PART 9
Tahun 2015
"Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) memprediksi, awan akan menyelimuti Jogjakarta pagi ini. Bahkan untuk Bantul, Sleman dan Jogja Kota diperkirakan akan diselimuti awan tebal."
Aku memutar tombol volume radio, mempertajam indra pendengaran demi mendapat info prakiraan cuaca dari Dennis–penyiar favorit keluarga kecil kami. Radio? Di jaman serba canggih, bahkan orang bilang dunia ada di ujung jari pun aku masih setia dengan radio? Bagiku mendengarkan radio lebih praktis dibanding harus melihat TV atau mengintip sosmed. Aku masih bisa melakukan pekerjaan rumah tanpa merasa sepi. Tidak. Aku tidak suka keramaian, tapi lebih membenci keheningan. Seolah pikiran ini dapat melayang entah kemana, seolah ada sosok asing yang membayang di ingatan.
"Dennis bilang apa, Ma? Hari Senin ceria ya?" Aku menoleh.
Seulas senyum kuberikan pada Mas Bumi–pria yang kini tengah memeluk pinggangku dari belakang.
"Ng ... ha-hari ini mendung, Pa. Mung-mungkin mau hujan deras. Ng ... nanti tugas lapangan ndak, Pa?" Aku menghentikan aktivitas mencincang daging demi menyelamatkan jariku dari resiko teriris pisau, saat Mas Bumi mulai menyurukkan wajah di ceruk leherku. Menyingkirkan rambut panjangku yang menutupi bahu.
Sepertinya Mas Bumi sengaja menggoda imanku—dengan lembut bibirnya berlabuh di satu titik belakang telingaku—satu hal yang selalu bisa membuat desahan lembut lolos dari bibirku. "Mendung tak berarti hujan, kan?" desisnya sembari terus memelukku.
"Paaah ... tolong," desahku lirih.
Mas Bumi terkekeh saat berkata, "Tolong lanjutkan atau tolong jangan berhenti?"
Aku mencubit kecil lengannya. Membuat pria itu semakin terkekeh.
"Mama, pagi-pagi 'gini sudah cantik," godanya.
Aku memberengut. Cantik apanya? Aku belum mandi, masih pakai daster. Tangan bau amis. Dibilang cantik? Gombal.
"Apalagi kalau cemberut gitu. Paling cantik sedunia, deh. Nggak peduli bangun tidur, belum mandi. Buat Papa, cantik."
Mau tak mau aku pun tersenyum mendengar rayuannya. "Gombal."
Mas Bumi, suamiku ini memang tidak sungkan untuk mengungkapkan rasa sayangnya. Dia begitu memanjakanku. Dia lah yang sedikit demi sedikit mampu mengubah diriku.
Sedari kecil, aku hanya tahu bahwa semua makhluk berjenis kelamin laki-laki itu hanya sampah masyarakat. Maaf, bukan bermaksud kasar. Namun, itulah kenyataan yang aku hadapi. Hanya Bumi Bayu Aji, pria yang setahun lalu telah mengucap janji setia di hadapan Tuhan. Menjadi imam dalam bahtera rumah tangga kami. Dialah yang mampu membuatku merasa benar-benar dihormati, dihargai dan diperlakukan seperti layaknya wanita.
Padahal selisih umur kami hanya empat tahun. Namun, di usianya yang ke-32 tahun ini, dia terlihat sangat dewasa dan bijak. Kesabarannya dalam menghadapi tingkahku, patut diacungi jempol.
"Maaa, Iyak mok pispis." Satria, bocah tiga tahun berpipi tembam itu masuk ke dapur sambil mengucek-ucek mata.
Aku terkekeh menengok muka cemberut Mas Bumi, tapi tetap tampan. "Yaaah ... satpamnya udah bangun," godanya.
"Dah, sana mandi dulu, terus siap-siap berangkat kantor," ucapku seraya melepaskan diri dari pelukannya.
"Pagi jagoan kecil Papa. Give me five!" Mas Bumi mengulurkan sebelah tangannya dan disambut antusias oleh si pipi tomat.
"Iip mi Pep!" balas si perut gembul. "Iyak mok pis!"
Mas Bumi tertawa melihat wajah menggemaskan yang sedang menahan pipis ini.
"Pipis sama Mama ya. Papa mau mandi," ucap Mas Bumi sebelum masuk ke kamar mandi di dalam kamar kami.
Aku berjongkok, menyamakan tinggi dengan Satria. Mencium gemas kedua pipinya yang menguarkan aroma khas balita bangun tidur.
"Mas Satria mau pipis? Yuk." Aku menggendong Satria ke kamar mandi di belakang.
"Iyak dak mpol, Ma," lapor si kecil penuh semangat setelah menuntaskan hajatnya. Bagi anak umur tiga tahun, tidak ngompol di malam hari merupakan suatu pencapaian yang patut dibanggakan.
Tiga tahun tapi bicaranya masih belum jelas? Aku menyadari keterlambatan wicara padanya, aku tahu kondisi Satria saat ini tertinggal dibanding anak seusianya. Semuanya tak lain dan tak bukan adalah imbas dari kejadian yang kualami saat mengandung. Terlebih kondisi psikisku yang tengah labil kala itu, yang ternyata berpengaruh pada perkembangan Satria di dalam rahim.
"Pinternya anak Mama ini," pujiku sambil memeluk Satria, "Hmm, Mamas mau es krim gak? Kemarin Papa beli, tapi Mamas dah bobo."
"Mok ... mok ...." Mendengar kata sakti 'es krim' tentu membuat bocah lucu itu melonjak-lonjak girang.
"Mandi dulu yuk. Habis mandi baru boleh maem es," rayuku.
Mandi. Satu kata yang entah kenapa selalu membuat Satria mengkerut. Dia lebih memilih minum obat dibanding mandi. Sedari bayi memang ketidaksukaannya pada air sudah mulai terlihat. Tiap kali dimandikan selalu ada insiden teriak-teriak. Walaupun sekarang sudah tidak seheboh dulu, tapi tetap saja 'mandi' adalah hal yang dihindari.
"Kok cemberut, Mas? Yuk, mandi dulu. Ntar kita main air sama bebek," bujukku lagi.
Satria berlari ke dalam rumah demi menghindari kejaranku. "Ndi no-no-no ... Ndi no-no-no!" serunya sambil terus mengitari seisi rumah.
"Eeeits ... si ganteng kenapa lari-lari?" Dengan sigap Mas Bumi menangkap lalu membawa Satria dalam dekapannya, saat bocah aktif itu hampir menabraknya saat keluar dari kamar. Aroma sabun mandi menguar dari tubuh kekar Mas Bumi, merasuk ke indra penciumanku. Walau masih memakai celana pendek dan kaus, penampilannya jauh lebih enak dipandang dibanding diriku.
"Bi-biasa, Pa. Mamas ndak mau mandi," laporku menyusul Satria, sembari menenteng handuk motif tazmania miliknya.
Mas Bumi pura-pura kaget, melebarkan kedua matanya menatap takjub langsung ke manik mata sebening kristal di depannya. "Anak Papa nggak mau mandi? Pantesan kok ada bau kecut, dari mana ya?" Mas Bumi menggelitik ketiak Satria dengan hidungnya disusul jerit tawa si pipi tomat.
Aku memandang tingkah kedua laki-laki yang telah berhasil menguasai seluruh hati dan pikiranku. Walaupun Satria bukan darah dagingnya, tapi tak pernah sekalipun Mas Bumi memperlakukannya dengan buruk. Kasih sayang dan perhatian yang diberikan sama persis seperti anak sendiri.
Tak pernah aku merasakan hidup sesempurna ini. Bermimpi pun tak berani. Tuhan telah memberi hadiah luar biasa dari seluruh ujian yang berhasil kulalui. Aku tak bisa membayangkan apa yang terjadi bila kehilangan salah satu dari mereka. Aku tak kan sanggup.
"Hayo, udah mau mandi belum? Apa mau Papa gelitikin lagi?" Mas Bumi bersiap-siap menyurukkan hidungnya ke perut Satria.
"Ndi ma Pa!" seru si pipi tomat menghentikan aksi serang Mas Bumi di perutnya.
"Mandi sama Papa?" ulang Mas Bumi yang ditanggapi dengan anggukan pipi tomat.
"Eh, Mas, Papa kan sudah mandi. Nnggg ... nanti Papa telat masuk kerja. Yuk, sama Mama saja ya," sergahku.
"Nggak apa-apa, Ma. Biar mandi sama Papa aja, Mama lanjutin masaknya gih," tolak Mas Bumi.
"Be-bener ndak apa-apa?" tanyaku ragu. Mas Bumi mengangguk mantap sebelum ia menggandeng Satria masuk ke kamar mandi.
Aku kembali ke dapur untuk melanjutkan kegiatan yang sempat tertunda. Masih terdengar gelak tawa dari dalam rumah. Kumatikan radio yang sedari tadi masih menyala. Lebih nikmat mendengar siaran langsung dari dalam rumah, ketimbang suara penyiar. Tak henti-hentinya ucap syukur kulantunkan pada Sang Khalik Maha Pemberi suka dan duka.
Aku merasa sangat terberkati oleh Tuhan, telah diberi kesempatan untuk memiliki putra selucu Satria. Terlebih setelah semua peristiwa yang harus kulalui sebelum kelahirannya.
Aku kembali merasa mendapat nikmat tak terkira, telah dipertemukan dengan laki-laki sebaik Mas Bumi. Dia bersedia menerimaku apa adanya. Setahun setelah aku berpisah dengan Mas Adira, Tuhan mempertemukan kami.
Saat itu aku bekerja sebagai FU di perusahaan asuransi. Sedangkan Mas Bumi–yang lulusan teknik sipil– bekerja di sebuah perusahaan kontraktor. Kami bertemu di kantor Mas Bumi secara tak disengaja. Aku sedang menemani manager marketing, untuk menandatangani perjanjian kerja sama dengan perusahaan Mas Bumi.
Sejak saat itulah, Mas Bumi berusaha mendekatiku. Dia tidak menyerah, padahal kerap kali aku tidak memedulikannya. Waktu itu, aku masih sangat menutup diri terhadap lelaki mana pun. Terlalu banyak pria brengsek yang masuk dalam hidupku. Dan aku tak berniat menambah panjang daftarnya dengan nama Mas Bumi.
Aku selalu menghindar. Aku telah menolaknya secara terang-terangan. Dan aku pun pernah mengusirnya dari rumah saat dia berkunjung. Namun, kegigihannya perlahan membuka celah di hatiku. Terlebih melihat kedekatan Satria dengannya.
Bunda Mira lah yang sering kali menemani Mas Bumi bermain dengan Satria. Bunda juga yang menceritakan masa laluku padanya. Awalnya, kupikir Mas Bumi akan mundur, tapi ternyata hal itu membuatnya makin bertekad untuk menikahiku.
Malam itu, cuaca sangat cerah. Bintang-bintang menghiasi langit malam di kota gudeg. Mas Bumi dengan yakin melamarku pada Bunda. Aku menolaknya. Kupikir dia pasti menyerah, tapi salah. Keesokan harinya, dia masih saja datang ke rumah. Tiga kali Mas Bumi melamar, dan tiga kali pula kutolak lamarannya. Mas Bumi berhak mendapat istri yang lebih segalanya dibanding diriku.
Dasar lelaki licik. Mas Bumi mengubah target sasaran. Dia mendekati Bunda dan Satria. Mana mungkin aku tidak luluh melihat kedekatan mereka bertiga. Aku tak kuasa berkelit. Aku masih menginginkan kebahagiaan. Di sudut hatiku masih terselip sebaris doa akan kehidupan yang tentram.
Dan di sinilah aku berdiri. Kegagalan pernikahanku dengan Mas Adira cukup berdampak pada awal pernikanku dengan Mas Bumi. Namun, sekali lagi Mas Bumi tak mudah menyerah. Dia selalu sabar menghadapiku. Dia mengajarkanku tentang arti sebuah kepercayaan.
Aku membuka freezer, mengeluarkan sekotak es krim oreo kesukaan Satria, saat mendengar langkah-langkah kecil berlarian ke dapur.
"Et tim, Ma. Mok et tim." Bocah itu berjinjit-jinjit menengok es krim yang kutuang ke gelas kecil.
"Asyiiik ... es krim untuk Papa ya, Ma?" goda Mas Bumi seraya merebut gelas berisi es krim dan menggenggamnya erat.
"Iyak, Ma. Iyak ...," protes si kecil mendapati papanya merebut gelas es.
"Mas Satria mau es? Sini pangku Papa." Mas Bumi menepuk pahanya. Secepat kilat, Satria meluncur ke kursi makan dan duduk di pangkuan Mas Bumi.
"Waaah, es krimnya kelihatan enak. Papa mau ... aaak," lanjutnya sambil membuka mulut menunggu suapan es dari Satria.
Aku mengaduk semur daging yang sudah mulai meletup-letup, lalu mematikan nyala kompor agar tidak gosong. Sesaat kemudian terdengar lengkingan dari ceret. Segera kuseduh secangkir kopi hitam dan menyajikan ke meja makan. Aku menggeser kursi di sebelah Mas Bumi, lalu duduk sambil mengamati Satria yang makan es dengan lahap.
"Makasih, Ma. Oh ya, bulan depan rencananya kantor ngadain family gathering. Kita bertiga ikut ya, Ma, nanti Papa daftarin." Mas Bumi melihatku yang memicingkan mata, sangat kentara adanya penolakan dalam diriku.
"Maaf, maksud Papa bukan begitu. Papa belum memutuskan apa pun," lanjutnya.
Setelah menarik napas panjang, dengan lirih aku berkata, "Terserah Papa saja."
Mas Bumi menggenggam erat kedua tanganku yang saling bertaut, memberikan sentuhan penenang pada ujung-ujung jari yang mulai bergetar. Yah, lelaki bermata elang itu, sangat mengenalku. Aku yang sangat tidak nyaman berada di satu lingkungan asing. Aku tidak suka menjadi bahan pembicaraan. Aku lebih memilih diam dan bersembunyi, ketimbang harus menghadapi banyak orang. Mas Bumi pun tahu seberapa besar usahaku untuk berubah.
"Papa nggak maksa, Ma. Kalau Mama belum siap gak apa-apa. Nanti kita piknik sendiri bertiga aja. Ntar papa ijinin Mama nyetir, deh," bujuknya.
Aku menunduk, menyembunyikan kegusaran yang tentu tercetak dalam pancaran sinar mataku. Bukannya aku tidak mau pergi, tapi sangat sulit untuk berpura-pura di depan orang banyak. Terlebih itu acara keluarga. Menilik kenangan masa lalu yang kelam, membuatku enggan untuk bergabung dalam acara yang melibatkan keluarga. Rasa iri, sedih, marah dan kecewa itu masih bercokol di hati walau sudah tak sebesar dulu.
"Mas Satria, maem es krimnya di dalem mau? Sambil nonton upin ipin," rayunya. Aku merasa dia ingin bicara berdua.
Si pipi tomat itu pun merosot dari pangkuan papanya, mengambil gelas es krim lalu berlari memasuki ruang keluarga. Sedangkan aku, masih belum berani mengangkat wajah. Masih memainkan jari-jari yang bertaut.
"Ma," panggilnya lirih, berharap aku mau mengangkat wajah. "Pernah nggak Papa maksa Mama untuk ngelakuin hal yang nggak Mama suka? Maaf, tadi Papa salah ngomong. Harusnya tadi Papa nanya ke Mama dulu," lanjutnya.
Aku menggeleng dalam diam. Walau sudah tidak menunduk, tapi masih belum sanggup menatap Mas Bumi. Sesaat aku ingin membuka mulut untuk mengatakan sesuatu, tapi suara ini seolah tertelan di ujung tenggorokan.
Ingin rasanya mengatakan semua yang ada di pikiran, bahwa aku belum siap untuk terjun dalam masyarakat. Namun di sisi lain, aku harus mampu menempatkan diri sebagai istri yang baik. Aku sadar, selama ini terlalu menarik diri dari dunia luar, sangat membatasi pergaulan.
"Ma, dengerin Papa. Kalau Mama belum siap untuk ketemu temen-temen kantor nggak apa-apa, Papa nggak maksa. Dari awal sebelum kita menikah sudah Papa katakan kalau Papa nerima Mama seutuhnya. Cuma satu yang Papa minta, Mama selalu ada di samping Papa, Mama jangan pernah pergi ninggalin Papa. Cuma itu." Dia menatap dengan lembut yang seolah ingin menunjukkan betapa berartinya diriku dalam hidupnya.
"Mama bisa mengatakan apa pun yang Mama pikir dan rasakan pada Papa. Papa nggak akan marah. Kalau misal pemikiran Mama nanti nggak sesuai sama pemikiran Papa, ya nanti kita omongin bareng-bareng. Yang paling penting Mama percaya sama Papa, trus komunikasi kita juga lancar," lanjutnya.
Aku memandang wajah teduh lelaki berkulit putih ini. Kesabaran, kasih sayang, perhatian, ketulusan, kebahagiaan serta pengorbanan yang diberikan Mas Bumi padaku begitu besar. Entah bagaimana caranya untuk membalas seluruh cinta itu. Bahkan dia tahu bahwa hingga saat ini, aku masih belum bisa mempercayainya. Bagaimanapun juga Mas Bumi salah satu makhluk berjenis kelamin laki-laki yang sangat sulit untuk kupercayai.
Aku hanya mengangguk, menyanggupi permintaannya. Percaya. Satu hal yang sangat sulit untuk dilakukan.
"Ng ... besok pagi Papa jadi berangkat ke Jakarta?" Aku berusaha untuk mengalihkan topik pembicaraan.
Mas Bumi mengangguk sembari menyesap kopi yang mulai mendingin. "Iya, Ma. Tiga hari di sana."
"Berangkat satu tim?" Tak ingin terlihat curiga, aku berdiri untuk memindahkan semur dari wajan ke piring saji.
"Enggak kelihatannya. Kuota untuk diklat cuma tiga orang per daerah. Kalau nggak salah besok yang berangkat Papa, Rizky sama Gio," jelasnya.
Cowok semua. Entah mengapa timbul rasa lega di hatiku. Astaga. Mengapa aku masih saja belum bisa sepenuhnya percaya pada suami sendiri? Padahal dia begitu tulus. Tak pernah sekali pun dia berdusta atau menutupi sesuatu dariku. Segera kutepis berbagai pikiran negatif yang kembali meracuni diri.
Hanya tiga hari dia pergi. Aku harus mencoba untuk memberikan kepercayaan penuh padanya.
***
Sudah sampai part 9 aja nih...
Maaf ya, kalau ceritaku membingungkan...
Untuk part selanjutnya, Kumala bakal ndak ada. Dia istirahat dulu. Mesakno, aku sikso terus.
Dan untuk para pembaca, terima kasih buanyaaak ya...
Pliiis vote, koment, kritik dan saran... Supaya aku bisa memperbaiki kesalahanku...
Solo, 29 Januari 2017
Edit,
Solo, 04 Agustus 2018
Tika Putri
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top