sekalipun. Hanya karena sifatnya mirip dengan Kagewaki, kau tidak perlu terbawa akan perasaan. Ini bukan seperti dirimu Naraku."
Yokai berambut perak itu lantas menidurkan diri lagi, malas meladeni. Ia pikir ada masalah penting. Ternyata hanya obrolan tak menarik.
Naraku terdiam memikirkan sesuatu. Sampai akhirnya ia berbicara juga, "Jika kau tidak menginginkannya, berikan Hanyou ini padaku."
Sesshomaru mengibaskan tangan satu kali. Tanda ia tidak peduli. Ia sudah menyicipi Hanyou itu, jadi ia tak ada rasa ketertarikan lagi. Bukan sekali dua kali ia meniduri seseorang dengan Naraku. Ia tidak mau berpikir kejauhan hanya demi kesenangan berahi saja.
Naraku menghilang begitu jawaban dari Sesshomaru didapatkan.
.
.
Sesshomaru menyantap sarapan dengan tanpa suara. Aura tenang yang sangat menekan, bahkan untuk para pelayan. Tuan muda dan Tuan besar berkumpul. Di tengah kesibukan, Tuan besar datang berkunjung.
Sesshomaru terbiasa dengan atsmosfer yang setengah beku ini. Tidak ada niatan memulai pembicaraan atau mencari perhatian dari ayahnya.
Namun, manik emas Toga melirik dengan sangat meneliti. Menandai setiap perubahan yang terjadi pada putra semata wayangnya.
Pemimpin keluarga Inushiro itu mendelik. Asisten pribadinya langsung bergerak dan menggiring semua yang ada di ruang makan untuk keluar. Padahal ritual sarapan itu akan segera berakhir, namun dia memilih waktu ini untuk memulai diskusinya.
Setelah semua keluar, Toga memasangkan mantra agar tidak terdengar oleh siapapun. Aura Yokai-nya menutupi ruangan.
Sesshomaru sama sekali tak terganggu. Ia tetap makan seolah tidak merasakan apapun.
"Bagaimana liburanmu?" Toga memulai pembicaraan. Ia menyudahi sarapan dan memilih untuk meminum jusnya. Berpuluh tahun tinggal di dunia manusia mulai menimbulkan efek. Ia jadi terbiasa akan adat yang dilakukan manusia pada umumnya.
"Baik," jawaban Sesshomaru sangat singkat.
"Tetua Shouin menghubungiku untuk memberimu tugas—" Toga mengintip, mengawasi gerak-gerik putranya sebelum ia melanjutkan, "Keluarga cabang mulai melakukan pergerakan. Mereka membuat trik kembali. Para tetua ingin kau turun tangan demi mencari pengalaman agar kelak kau siap memimpin keluarga Inushiro."
Sesshomaru hanya berhum, ia ikut menyudahi makan. Alasan yang sama berulang kali diucapkan para tetua untuk menutupi betapa malasnya mereka mengurus keluarga cabang.
Jika ia memimpin nanti, hal pertama yang dilakukannya adalah menyingkirkan hal-hal tidak berguna; seperti para tetua yang terlalu lama memegang kuasa, serta keluarga cabang yang terus membuat plot mengambil alih kekuatan mereka.
"Aku mempercayakannya padamu, Sesshomaru. Jangan mengecewakanku."
Toga berucap dengan nada tidak peduli. Ia tidak lagi menatap Sesshomaru. Hal yang perlu disampaikan sudah disampaikan. Ia tak ada kewajiban lagi untuk melakukan yang lebih lanjut.
"Mengenai hanyou—"
Toga sempat terhenti, namun ia bersikap biasa saja setelahnya.
Sesshomaru tentu telah menangkap reaksi sang ayah. Ia kembali melanjutkan, "Keluarga cabang akan menggunakan alasan hanyou untuk mencari celah peraturan. Bagaimana ayah ingin aku menanggapinya?"
"Lakukan yang kau mau," jawab Toga lugas.
Sesshomaru mengangguk.
.
.
.
End preview 2
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top